Ilustrator: Ade Nurul Aulia

Kampusiana, Jumpaonline – Seorang mahasiswa sekaligus teman kami, R (nama samaran) begitulah ia meminta untuk disebutkan dalam tulisan ini. Ia merupakan seorang penyandang disabilitas fisik yang dengan baik hati bersedia berbagi kisahnya melalui beberapa kalimat yang akan tersaji dalam tulisan ini. Ia menghadapi keterbatasan pada salah satu kaki, yang mengharuskannya menggunakan kaki palsu sebagai alat bantu mobilitasnya sehari-hari.

Pengalaman di masa silam menjadi cerita awal R dalam berbagi kisahnya di tulisan ini. Ia memulai percakapan dengan menceritakan sebuah kejadian yang kurang menyenangkan. Saat itu, ia masih menjadi siswa di SMPN 1 Dauwan. Dalam suatu momen, ketika ia bergegas menuju kelas, ia mengalami musibah saat menuruni tangga yang sudah rusak dan tidak memiliki pegangan, sehingga ia terjatuh. Sebuah insiden yang mencerminkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan penyandang disabilitas. Kaki palsu yang biasa ia andalkan patah dan harus diperbaiki. Hal itu memaksanya untuk tinggal di rumah dan menunggu hingga alatnya dapat berfungsi kembali. Pengalaman yang ia alami menjadi persoalan dilematis, dan realita di perguruan tinggi yang kini ia tempuh pun masih mengharuskannya menghadapi tantangan serupa terkait aksesibilitas yang seharusnya ia terima.

Kini, R adalah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pasundan. Sehari-harinya, R tidak banyak melakukan aktivitas di lingkungan kampus, karena ia masih mengalami keterbatasan aksesibilitas yang diterimanya. Selain itu, pengalaman tidak mengenakan yang ia alami sewaktu SMP  masih membekas dalam ingatannya. Hal itu juga menjadi alasan ia enggan untuk melakukan banyak aktivitas. 

“Aku itu kalau misalkan jalan jauh ke depan suka susah dan takut kalau alat bantunya kenapa-kenapa, jadi aku ga mau ngerepotin mereka karena jalan aku lama,” ujarnya.

Suatu ketika, R tidak menghadiri kelas karena ruang kelasnya dipindahkan ke lantai atas yang tidak memiliki akses lift. Ia merasa cemas harus menaiki tangga dan akhirnya memilih  untuk tidak datang, takut kaki palsunya akan rusak lagi. Ketika ditanya terkait adanya perhatian dan toleransi yang diberikan oleh kampus terhadap R, justru ia merasa kurang diperhatikan dan diberi fasilitas kampus yang memadai untuk penyandang disabilitas seperti dirinya.

Bagaimana Aksesibilitas bagi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 8, Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan. Pada ayat 2 di pasal yang sama, kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.

Ricky, salah satu staf di Bandung Independent Living Center (BILiC), suatu komunitas yang bergerak di bidang pemberdayaan penyandang disabilitas, duduk dengan tenang saat berbicara terkait pentingnya aksesibilitas di lingkungan kampus bagi penyandang disabilitas. Ia menjelaskan bahwa aksesibilitas bukan hanya sekadar fasilitas, tetapi juga merupakan hak yang harus dipenuhi. “Aksesibilitas adalah kemudahan yang seharusnya ada, seperti pengadaan bel dan lampu di toilet untuk tunanetra dan tunarungu, serta penggunaan toilet duduk dengan pengamanan untuk tunadaksa,” jelas Ricky, menegaskan bahwa semua ini penting demi kesetaraan bagi penyandang disabilitas. 

Ricky juga mengungkapkan bahwa ada beberapa kampus yang sudah memenuhi spesifikasi kampus ramah disabilitas, salah satunya Universitas Padjadjaran (Unpad). Ia menceritakan tentang Unpad yang telah berupaya memenuhi kebutuhan aksesibilitas dengan berkolaborasi bersama BILiC. “Unpad sudah mencapai sekitar 70% dalam hal aksesibilitas. Meskipun masih ada yang perlu diperbaiki, banyak fasilitas baru yang telah diterapkan, termasuk warung dan kantin yang kini menggunakan bahasa isyarat,” ujarnya.

Kemudian, ketika ditanya perihal unit layanan disabilitas di lingkungan kampus, Ricky menuturkan bahwa kampus sudah seharusnya menyediakan layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas. Didasari oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023 pasal 15 ayat 1 yang berisikan, setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas. Hal tersebut dianggap penting karena dapat menjadi wadah informasi dan keresahan bagi penyandang disabilitas.

Lebih rinci lagi, Ricky juga sempat memberitahukan mengenai apa saja yang seharusnya ada pada Unit Layanan Disabilitas ini. Contohnya, banner informasi khusus penyandang disabilitas, penggunaan abjad braille berkaitan dengan informasi khusus untuk tunanetra, peralatan seperti kursi roda, tongkat, dan lain sebagainya.

