Seorang wanita paruh baya terbangun dari tidurnya. Ia kemudian pergi menuju kamar mandi dan bersiap untuk melaksanakan ibadah. Setelah beribadah, ia pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Rutinitas tersebut selalu ia iringi dengan suara radio yang memenuhi seisi rumah. Ketika segala rutinitasnya selesai, ia segera bersiap diri berangkat menuju tempat kerjanya. Perjalanan sejauh tujuh kilometer itu selalu ia tempuh di setiap paginya.
Wanita itu bernama Agis, ia bekerja sebagai seorang pengajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Cimahi. Pada pukul tujuh pagi, ia berbaris di depan gerbang sekolah untuk melaksanakan kegiatan Sapa Pagi. Kegiatan ini mengharuskan para pengajar menyambut anak didik yang baru saja tiba di sekolah. Ketika Sapa Pagi selesai, dimulailah jam pertama pada kegiatan pembelajaran berlangsung. Agis segera melangkahkan kakinya ke ruangan kelas tempatnya mengajar. Sebelum pembelajaran, ia melakukan sesi literasi, anak didik akan membaca suatu bahan bacaan, kemudian menceritakan kembali isi buku yang telah mereka baca di depan kelas. Setelah rampung, pembelajaran pun siap dimulai.
Mengabdi Selama 29 Tahun
Agis Supriatin, merupakan seorang wanita yang lahir di Tasikmalaya pada 17 Agustus 1967. Sejak kecil, ia menghabiskan masa remajanya bersama nenek. Sesekali, ia akan menginap di rumah orang tuanya dan membantu mereka berjualan ikan asin di pasar. Agis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Kehidupan sebagai putri sulung membuat ia berpengalaman dalam mengurus kedua adik lelakinya. Di samping itu, ia tetap meluangkan waktunya untuk merapikan rumah atau memasak. Agis menghabiskan masa sekolahnya di Tasikmalaya, ia juga sempat menempuh pendidikan D3 di STKIP Galuh (sekarang Universitas Galuh) di jurusan Pendidikan Sejarah. Setelah menikah, ia kemudian melanjutkan pendidikan S1 dengan jurusan Pendidikan Geografi di Universitas Bale Bandung. Sesudah lulus dari perkuliahan, profesi yang ia inginkan akhirnya benar-benar terwujud. Sejak saat itu, petualangannya menjadi seorang guru pun dimulai.
Pada suatu sore di bulan Mei 2024, Saya berkesempatan untuk menggali lebih dalam mengenai kehidupan dan pekerjaannya. Sepak terjangnya dalam dunia pendidikan diawali dengan mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP 2 Rajagaluh sampai tahun 1999. “Satu tahun kemudian, saya beralih ke SMP Pasundan 2 Cimahi. Cukup lama mengajar di sana, mungkin sekitar 20 tahun,” ujarnya sembari mengingat masa-masanya mengajar di sana. Pada tahun 2020, Agis dipindahtugaskan ke sebuah SMP negeri yang baru saja diresmikan oleh pemerintah saat itu, yaitu SMP Negeri 16 Cimahi.
Agis bercerita bahwa ia sudah lama memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Sejak tahun 1995 sampai sekarang, ia tetap memegang teguh pemikirannya. Alasannya sederhana, ia ingin memiliki kontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa. Di Indonesia, masih banyak pelajar yang memerlukan ilmu agar bisa menggapai impiannya.
Tugas Mulia dari Sanubari Manusia
Agis selalu membayangkan kebanggaan yang akan ia rasakan ketika nantinya berhasil menjalankan tugas menjadi seorang guru. Tidak dapat dipungkiri, selalu timbul perasaan haru ketika melihat anak didiknya berhasil. Hal itu selalu mampu menumbuhkan rasa bangga tersendiri. “Guru itu sebuah profesi yang mampu menebar ilmu kepada banyak orang,” ujarnya diiringi dengan sebuah senyuman.
Ia menuturkan bahwa menjadi pengajar tidaklah sesederhana memberikan tugas lalu pergi begitu saja, melainkan mereka juga harus mendidik berbagai karakter anak didik yang sangat beragam. Namun dalam hal ini, Agis mengaku bahwa ia tidak merasa kesulitan untuk mengemban tugas sebagai pengajar. Satu-satunya hal yang perlu ia lakukan ketika menghadapi berbagai macam persoalan yang disebabkan oleh anak didiknya yaitu bersikap rileks. Jika terdapat kasus anak didik yang mengalami kesulitan dalam belajar, ia akan melakukan pendekatan kepada anak tersebut. Apalagi jika diberi amanah sebagai seorang wali kelas, tentu ia tidak bisa menghiraukan anak didiknya yang tengah mengalami masalah.
Pengalamannya selama ini dalam menerapkan prinsip tersebut membuahkan hasil. Ia dapat merangkul banyak anak didik yang memiliki masalah di lingkungan rumah maupun lingkup pertemanan. Mereka yang sedang mengalami masalah perlu diberi arahan, dinasehati, dan ditanyakan apa saja hal yang tengah mengganggu pikirannya. Dengan begitu, mereka akan merasa nyaman dan dapat kembali belajar dengan fokus. Ia menekankan, tugas guru tidak hanya memberi ilmu, melainkan untuk mendidik karakter, yang mana salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan terhadap anak didik.
Prinsip bahwa seorang guru seharusnya menjadi seseorang yang berwibawa sudah tertanam jelas dalam benaknya. Hal itu mendorong Agis untuk berusaha menjadi guru yang tidak menakutkan bagi anak didiknya. Meskipun begitu, ia tetap harus memberikan aturan-aturan tegas terhadap anak didiknya, “Anak-anak bilang kalau saya itu bukan galak, tetapi tegas,” Agis terkikik geli setelah mengatakan hal tersebut. Banyak anak muridnya yang memang pernah berkata seperti itu.
Dunia Pendidikan Dalam Sudut Mata Zaman
Ketika beralih menuju topik pembicaraan mengenai pendidikan dahulu dan sekarang, Agis berpendapat bahwa setiap generasi memiliki berbagai perbedaan yang cukup kentara. Dahulu, seorang murid memiliki rasa malu yang besar dan hormat kepada guru. Karena perkembangan zaman, saat ini mereka menjadi lebih berani terhadap guru. Dalam beberapa kasus, terdapat norma-norma yang dilanggar oleh seorang anak didik terhadap gurunya. Agis bersyukur bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi kepadanya. Ia berusaha memposisikan diri sebagai teman, namun tetap memberi batasan antara guru dan murid.
Pendidikan tidak dapat dilepas dari kurikulum yang mengikatnya. Kurikulum di Indonesia telah mengalami perubahan sejak beberapa tahun terakhir. Menurut Agis, kurikulum memang memerlukan perubahan, namun tidak ada perubahan yang signifikan jika menilik pergantian kurikulum dalam beberapa waktu terakhir. Perubahan-perubahan ini tertuang dalam Permendikbud, sehingga mau tidak mau harus dituruti oleh para pengajar. Salah satu perubahan yang terjadi terdapat dalam beberapa pergantian nomenklatur, seperti hilangnya Ujian Sekolah karena digantikan oleh Penilaian Sumatif Akhir Jenjang, padahal keduanya masih memiliki muatan isi yang sama.
Guru perlu mempelajari ritme pendidikan yang terus berganti setiap harinya, entah dalam aspek sistem ataupun teknologi yang terus berkembang. Artinya, bukan hanya siswa yang belajar, namun seorang guru juga perlu belajar dan mengikuti perkembangan zaman di setiap harinya. Sebagai pengajar di abad ke-21, guru dituntut agar dapat menguasai berbagai teknologi. Mau tidak mau ia harus bersedia menyesuaikan diri agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lebih mudah.
Dunia pendidikan saat ini sudah berbasis teknologi, tidak seperti zaman dahulu yang masih berbasis cetak dan menggunakan kertas sebagai medianya. Para murid dimudahkan dengan pengerjaan ujian yang bisa dilaksanakan melalui berbagai media internet, seperti penggunaan Google Form, Word, Excel, dan Power Point. ”Mungkin bagi para guru muda hal tersebut tidak menjadi masalah, tetapi di usia yang sudah mencapai kepala lima, terkadang saya merasa kesulitan dalam mengoperasikannya,” imbuh Agis sembari menatap laptop yang memperlihatkan laman Word. Agis mengakui bahwa hal ini menjadi efisien, karena guru tidak perlu memeriksa hasil ujian anak didik satu per satu. Namun di sisi lain, para murid dapat menyontek dan mengakali ujian dengan mudah.
Antara Pengabdian dan Peran Seorang Ibu
Selain berperan sebagai seorang pendidik, Agis merupakan seorang Ibu yang perlu membagi waktu antara rumah dan sekolah. Pembagian waktu adalah hal yang terpenting saat mengemban dua dunia berbeda secara bersamaan. Agis bercerita bahwa ia sengaja memasukkan anak-anaknya ke Sekolah Dasar yang terletak tidak jauh dari tempatnya mengajar. Setelah pulang sekolah, mereka akan menunggu di sekolah tempat Agis mengajar agar nantinya bisa pulang bersama-sama. Hal tersebut dilakukan agar ia tidak merasa khawatir dan bisa memantau sang anak, mengingat bahwa jarak tempat tinggal dan sekolah terbilang lumayan jauh. Kesulitan yang ia alami terjadi karena nihilnya kemampuan untuk mengendarai kendaraan pribadi. Jika tidak ada yang bisa mengantar, Agis akan menaiki angkutan umum.
Kini, masa baktinya hanya tersisa kurang dari empat tahun. Agis selalu berharap agar sisa waktunya di dunia pendidikan bisa berjalan dengan lancar. Ia ingin tetap menyebarkan ilmu pada usianya yang sudah mulai memasuki usia senja.
NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI
Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: DONI SETIAWAN