Potret salah satu sesi diskusi Black September dengan tema Kesaksian Keluarga Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu pada Sabtu, 14 September 2024 di IFI Kota Bandung. (ASTI PRESTIANA DEWI/JUMPAONLINE)

Beberapa peserta melangkah menuju ruangan yang tersembunyi di ujung lorong. Setelah memasuki ruangan yang dibalut dengan dekorasi serba hitam, terasa perbedaan atmosfer yang sangat kentara dibanding keadaan di luar ruangan ini. Ruangan itu dipenuhi dengan peserta dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari aktivis hingga mahasiswa. Mereka semua dengan seksama mendengar kisah tragis korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat lewat saksi sekaligus keluarga korban. 

Diskusi mengenai Black September yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas Bandung di IFI (Institut Francais Indonesia), Kota Bandung pada Sabtu, 14 September 2024 lalu begitu hikmat. Black September atau September Hitam merupakan salah satu acara untuk mengingat peristiwa kelam pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September. Dalam diskusi itu , semua peserta mematung mendengar kisah tragis korban yang direbut haknya dengan cara keji. Sesekali, para pendengar di dalam ruangan riuh bersorak seolah setuju dengan peristiwa yang dialami oleh para korban.

“Ibu saya adalah korban asal tangkap, karena ibu saya tidak tinggal di Tanjung Priok, tetapi di Cempaka Putih. Pada dini hari, tiba-tiba rumah digedor oleh ABRI dan dibawa ke markas mereka untuk diinterogasi,” tutur Muhammad Ruhullah Thohiro Ruhi, salah satu keluarga korban peristiwa Tanjung Priok dalam sebuah wawancara. 

Ruhi menuturkan bahwa ibunya merupakan korban pada peristiwa Tanjung Priok. Ia adalah satu-satunya wanita yang digiring masuk ke dalam penjara, sekaligus dipaksa untuk mengiakan tuduhan atas peristiwa tersebut. Ruhi meneruskan, ibunya tidak hanya diinterogasi dan dipaksa mengakui tuduhan, tetapi sempat mengalami siksaan dan pelecehan seksual. 

Ia juga menambahkan, berbagai upaya telah Ia kerahkan untuk mendapatkan keadilan bagi ibunya. Salah satu upaya yang ditempuh Ruhi tersebut adalah lewat proses pengadilan. Namun, tidak semua tahap pengadilan dapat dilakukan dan akhirnya hakim memutuskan untuk membebaskan para pelaku peristiwa Tanjung Priok. Menurutnya, hakim beralasan bahwa pembebasan ini dilakukan karena pelaku tidak mengetahui bahwa senjata yang dipakainya itu berisi peluru. Setelah pengadilan selesai dan pelaku dibebaskan, korban tidak mendapatkan kompensasi, restitusi, ataupun rehabilitasi. 

Ruhi menjelaskan, peristiwa Tanjung Priok dianggap selesai oleh negara. Namun, apakah ‘selesai’ kasus pelanggaran HAM berat oleh negara adalah selesai dalam pengadilan? Ruhi sama sekali tidak melihat sisi keadilan untuk korban, sehingga kasus ini sama sekali tidak dapat benar-benar dikatakan selesai.

Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia Tak Kunjung Selesai

Jane Rosalina, perwakilan dari Divisi Pemantauan Impunitas KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan) menjelaskan, negara Indonesia seakan tidak mau kasus pelanggaran HAM berat ini dibawa ke ranah Internasional. Di samping itu, negara membuat Undang-Undang No 26 Tahun 2000 sebagai akal-akalan negara untuk menyelesaikan kasus kejahatan pelanggaran HAM berat di  Indonesia. 

Ia juga menuturkan bahwa Kejaksaan Agung yang diberikan mandat penuh atas Undang-Undang No 26 Tahun 2000 adalah aktor utama yang melanggengkan impunitas. Komisi Nasional HAM  telah memberikan berkas-berkas kasus pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung. Namun, bukannya menindak lanjuti kasus, Kejaksaan Agung malah enggan dan menolak berkas dengan alibi kekurangan bukti. 

Di sisi lain, Jane menjelaskan bahwa Presiden memiliki otoritas dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, yaitu pembentukan pengadilan khusus untuk menangani dan memutuskan kasus pelanggaran HAM. Jadi, jika Presiden benar-benar serius, Presiden dapat mengeluarkan keputusannya untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Jane mengungkapkan keprihatinannya tentang keadaan negara Indonesia yang tidak memiliki political will atau keinginan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Jika Undang- Undang No 26 Tahun 2000 ditegakkan dan dilibatkannya peran Presiden, maka bisa-bisa saja negara menangani kasus pelanggaran HAM berat ini.

Fakta lain yang dibeberkan oleh Jane yaitu Presiden Jokowi berani untuk ‘memutihkan’ kasus, seolah-olah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Jokowi dengan leluasa merangkul jenderal-jenderal Orde Baru. Mereka diberi “jalan tikus” untuk menyelesaikan kasus dengan memberikan bantuan sosial kepada korban. Bantuan sosial yang diberikan pun sama sekali tidak menyentuh ranah pemulihan, apalagi keadilan bagi korban. 

Dugaan Masa Depan untuk Keadilan Korban

Dalam kurun waktu dekat, menurut Jane, Presiden terpilih Indonesia yang akan dilantik pada Oktober 2024 mendatang memiliki rekam jejak yang buruk dalam sejarah pelanggaran HAM berat di Indonesia. Prabowo Subianto telah diidentifikasi memiliki keterkaitan dalam peristiwa tersebut. Salah satunya, tragedi penculikan dan penghilangan paksa pada tahun 1997-1998. 

Jane berpendapat, ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika “penjahat” HAM dilantik menjadi seorang pemimpin negara. Pertama, yaitu alibi menyelesaikan kasus, namun yang dilakukan adalah ‘memutihkan’ kasus tersebut dengan membuat akal-akalan agar kasus dianggap selesai. Kemungkinan kedua yaitu ‘memutihkan’ kasus secara keseluruhan, dengan cara menyelesaikan seluruh kasus pelanggaran HAM berat tanpa memberikan keadilan kepada korban.

Dalam salah satu sesi diskusi, Jane menjelaskan bahwa masih banyak jalan terjal yang akan dilampaui oleh KontraS dalam upaya memberikan keadilan yang seadil-adilnya kepada para korban. KontraS akan terus melakukan advokasi yang tidak hanya melalui pengadilan, tetapi juga melalui kampanye dan diskusi untuk merawat ingatan dan meningkatkan awareness kepada masyarakat sipil. Selain itu, bisa juga untuk terus diadakannya seruan aksi, seperti Aksi Kamisan.

“Presiden ke depan adalah seorang penjahat HAM, dia adalah mantan Jenderal Orde Baru dan tentu ini akan menjadi tantangan yang begitu besar yang dilakukan oleh KontraS. Mungkin dulu KontraS dibentuk oleh Cak Munir dengan nama Keluarga Korban Penghilangan Paksa itu akronimnya KontraS, ‘S’ nya Soeharto dan mungkin sekarang berubah menjadi ‘Kontra Subianto’,” tambah Jane disusul dengan tepuk tangan yang meriah dari seluruh peserta.

 

DINA LUSIANA

Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: SEPTINA DWIYANTI 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *