Topik seputar disabilitas masih membutuhkan banyak perhatian, terutama untuk kategori disabilitas mental. Stigma yang melingkupinya menyulitkan akses para penyandang terhadap akomodasi yang layak agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap lini kehidupan.

Mahasiswa dengan disabilitas mental memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan dipenuhi. Dalam lingkup perguruan tinggi, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, mahasiswa dengan disabilitas mental berhak akan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Karenanya perbincangan seputar realisasi hak-hak penyandang disabilitas mental di lingkup Universitas Pasundan perlu mendapat sorotan. Hal ini tidak terlepas dari upaya mewujudkan kampus yang inklusif sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ilustrator: Rizky Rahmalita
Ilustrator: Rizky Rahmalita

Disabilitas mental kerap kali menjadi ‘invisible disability’ sebab kadang tak terlihat secara kasat mata. 

Disabilitas Mental dan Hambatan Belajar

Rafa (bukan nama sebenarnya), menerawang jauh pada pengalaman lampaunya empat belas tahun silam. Kala itu, ia dan keluarganya bertandang ke rumah seorang kerabat. Rafa yang baru berusia tujuh tahun merasakan ketidaknyaman yang asing dan membingungkan. Lambat laun, ia mulai kesulitan bernafas dan kelopak matanya berkedip-kedip tanpa henti. Rafa panik, ia tak bisa mengontrolnya. Rafa dihinggapi kebingungan yang luar biasa sekaligus juga kesadaran bahwa ia membutuhkan pertolongan.

“Aku tiba-tiba ngicep-ngicep (berkedip-red)  berulang-ulang. Sampai aku ditegur sama orang tua aku. Setelah itu aku semakin nggak bisa mengontrol diri lagi,” tutur Rafa tatkala diwawancarai melalui konferensi video pada 12 Agustus 2024 lalu.

Sejak saat itu, Rafa kecil sering bertanya-tanya soal apa yang terjadi pada dirinya. Teguran, pertanyaan-pertanyaan tajam, dan kesalahpahaman seringkali dilayangkan orang-orang di sekitarnya.

“Aku ditegur terus-terusan, dibilangnya mah kebiasaan. Dulu, waktu kelas empat aku dianggap asbun (asal bunyi-red) dan kasar.”

Rafa adalah orang dengan sindrom tourette. Merujuk pada Diagnostic and Statistical of Manual Mental Disorders 5th Edition, sindrom tourette masuk ke dalam kategori gangguan perkembangan yang ditunjukkan oleh kehadiran tic berupa gerakan atau vokalisasi cepat dan berulang-ulang, mendadak, tidak terkendali atau hanya bisa dikendalikan secara parsial.

Dalam kesehariannya, Rafa mesti bergelut dengan tic yang tak bisa diprediksi. Akibatnya, ia kesulitan untuk fokus, sebab harus menahan tic agar tak muncul ke permukaan. Rafa juga sering dihinggapi kegelisahan yang dalam tatkala tic yang dimilikinya muncul.

“Kalau sudah kayak gitu, kadang aku mukul diri-diri sendiri juga karena kenapa sih nggak bisa berhenti gitu. Aku jadinya sedih nggak bisa hidup seperti orang lain karena kambuh terus,” ungkap Rafa.

Kesulitan serupa masih dirasakannya hingga bangku perkuliahan. Pria kelahiran Bandung yang tengah menempuh studi Ilmu Komunikasi di Universitas Pasundan ini mengaku tak pernah bisa fokus pada apapun yang diajarkan oleh dosen. Rafa sering tak datang ke kelas karena mengalami masalah sensorik. Jika sudah begini, Rafa tak punya pilihan. Ia harus berhenti, diam dan duduk sejenak.

Soal tugas perkuliahan, ia tak kalah kesulitan. Rafa kerap kali duduk berjam-jam di hadapan laptopnya tanpa kemajuan apapun. Rafa bahkan menjelaskan bahwa ia sering tidak mampu merampungkan tugas karena kesulitan-kesulitan ini.

Struggle pisan. Tugasnya teh kadang sederhana kaya cuma menjawab soal, tapi butuh effort yang gede buat ngondisiin diri urang (akured) supaya bisa ngerjainnya,” keluh Rafa.

Imbasnya, Rafa harus banyak ‘mengikhlaskan’ tugas perkuliahan yang menjadi salah satu komponen penilaian performa akademiknya. Ia tak pernah bertanya soal kebijakan akomodatif seputar tugas kepada dosennya. Rafa ragu, sebab sindrom ini tergolong langka dan pemahaman orang awam terhadapnya juga sangat terbatas. Ia takut jika pada akhirnya malah mendapatkan pelabelan buruk karena kondisinya.

“Yah, mau gimana lagi. Aku cuma ngumpulin tugas kalau dosennya emang membuka kesempatan buat orang-orang yang belum mengumpulkan,” jelas Rafa.

Rafa tak punya harapan apa-apa selain keinginannya terhadap fleksibilitas waktu dan diversifikasi tugas. Bagi Rafa, tugas berbasis praktik adalah sesuatu yang cocok untuk dirinya. Mahasiswa yang gandrung pada dunia filmografi ini berharap bisa tetap memiliki performa akademik yang baik lewat penyesuaian tugas yang diberikan dosennya.

“Tugas-tugas praktik kayak gini sebetulnya bisa bikin lebih fokus buatku,” ujar Rafa.

Rafa juga berharap supaya ia bisa mengakses layanan konseling di kampus karena masalah akademis yang dihadapinya. Meskipun ia telah menjalani medikasi bersama psikiater, Rafa tetap butuh pendampingan dari kampus untuk menavigasi masalah akademik yang dihadapinya.

“Biaya konseling itu nggak murah. Informasi soal apa itu sindrom tourette sudah banyak di internet. Tapi dampaknya jarang disinggung. Dampak ke relasi sosial, perilaku, masalah akademik. Karenanya, aku butuh layanan semacam ini untuk menavigasi masalah akademik ini,” ungkap Rafa.

Sulit Terbuka Karena Stigma

Hal yang serupa dialami juga oleh Nadia (bukan nama sebenarnya) yang mengalami gangguan kecemasan bertipe 300.02 (F41.1), biasa dikenal dengan nama generalized anxiety disorders. Nadia tak bisa mengingat kapan tepatnya ia mulai merasakan kecemasan tak terkendali ini.

“Sudah sejak lama. Tapi, semakin ekstrem di masa SMP hingga sekarang,” cerita Nadia saat diwawancarai pada 12 Agustus 2024 lalu.

Terkait perkuliahannya, Nadia mengaku cukup kesulitan. “Wah, pontang-panting aku!” ujarnya.

Nadia bercerita dalam kesehariannya, ia perlu berjibaku dengan segala kecemasan. Mahasiswi Hubungan Internasional ini sering  merasa frustasi dengan beberapa ekspektasi akademik yang dibebankan padanya.

Gua memang gak pernah miss tugas dan selalu masuk kelas. Berat sebetulnya harus selalu keeping up dengan standar orang-orang yang nggak punya disability semacam ini,” jelas Nadia.

Nadia kemudian bercerita bahwa masalah terbesar yang menjadi momok menakutkan baginya adalah stigma. Hal ini menjadi pertimbangan utama Nadia untuk tidak pernah terbuka dengan kondisinya.

Slump (kondisi kelelahan mental yang ditandai oleh hilangnya motivasi-red) secara umum jadi ketakutan gua dan orang-orang dengan gangguan kecemasan. Kalau lagi slump, kita beneran gak bisa apa-apa dan shut down,” kata Nadia.

Kondisi semacam ini menurut Nadia rawan dianggap sebagai kemalasan belaka. Karenanya ia enggan meminta kebijakan yang akomodatif dalam bentuk tenggat  tugas yang lebih longgar kepada dosennya. Padahal, ia amat membutuhkannya.

“Kalau misalnya gua udah break down dan nggak bisa ngapa-ngapain, gua maksain banget bagaimanapun caranya, apapun jalannya.”

Nadia tak menyangkal bahwa ia butuh akomodasi khusus. Ia membutuhkan fleksibilitas waktu agar dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Di samping itu, Nadia juga mengungkapkan kebutuhannya terhadap kehadiran ruang konseling. Meskipun Nadia rutin menjalani pengobatan  bersama psikiaternya, ia berharap dapat memiliki ruang aman di kampus untuk berbicara soal kesulitannya. Terlebih, bagi Nadia biaya perawatan kesehatan mental yang dikeluarkannya tidak sedikit.

“Terakhir kali bisa ke psikolog setahun lalu karena isu keuangan. Kayaknya gua butuh ruang konseling yang pengertian, especially when it comes to my academical problem,” tandasnya.

Baik Rafa maupun Nadia, keduanya mengaku belum pernah mengakses layanan konseling yang berada di kampus. Mereka bahkan tidak mengetahui  apapun soal keberadaan layanan semacam ini di lingkungan kampus.

Secercah Harapan di Kampus Kita

Akomodasi terhadap peserta didik kategori disabilitas mental seperti Rafa dan Nadia sebetulnya telah diatur dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang selanjutnya diatur dengan lebih rinci dalam Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023 Tentang Akomodasi yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas Pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.

Pasal 42 UU No.8/2016 telah mengamanatkan bahwa setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan unit layanan disabilitas. Secara umum, unit ini ditujukan untuk melindungi, mengadvokasi, dan mewujudkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Sayangnya, hingga artikel ini ditulis, unit semacam ini belum terbentuk di lingkungan Universitas Pasundan. Meskipun demikian, upaya memfasilitasi kebutuhan para penyandang disabilitas mental biasanya ditempuh lewat sejumlah layanan konseling yang dimiliki oleh kampus.

Uga Pratama adalah pekerja sosial sekaligus pengajar prodi Kesejahteraan Sosial (KS) yang mengelola layanan konseling di tingkat prodi. Sejak tahun 2021, ia aktif menjadi konselor yang memberikan layanan kepada mahasiswa.

Kala ditemui 10 Juli 2024, Uga bercerita bahwa layanan konseling KS ini merupakan peleburan dari layanan yang berada di tingkat fakultas. Karenanya Ia menegaskan, seluruh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tetap dapat  mengakses layanan konseling ini. Peleburan didasarkan pada pertimbangan ketersediaan tenaga profesional pemberi konseling yang kebetulan banyak terdapat di lingkup prodi KS.

“Mungkin karena dilebur ke dalam prodi KS, jadi tidak terlalu banyak temen-temen dari prodi lain yang akses. Padahal sebetulnya bisa. Sekarang pun mulai ada mahasiswa prodi lain yang  mengakses layanannya,” jelas Uga.

Dalam ruangan berukuran 3 x 4 itu, Uga juga aktif membantu mahasiswa dengan disabilitas mental. Pria yang juga merupakan seorang hipnoterapis ini sering mengeluarkan rekomendasi terkait hambatan belajar yang dialami mahasiswa dengan disabilitas mental.

“Ada beberapa yang keadaannya disalahpahami. Rata-rata baru muncul ketika penyusunan skripsi, yang sebetulnya dalam kesehariannya pun sudah terlihat tapi masih ada dalam level yang terkontrol,” tutur Uga.

Dalam kasus yang demikian, Uga menjalankan intervensi yang akomodatif. Agar peserta didik dapat beradaptasi dengan baik dan mendapatkan penanganan yang tepat, Uga aktif berkoordinasi dengan dosen pembimbing mahasiswa.

“Kita pelajari dulu kebutuhan mahasiswanya. Setelahnya, kita komunikasikan ke pembimbing, bahwa ‘Pak, Bu, punten mahasiswa ini mengalami kendala. Baiknya, model atau metode penanganannya khusus,” tambah Uga.

Pada level universitas, terdapat pula unit pelaksana teknis (UPT) konseling yang secara struktural menginduk pada Bidang Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Alumni, Agama, dan Budaya. Layanan semacam ini kemudian dikembangkan cabangnya ke tiap-tiap fakultas. Tercatat per 17 Agustus 2024, hanya tinggal  Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan yang masih mempersiapkan pembentukan bidang konseling.

UPT konseling didirikan dengan tujuan awal  membantu mahasiswa penerima bidikmisi (beasiswa yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa sarjana dan diploma dari keluarga kurang mampu dengan potensi akademis bagus) agar dapat memenuhi target masa studi yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu, UPT ini kemudian melebarkan sayap pelayanannya. Cakupannya dibuat lebih universal untuk seluruh sivitas akademika dan calon purnabakti.

Dalam praktiknya, UPT konseling merupakan tahapan terakhir yang menjadi rujukan ketika pelayanan konseling di tingkat fakultas tidak sanggup menangani permasalahan klien. Mahasiswa dengan disabilitas mental yang kemudian membutuhkan pertolongan lebih lanjut dapat diarahkan ke fasilitas kesehatan lewat bantuan pembiayaan yang dikeluarkan oleh fakultas.

Menanggapi masalah yang dihadapi oleh Rafa dan Nadia, Asep Syamsulbachri, Kepala UPT Konseling memandang  penyesuaian-penyesuaian yang akomodatif mutlak diperlukan demi keberlangsungan pembelajaran yang merangkul semua orang.

“Karena ada hambatan tadi, (penyandang) jangan sampai distigma. Harusnya pengajar-pengajarnya diberitahu dan tetap harus memberi kesempatan kepada mereka. Tugas-tugas yang diberikan juga bisa disesuaikan,”  ujar Asep saat ditemui di ruangannya, 16 Agustus.

Menurut Asep, peran dosen wali menjadi sangat vital dalam upaya mengakomodasi kebutuhan mahasiswa dengan disabilitas mental. Dosen wali menjadi ujung tombak pertama dalam proses intervensi. Oleh sebab itu, Asep merasa bahwa peningkatan kompetensi dan kesadaran terhadap isu disabilitas mental menjadi landasan yang paling fundamental untuk mengurangi stigma akibat ketidaktahuan.

Asep  menawarkan gagasan pengadaan pelatihan advokasi mahasiswa dengan disabilitas mental dan masalah kejiwaan untuk tenaga pengajar.

“Bisa diberikan insentif bagi dosen yang mengikuti, jadi  pelatihan ini mestinya  bisa dikonversi ke dalam isian beban kerja dosen (BKD). Kalau (dosen) sudah mengerti mah nggak akan ada prasangka,” tegas Asep.

Asep kemudian juga menjelaskan langkah yang dapat ditempuh mahasiswa dengan disabilitas mental untuk memperoleh layanan.

“Pertama-tama, melalui dosen wali kemudian diarahkan untuk mengakses layanan di tingkat fakultas. Dan, selanjutnya diarahkan kesini (UPT) jika tidak dapat ditangani,” jelas Asep.

Menyinggung persoalan akses informasi yang masih terbatas soal kehadiran layanan konseling kampus, Asep menilai bahwa sosialisasi yang intensif perlu dilakukan.

“Kita perlu buat sosialisasi kembali. Tiap tahun kita bikin sosialisasi informasi ke tingkat fakultas, terutama mahasiswa baru. Idealnya jika sudah terpapar informasi,  hambatan belajar bisa cepat dideteksi dan dapat diberitahukan kepada kampus,” ujarnya.

Sosialisasi yang berkesinambungan kepada seluruh sivitas kampus menjadi amat penting, agar mahasiswa seperti Rafa dan Nadia tak harus menanggung beban sendirian. Hal ini kemudian juga harus dibarengi oleh sikap proaktif kampus dan seluruh elemen di dalamnya untuk mendukung mahasiswa dengan disabilitas mental lewat sejumlah kebijakan dan program akomodatif. Sebagai mahasiswa, upaya penciptaan lingkungan akademik yang inklusif dapat diwujudkan lewat peningkatan kepekaan terhadap sesama. Sebab, tak semua disabilitas itu bisa langsung segera terlihat.  ****

 

*Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penulis: RIZKY RAHMALITA

Editor: CANDRA OKTA AHMADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *