Halo, perkenalkan saya seorang kakek tua berusia 70 tahun yang masih ingin hidup bahagia. Bagi saya, bahagia hanya sekedar melihat cucu-cucu saya berlarian di rumput taman. Tatkala mereka terjatuh dan menangis, saya siap untuk berlari dan menggendong cucu tersayang. Di usia ini, saya memiliki 4 orang cucu. Yang pertama usianya sudah 15 tahun, ia senang memendam masalahnya. Cucu kedua usianya 10 tahun, senang main bola di pekarangan rumah. Cucu ketiga usianya 5 tahun, setiap hari harus makan es krim. Cucu keempat usianya baru 3 tahun, tiada hari tanpa menangis. Saya menyayangi mereka, melebihi rasa sayang pada sendiri. Satu senti pun mereka terluka, akan saya cari siapa pelakunya hingga ke ujung dunia. Kasih sayang saya tak terbatas, apapun akan saya lakukan untuk membahagiakan mereka.
Lalu bagaimana dengan anak saya? Ah, dia sudah tua juga. Saya pikir kasih sayang yang dulu saya dan ibunya berikan sudah cukup. Kini saatnya saya berperan sebagai Kakek dari anak-anaknya. Namun jangan khawatir, bukan berarti saya sudah tidak sayang. Dia darah daging yang saya besarkan sejak lahir. Sudah cukup saya memperkenalkan dia pada dunia. Sekarang saatnya saya memperkenalkan dunia pada cucu-cucu saya.
Cucu terakhir saya lahir saat itu, anak perempuan yang kini usianya tiga tahun. Saat ia lahir ke dunia, saya sedang pergi ke minimarket untuk membeli buah-buahan. Nama Bintang tercetus sebab ia lahir di malam hari, tepatnya pukul 20.10 WIB. Entah apakah benda langit bernama bintang benar-benar muncul pada malam itu? Yang jelas si Ayah (anak saya) ingin memberikan nama tersebut pada anak terakhirnya. Saat saya melangkahkan kaki ke dalam ruangan, bayi tersebut tiba-tiba menangis. Bintang menangis begitu kencang, membuat saya secara reflek melangkah mundur. Apakah bayi tersebut membenci kakeknya? Atau wajah saya terlalu kusam untuk dipandang bayi baru lahir pada saat itu?
Kini usianya baru tiga tahun, Bintang, cucu bungsu saya itu belum bisa bicara dengan jelas. Walau begitu, ia tetap bisa menangis dengan kencang, membangunkan tetangga yang sedang tidur siang atau membuat si Ayah dan Ibunya terjaga setiap malam. Saya terbiasa membawa Bintang jalan-jalan ke taman pada sore hari bersama saudara-saudaranya, memperlihatkan betapa indahnya rumput dan pohon-pohon hijau di sekitar. Senang sekali melihatnya lari-larian di taman, terkadang membuat saya termenung dalam lamunan. Berandai-andai jika cucu-cucu saya sudah remaja, apakah ia masih mau jalan-jalan bersama Kakeknya yang semakin tua?
“Kakek! Mau beli es krim!” teriakan tersebut memecahkan lamunan saya. Hal yang biasa saya dengar hampir setiap harinya.
Namanya Jagat. Cucu saya, si donatur tetap pada toko es krim dekat taman bermain. Tiada hari tanpa makan es krim. Orang tuanya sudah sering melarangnya untuk makan es krim setiap hari. Namun dasar si Kakek tua ini, saya selalu tidak tega. Setiap pergi bersama, saya pasti membelikan Jagat es krim. Saya tahu itu bisa saja membuatnya sakit flu, tapi terlampau tidak tega rasanya melihat ekspresi yang hendak menangis. Setelah dibelikan es krim, wajahnya akan terlihat berbinar. Kakek mana yang mau melewatkan binar bahagia tersebut?
“Ayo, Kakek belikan,” ujar saya sambil segera menggendong Bintang, hendak pergi ke toko es krim.
Di sudut yang lain, cucu saya Bimo yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola sekelas Ronaldo, kini sedang bermain sendirian dengan bola hitam kesayangannya. Kemanapun akan ia bawa bola itu, bak jimat yang selalu menempel pada tubuhnya. Selepas membeli es krim bersama Jagat dan Bintang, saya hanya memperhatikan Bimo dari jauh, mengawasinya agar tidak jauh dari pandangan. Walaupun usianya sudah cukup besar, saya masih merasa ia hanya bayi laki-laki yang rentan. Bimo masih menjadi anak penakut, ia takut jika mendengar suara petir. Seperti saat ini, tiba-tiba suara petir mengggelegar. Sontak Bintang, Jagat, dan Bimo berlari memeluk saya.
“Jangan takut, Kakek usir ya petirnya,” ucap saya berusaha menenangkan.
Kami segera berteduh, mencari tempat paling aman agar terhindar dari rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan. Untungnya, sebagai Kakek yang siap siaga saya sudah menyiapkan dua payung dan tak lupa jaket dari masing-masing mereka. Tak ingin ketiga cucu saya sakit, segera saya pakaikan jaket hangat tersebut pada mereka. Satu payung untuk Jagat dan Bimo, satu payung lagi untuk Bintang dan saya. Hampir 90% payung itu hanya melindungi Bintang, rintik hujan membasahi sebagian tubuh saya, namun saya tidak peduli. Saya hanya tidak ingin Bintang jatuh sakit. Andaikan saya adalah pengendali air, hujan ini akan saya pindahkan agar tak setetes pun membasahi mereka.
Saya akan lanjut bercerita sambil berjalan menuju arah pulang, tak lupa tetap memastikan agar ketiga cucu saya selalu aman dalam jangkauan. Apa yang kalian tunggu? Cerita tentang cucu pertama saya, ya?
Namanya Senja, cucu pertama saya yang sudah menginjak usia remaja. Rasanya, menceritakan dia dalam satu buku saja tidak cukup. Senja suka es krim, tapi dia tidak pernah mau memintanya. Senja suka menonton bola, tapi dia menontonnya dengan sembunyi-sembunyi. Senja sering menangis, tapi dia meredamnya dengan bantal yang sudah kotor dan bau. Senja anak yang manja, tapi dia harus mengalah dengan adik-adiknya. Senja cucu saya yang malang, ia hanya ingin terlihat kuat sebagai kakak perempuan pertama.
Sebagai seorang Kakek, saya ingin memanjakan semua cucu saya. Setidaknya saya ingin mereka menjadi dirinya sendiri dihadapan Kakeknya, termasuk Senja. Seringkali saya mendapati Senja menangis sendirian di halaman belakang rumah. Sengaja tidak saya hampiri langsung, membiarkannya melepas keluh kesahnya di sana. Saat itu yang saya lakukan adalah melangkah ke arah kulkas dan mengambil semangkuk es krim milik Jagat, lalu menghampiri si cucu tersayang.
“Dulu Ratu Elizabeth kesatu suka makan es krim juga,” ujar saya sambil menyodorkan semangkuk es krim.
Senja dengan cepat menghapus air matanya yang masih tersisa, “Eh? serius, Kek?” tanyanya.
Saya tidak mengiyakannya, tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Saya hanya mengusap rambutnya yang tergerai panjang. Membiarkan keheningan menyelimuti kami.
Banyak orang mengatakan bahwa ‘Kasih Ibu sepanjang masa’, saya setuju dengan hal itu. Namun jangan lupa, bahwa kasih sayang seorang Kakek pun seluas samudera dan tidak akan pernah berakhir. Saya tidak akan melanjutkan cerita bagaimana sosok Senja di mata saya, yang jelas tidak pernah satu detik pun saya membedakan kasih sayang kepada setiap cucu saya. Mereka semua nomor satu di mata saya. Tak ada yang dapat menghapuskan rasa sayang tersebut walau kelak saya dan mereka mungkin akan berbeda dunia.
Umur saya sudah cukup tua untuk bisa menggendong mereka secara bersamaan, punggung dan kaki ini pun sudah tidak kuat. Namun, apapun akan saya lakukan untuk melihat binar bahagia dalam kelopak mata mereka. Saya siap menjadi badut yang dapat menghibur mereka, walau kerap kali Senja marah karena saya terlalu berlebihan. Bagaimana tidak? Waktu itu, saya memanjat pohon dan berlagak seperti seekor monyet. Meski setelahnya punggung saya terasa nyeri, saya tetap senang melakukannya. Tak ada yang bisa melarang saya untuk membahagiakan mereka.
Jika boleh saya meminta kepada Tuhan, sosok tua bangka ini hanya ingin hidup bahagia bersama cucunya. Saya ingin bahagia lebih lama lagi bersama cucu-cucu saya.
“Assalamualaikum, Kakek pulang! Tolong bawakan handuk untuk cucu-cucuku tersayang!”
ALYA NATASYA
Editor: DINA LUSIANA