Aku terduduk di atas ranjang, merenung dalam gelap yang kian pekat. Sesekali suara burung malam terdengar begitu jauh seolah mengingatkanku bahwa ada dunia lain yang tetap berputar, meski di dalam diriku seakan semuanya telah hancur. Di saat seperti ini, anganku selalu kembali pada dosa-dosa yang pernah kulakukan, memahat luka di hati dan menyisakan penyesalan yang tak terhapuskan.
Hingga pada akhirnya, di tengah malam yang bisu, terdengar suara ketukan di pintu. Suara yang anehnya terdengar akrab, hingga membuat bulu kudukku meremang. Kuputar gagang pintu dan di baliknya berdiri seorang lelaki tua dengan jubah lusuh, rambut putih acak-acakan, dan senyum kecil yang samar.
“Ada apa, Pak?” tanyaku ragu.
Dia hanya terdiam, memandangiku begitu lama, kemudian perlahan bertanya, “Kau ingin berubah?” dengan suara pelannya. Kata-katanya bagaikan palu godam yang menghantam hatiku. Aku terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaannya itu seolah dia tahu apa yang telah meracuni jiwaku selama ini.
“Aku… Aku ingin, tapi dosa-dosaku… Mereka terlalu besar. Setiap malam, mereka datang. Wajah-wajah yang tak lagi hidup, suara-suara yang terus mengutuk,” jawabku dengan suara bergetar.
“Itu sebabnya aku di sini, Nak. Tak ada yang terlalu kotor untuk dibersihkan, asalkan ada kemauan untuk berubah. Mengapa kau tidak meminta pengampunan?” ujar lelaki tua itu disertai dengan senyuman tipis yang dilemparkan kepadaku.
“Sudah,” kataku putus asa.
“Aku sudah mendatangi seorang yang dianggap paling saleh di kampung ini, bahkan seorang ulama terkemuka. Tapi… Mereka semua mencibirku. Mereka mengatakan dosaku terlalu besar, taubatku tak akan diterima,” lanjutku dengan kesal.
Mata orang tua itu sedikit meredup. Aku menatapnya dengan bingung, tetapi entah mengapa ada sesuatu yang membuatku ingin percaya padanya.
“Terkadang, manusia merasa memiliki hak lebih untuk menghakimi. Padahal, hanya Tuhan yang tahu segala isi hati,” ucap lelaki tua itu dengan lembut.
“Jadi, harus ke mana aku meminta ampunan?” tanyaku nyaris berbisik. Orang tua itu tertawa pelan, penuh kebijaksanaan yang menenangkan.
“Tidak perlu ke mana-mana. Tuhan selalu mendengar, Nak. Tapi kau perlu menjauh sejenak dari semua yang membelenggu. Ada tempat di luar sini, di seberang lembah. Di sana, kau bisa menemukan kedamaian. Utopia, begitu orang menyebutnya,” ucapnya.
“Utopia? Apakah benar ada tempat seperti itu?” Aku menganga tak percaya. Orang tua itu mengangguk pelan, sorot matanya sangat dalam dan hangat.
“Ada, di hati orang yang benar-benar ingin berubah. Tapi, jika itu sulit ditemukan di sini, maka pergilah dan lakukan perjalanan itu. Barangkali, dalam perjalanan itulah kau akan menemukan jawaban,” ucap lelaki tua itu dengan suara bijaknya.
Aku termenung, merasakan secercah harapan yang lama tak kurasakan. Sebuah tempat untuk memulai dari awal.
“Bapak siapa? Mengapa datang padaku malam-malam begini?” tanyaku lagi.
Orang tua itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis.
“Aku hanya seorang pengemis. Tapi ingatlah, Tuhan seringkali mengirim petunjuk melalui hal-hal yang tak kau duga,” bisiknya padaku.
Pagi itu dengan bekal seadanya, aku berangkat menuju tempat yang disebutnya sebagai Utopia. Langkah demi langkah kutinggalkan desaku, meninggalkan segala keburukan yang pernah kulakukan. Aku tak tahu ke mana harus pergi, tetapi satu hal yang pasti, di setiap langkahku, aku berusaha membebaskan diri dari segala yang menimpa.
Di tengah perjalanan, tubuhku mulai lelah dan napasku terengah-engah. Aku terjatuh, namun di saat terakhir, senyum orang tua itu kembali terbayang di benakku, memberikanku sedikit kekuatan untuk bangkit kembali. Namun, tubuhku semakin melemah. Rasanya seperti tak ada tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya, segalanya menjadi gelap.
Saat aku membuka mata, aku berada di suatu tempat yang asing. Segala sesuatu tampak samar. Di hadapanku, berdiri dua sosok yang kukenal. Seorang pria yang pernah menghinaku, menganggap taubatku tak akan diterima dan seorang ulama yang juga menolak membantuku ketika aku memohon bimbingan.
Mereka tampak bingung, seperti baru tersadar bahwa mereka tidak berada di dunia yang mereka kenal. “Di mana kita?” tanya pria yang menghakimiku dulu, nadanya cemas.
Sebelum aku sempat menjawab, sebuah suara lembut namun tegas terdengar dari kejauhan, “Kalian berada di Alam Barzakh. Tempat di mana setiap jiwa menunggu untuk mendapatkan balasan atas segala amal perbuatannya.”
Mereka berdua semakin bingung. Sementara aku hanya bisa terdiam, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, sosok malaikat berwajah bersinar datang mendekat.
“Dan kau, kau adalah jiwa yang diizinkan melanjutkan perjalananmu ke surga. Taubatmu telah diterima,” katanya padaku dengan senyum yang terukir.
Aku terperangah, tak percaya dengan apa yang kudengar, “Tapi… Tapi, dosa-dosaku…” ucapku dengan suara tersedan-sedan.
“Tuhan lebih pengasih daripada yang bisa dipahami oleh manusia. Kau berniat untuk berubah dan meski perjalananmu belum selesai di dunia, niatmu telah cukup untuk mendapatkan ampunan,” ujar malaikat itu menatapku lembut.
Di sampingku, pria dan ulama itu terlihat terpana. Mata mereka memohon keadilan. “Bagaimana dengan kami? Bukankah kami orang saleh?” tanya pria itu.
Malaikat itu menggeleng pelan. “Kalian diberikan kesempatan untuk membimbingnya, untuk menunjukkan kasih dan petunjuk. Tapi kalian malah menghakimi dan mencibir, membuatnya merasa tak ada jalan kembali. Tuhan lebih mencintai mereka yang berniat untuk bertobat daripada mereka yang merasa paling benar,” jelasnya.
Aku mengucapkan rasa syukur dalam hati. Penyesalanku, rasa sakitku, seakan terangkat semua. Kini aku tahu, bahkan dari dalam kegelapan, masih ada cahaya yang bisa membawaku pulang.
GITA AULIYA
Editor: SEPTINA DWIYANTI