“Lebih ke akses aja, buat teman-teman disabilitas yang bisa akses untuk mendapatkan informasi itu,” pungkas Ricky.

Realita Aksesibilitas yang Diberikan Kampus

Yudi Garnida, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Sumber Daya Manusia (SDM), Sarana Prasarana dan Sistem Informasi Universitas Pasundan, duduk di ruangannya pada Jumat siang, 5 Juli 2024, sekitar pukul 13.00 WIB. Saat itu ditanyakan kepadanya mengenai realita aksesibilitas yang telah kampus sediakan untuk penyandang disabilitas, ia tampak berpikir sejenak hingga ditanggapinya pertanyaan tersebut. Ia dengan lugas menyampaikan bahwa kampus telah menyediakan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas seperti jalur untuk kursi roda dan akses lift, khususnya pada gedung belakang di kampus I Lengkong, gedung rektorat di kampus II Tamansari dan gedung C di kampus IV Setiabudi yang memang didesain dengan fasilitas ramah disabilitas. Kemudian, ia sangat menyayangkan karena Universitas Pasundan ini merupakan kampus yang cukup tua, maka masih banyak gedung yang tidak mendukung pengupayaan aksesibilitas, terutama gedung-gedung lama yang belum dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas. 

“Memang, gedung-gedung awal tidak dirancang dengan fasilitas ramah disabilitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kami telah membangun gedung baru yang memang didesain untuk itu,” tambahnya.

Keterbatasan di gedung-gedung lama, baik di Lengkong, Tamansari, maupun Setiabudi sering kali menyulitkan mahasiswa penyandang disabilitas untuk beraktivitas, terutama saat mereka harus naik ke lantai atas tanpa adanya akses lift. Menyadari tantangan ini, Yudi mengusulkan pengalihan kelas bagi mahasiswa penyandang disabilitas dari gedung lama ke gedung baru. “Solusi yang paling efektif adalah menggunakan lift, tetapi kami tidak bisa membangun lift di gedung yang sudah ada. Kami perlu mendapatkan informasi dari mahasiswa (penyandang disabilitas-red) tentang bagaimana mereka bisa merasa lebih nyaman saat harus naik tangga,” jelasnya.

Tak hanya itu, Yudi juga menyoroti masalah fasilitas toilet yang masih perlu diperbaiki. Banyak toilet yang berukuran kecil dan beberapa di antaranya belum dilengkapi dengan toilet duduk serta pegangan pada dinding. “Kami bisa melengkapi fasilitas di toilet, termasuk mengganti toilet jongkok dengan toilet duduk. Namun, untuk memperbesar ruangan, itu sudah tidak mungkin karena keterbatasan desain yang ada,” tambahnya dengan percaya diri.

Namun, yang sangat disayangkan adalah universitas masih belum memiliki data akurat mengenai jumlah mahasiswa penyandang disabilitas. Meski terdapat  laporan dari fakultas setiap kali penerimaan mahasiswa baru, data khusus tentang penyandang disabilitas tidak tersedia. “Kami tidak pernah bertanya dalam forum mengenai keberadaan penyandang disabilitas karena itu sensitif. Namun, hal ini penting untuk merespons kebutuhan mereka ke depan,” ungkap Yudi.

Yudi menyampaikan bahwa, sebetulnya pihak universitas menyadari segala keterbatasan yang ada, baik dari segi aksesibilitas maupun kepekaan terhadap permasalahan yang dialami mahasiswa. Kesadaran ini menjadi langkah baru bagi universitas untuk melakukan pembenahan dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi seluruh mahasiswa.

Solusi Birokrat untuk Mahasiswa Penyandang Disabilitas 

Perbincangan panjang masih terjalin dengan Yudi Garnida, yang semakin mendalami solusi birokrasi untuk mahasiswa penyandang disabilitas. Masih di tempat dan waktu yang sama, dengan semangat ia menyampaikan berbagai rencana dan kebijakan yang akan diterapkan untuk meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di kampus serta memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun banyak gedung yang dibangun tanpa mempertimbangkan aksesibilitas, ia berharap pihak universitas dapat berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah konkret demi menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi seluruh mahasiswa.

Adapun fokus utama pihak universitas yang disampaikan oleh Yudi salah satunya yaitu terkait pengembangan fasilitas yang ramah disabilitas. Di kampus IV Setiabudi misalnya, ia menyampaikan bahwa ada rencana ambisius untuk membangun penghubung antara gedung utama yang dilengkapi lift dan dua gedung lainnya. “Ini adalah langkah untuk memudahkan mahasiswa penyandang disabilitas mengakses ruangan di lantai atas tanpa kesulitan,” katanya. Ia menegaskan komitmen universitas untuk memperbaiki infrastruktur yang ada, “Solusinya adalah membuat penghubung antara gedung C ke gedung A dan B,” tegasnya.

Namun, ada tantangan yang pihak universitas meski pikirkan. Di Kampus I Lengkong dan Kampus II Tamansari, gedung-gedung lama masih digunakan untuk ruang kelas, meski aksesibilitasnya terbatas. Yudi menjelaskan, “Untuk saat ini, kami berupaya agar kelas yang diisi penyandang disabilitas tidak dilakukan di gedung lama.” Ia menyadari bahwa membangun fasilitas baru di gedung lama bukanlah pilihan yang realistis, sehingga pengalokasian beberapa ruang kelas ke gedung baru menjadi solusi yang paling memungkinkan dalam waktu dekat.

Selain fasilitas fisik, Yudi juga menyoroti terkait pentingnya unit layanan disabilitas. Namun, ia mengakui adanya keterbatasan SDM yang membuat universitas belum bisa menyediakan layanan tersebut. “Saat ini, kami tidak memiliki tambahan karyawan untuk unit layanan disabilitas. Namun, kami bisa menyediakan tim satgas dari karyawan yang ada,” ujarnya.

Dengan serius, Yudi berkomitmen untuk merespons kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Ia berencana mengadakan diskusi dan pengumpulan masukan sebagai langkah awal untuk mengembangkan kebijakan yang lebih inklusif. “Saya akan menampung aspirasi mereka dan mengupayakan solusinya,” pungkas Yudi, menegaskan keseriusannya.  

Menyoal Pendidikan Inklusif di Universitas Pasundan

Di ruangan berbeda, Cartono, Wakil Rektor Bidang Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Alumni, Agama, Budaya Universitas Pasundan, dalam suasana tenang saat ditanya tentang realisasi kebijakan untuk memudahkan mahasiswa penyandang disabilitas. Ia mengakui bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara untuk mencerdaskan bangsa, tanpa memandang suku, agama, ras, atau aspek lainnya, termasuk bagi mereka yang memiliki disabilitas.

Melanjutkan penjelasannya, ia menyebutkan berbagai upaya yang sedang dilakukan universitas untuk mempersiapkan fasilitas, infrastruktur, dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. “Misalnya, untuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, kami berusaha menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Sementara itu, bagi yang memiliki keterbatasan intelektual, kami perlu mempersiapkan kurikulum dan dosen pendamping yang dapat memberikan dukungan,” ungkap Cartono.

Namun, ia menyatakan bahwa proses persiapan tersebut cukup panjang dan universitas belum sepenuhnya siap untuk menerima mahasiswa penyandang disabilitas. “Kami belum siap untuk menerapkan pendidikan inklusif bagi semua kalangan masyarakat,” tambahnya.

Padahal, pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pasal 40 ayat 1 disebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Lalu disambung ayat 2 yang berisikan, Penyelenggaraan dan/atau fasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus.

Berkaitan dengan definisi pendidikan inklusif ini, kita dapat merujuk ke Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1, bahwa pendidikan inklusif adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik, termasuk yang memiliki kelainan dan potensi istimewa, untuk belajar bersama dalam satu lingkungan pendidikan.

Pihak universitas sebenarnya telah menerima beberapa laporan terkait mahasiswa penyandang disabilitas yang hendak mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar dari beberapa fakultas. Hanya saja pada akhirnya keputusan dikembalikan kepada mahasiswa terkait. Cartono pun menjelaskan, “Sebetulnya suka ada laporan dari fakultas atau prodi terkait data mahasiswa penyandang disabilitas, namun kami kembalikan ke fakultas dan mahasiswa tersebut apakah siap menerima segala keterbatasan aksesibilitas yang ada,” jelasnya.

Lebih jelas lagi, Cartono menegaskan, bilamana mereka bersikeras untuk menyelesaikan pendidikannya tentu dipersilahkan, namun mereka akan dibantu dengan kurikulum khusus serta infrastruktur yang terbatas dan seadanya. Selain itu, berdasarkan laporan yang ada, angka persentase penyandang disabilitas pun terbilang kecil, sehingga pada akhirnya tidak begitu mendominasi dalam proses pengambilan keputusan.

“Secara real memang relatif sedikit menemukan mahasiswa penyandang disabilitas dalam sebuah institusi, sehingga karena persentasenya yang sangat kecil, akhirnya kami belum jadikan itu menjadi sebuah prioritas. Tapi paling tidak untuk kedepannya, kami menyiapkan fasilitas untuk jangka panjang terkait dengan hal itu,” pungkas Cartono.

 

ADE NURUL AULIA

Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: ADINDA MALIKA TRYCAHYANI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *