Sumber: Netflix

Judul               : The Social Dilemma

Durasi             : 154 Menit

Genre              : Dokumenter

Sutradara        : Jeff Orlowski

Pemeran          : Tristan Harris, Jeff Seibert, Bailey Richardson

 

If you’re not paying for the product, then you are the product.” Itulah narasi yang dicetuskan oleh mantan pakar etika desain Google dan co-founder The Center For Humane Technology, Tristan Harris mengenai media sosial sekarang.

Kutipan tadi berasal dari film dokumenter original Netflix berjudul “The Social Dilemma”  yang disutradarai oleh Jeff Orlowski. Sepanjang film, kamu akan disajikan bagaimana media sosial dan model bisnis yang dikembangkan berpengaruh pada masyarakat kini dan sebagai pengingat bagi kita tentang betapa penggunaan media sosial saat ini berpengeraruh pada kemanusiaan.

Film ini mengkolaborasikan pandangan dari para mantan eksekutif Facebook, Google, YouTube, Twitter, Instagram dan Pinterest. Film fiksi ini menghadirkan latar belakang keluarga yang kecanduan gawai yang penuh konten manipulatif, yang algoritmanya dibuat secara apik oleh aktor Vincent Kartheiser.

Menghadirkan berbagai narasumber seperti pelaku indsutri teknologi, akademisi, hingga aktivis, The Social Dilemma menjelaskan bahwa fenomena sosial dan politik yang terjadi belakangan dapat dijelaskan melalui perkembangan media sosial terkini. “Fungsi teknologi untuk membuat kita tetap terhubung malah menimbulkan sejumlah masalah yang malah mengejar kita,” ucap Tritan Harris salah satu narasumber dalam film. Dapat disimpulkan bahwa cukup banyak dilema yang menghantui kita dalam berselancar di media sosial seperti, dilema kesehatan mental, dilema demokrasi, dan dilema diskriminasi.

Dalam film ini mengungkapkan bagaimana mesin pencarian dan aplikasi media sosial dirancang untuk melacak setiap gerakan pengguna dengan memborbardir iklan dan konten secara terus menerus, sehingga membuat pengguna tertarik terus menatap gawai mereka. Hal semacam itu secara kita tidak sadari, memanipulasi aktivitas sehari-hari di media sosial kita sekarang ini.

Tak hanya itu, bagian dalam film secara gamblang menampilkan bagaimana media sosial menjadi panggung untuk mempromosikan konten yang memicu kemarahan dan kebencian. Algoritma yang diciptakan secara sengaja menjadi penyebab penyebaran berita palsu yang sangat cepat dan sering terjadi dalam iklim sosial dan politik saat ini. Dengan peran beberapa aktor jahat juga didukung oleh algoritma itu, seakan memberikan kesempatan untuk menyebarkan kerusuhan dan memicu polarisasi.

Jika kita melihat realitas sekarang di negara kita pun masih sangat familiar dengan kasus tersebut. Banyak anggapan bahwa warga +62 masih sering terjerumus dalam lingkaran setan ini. Sangat jelas bahwa, berita palsu sampai ujaran kebencian semakin marak muncul dari tahun ke tahun. Contohnya, saat pilpres 2014 diwarnai banyak sekali berita palsu dan ujaran kebencian yang sengaja disebarkan lewat media sosial untuk memojokan paslon dan pendukungnya.

Tidak berhenti di situ, ada saja tiap tahunnya marak berkembang informasi palsu yang menjadi penyakit bagi masyarakat. Saat pandemi covid-19 kini, masyarakat sangat bergantung ke gawainya masing-masing untuk mencari informasi. Tapi masih banyak saja informasi palsu seperti teori konspirasi tentang covid-19, bahkan sampai vaksinasi.

Fenomena tersebut tidak bisa kita cegah dan berhenti dengan sendirinya. Karena, masih banyak pelaku penebar informasi palsu, juga didukung oleh platform media sosial yang sengaja membiarkan informasi itu bertahan hingga dipublikasi dan disebarkan kemana-mana.

Jeff Orlowski, sang sutradara dalam wawancaranya dengan CNN mengatakan bahwa film ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana smartphone, dengan algoritmanya yang sangat menarik perhatian dapat menimbulkan terpolarisasinya ruang kehidupan dan hasrat mengejar profit menyebabkan para pengguna terpapar cara-cara yang dapat menimbulkan ancaman pada demokrasi. Selama metode bisnis itu tetap berjalan seperti itu, polarisasi akan semakin meluap dan akan semakin menguntungkan bagi aktor dibalik fenomena tersebut.

Media sosial  yang dulunya merupakan platform inovatif malah menjadi alat mekanisme iklan yang membuat ketagihan. Sementara pengembang teknologi telah menciptakan sistem fitur desain dan iklan yang adiktif dan manipulatif, pengguna semakin mengandalkan perangkat mereka daripada sebelumnya, dengan cara yang tidak sehat dan berbahaya.

Tapi disaat yang sama, media sosial juga dapat digunakan dengan cara yang positif dan inovatif. Seperti untuk pengorganisasian dalam gerakan sosial melalui berbagi donasi dan tautan petisi untuk mendukung isu positif di masyarakat. Kadang pula menjadi ruang diskursus dalam menanggapi isu-isu yang popular dengan ramai-ramai mengutarakan argumen dari berbagai perspektif sebagai pijakan perubahan.

Walapun film The Social Dilemma secara kentara mengeksplorasi dampak negatif dari sistem alogritma media sosial dan metode bisnisnya. Pada akhirnya film ini juga memberikan solusi untuk menjadi pengguna yang cerdas supaya tidak mudah termanipulasi.

Banyak argumen dari mantan pelaku dalam pembentukan media sosial ini menyebutkan tidak ada motivasi jahat ketika media sosial diciptakan. Mereka menggagas itu dengan niat positif untuk perkembangan teknologi bagi peradaban manusia. Namun, sistem yang dikembangkan malah menjadi boomerang yang mencekam lalu dimanfaatkan dengan tidak manusiawi oleh oknum tuk meraup keuntungan.

Masih banyak hal yang dibahas dalam film The Social Dilemma, dan tidak terbahas dalam tulisan ini. Tapi, kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa film ini  bukanlah suatu kampanye anti media sosial, melainkan kendaraan untuk memberikan kesadaran dalam menggunakan media sosial dan menjadi pengguna yang cerdas. Film ini juga layaknya time capsule yang mengandung kebenaran, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk di masa depan.

 

MUHAMMAD RIZALDI NUGRAHA