Sumber: Pinterest.com

Ketika kita menjalin relasi dengan manusia, pasti disebabkan karena kita merasakan suatu hal yang menarik darinya. Aku menjalin hubungan “spesial” dengan seseorang yang sama sekali tak pernah terbayang olehku dan pada akhirnya aku terkurung dalam penjara karena banyak sekali tuntutan darinya yang harus aku lakukan. Razka, nama yang selalu aku ceritakan kepada sahabatku, Nilam.

Dia sangat menyukai musik metal dan hobi menggambar. Kekagumanku padanya dimulai ketika pertama kali aku menemukannya di sebuah aplikasi kencan yang sedang trend pada masanya. Saat itu, untuk pertama kalinya ia memperkenalkan diri kepadaku dengan kata-katanya yang membuatku sangat tertarik dan juga karena typing gantengnya itu yang membuat aku merasa, “Wah, keren nih.” Gen Z pasti sudah tidak asing lagi dengan typing yang ‘ganteng’. Semenjak saat itu, terhitung hanya 2 hari aku mengenal dirinya dan hingga pada akhirnya Razka mengajakku untuk berkencan, ya, anak muda sekarang menyebutnya dengan relationship atau berpacaran..

Aku dan Razka menjalin kasih selama 1 tahun lebih 7 bulan. Awalnya, hubunganku dengannya masih terbilang baik. Namun, pada suatu hari terjadi peristiwa yang akhirnya memperlihatkan sikap seorang laki-laki yang sangat egois dan keras kepala. Saat itu, ia mengajakku keluar, katanya sih untuk jalan-jalan, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Untuk pertama kalinya laki-laki selain ayahku berani memelukku tanpa alasan. Aku langsung menepis tangannya itu “Heh, Razkaa! lepasin tangan kamu! Jangan macam-macam sama aku!” Tapi dia hanya menjawab dengan hembusan nafasnya sambil tetap mengeratkan pelukannya kepadaku. Saat kita kembali ke rumah masing-masing, aku segera menangis sejadi-jadinya.  Tak lupa dengan Nilam, sahabatku yang sudah aku anggap sebagai keluarga dan sama keras kepala. Aku langsung menelponnya untuk menceritakan kejadian yang aku alami tadi.

Terdengar bunyi tanda telepon sudah tersambung, “Hallo, Nilam. Gue pengen cerita,” jelasku. Saat itu, nada bicaraku terdengar seperti seseorang yang sudah menangis. “Kenapa lu, abis nangis ya? Kenapa? Coba cerita sama gue. Eh, tadi siang lu main kan sama Razka. Tapi kenapa sekarang lu kaya udah nangis?” tanya Nilam secara beruntun. Tangisku kembali menjadi-jadi, bukan teringat si Razka sialan itu, tapi aku merasa selalu merepotkan Nilam dalam segi apapun itu. Dia selalu ada ketika duniaku sedang terpuruk. 

“Gue tadi dipeluk sama Razka dan dia ga minta maaf atau apapun. Padahal, kamu tahu kan dari sejak awal kita pacaran aku udah ngasih tau batasan-batasan kalo kita lagi bareng,” isakku tergagap sambil menarik-narik rambut.

“Gilaa, kan itu udah komitmen lu sama dia buat ga ngelakuin hal macem-macem selama pacaran. Gila dia! Gue ke rumah lu sekarang, kita jalan-jalan sekalian kulineran malam, semuanya gua yang traktir!” Dengan sigap, dia langsung bersiap-siap untuk menuju rumahku.

“Za, gua udah di depan, kita langsung cabut aja. Pake baju seadanya, udah terlalu malem ini.” Sebuah notifikasi muncul di layar handphone milikku. Aku langsung bergegas membukakan pintu dan pergi bersamanya. Sepanjang perjalanan, aku hanya mengamati orang yang terlihat sangat lelah karena pundaknya yang terasa terlalu berat pada hari itu. Ketika sedang asik mengamati perjalanan, teringat suatu kenangan dalam pikiran yang membuatku menjadi sangat menyukai suasana perjalanan. Sedari kecil, ayahku selalu mengajakku pergi walaupun hanya sekedar keliling desa. Setiap mempunyai waktu luang, ayah selalu mengajakku untuk keluar, meskipun hanya sekedar menikmati perjalanan dan melihat orang-orang yang sedang mengemudi itu senangnya sangat luar biasa.

Aku dan Nilam menyantap beberapa makanan di sana sambil membicarakan hal-hal yang sebisa mungkin tidak mengarah kepada hal yang aku ceritakan sebelumnya. Nilam sangat mengerti perasaan orang lain, jadi, sebisa mungkin dia selalu mengajakku mengobrol tentang hal-hal random yang selalu membuat perutku terasa geli karena terlalu banyak tertawa. Malam sudah semakin larut, akhirnya kita berdua kembali ke rumah masing-masing.

Selang beberapa hari, aku mulai merasa ada yang aneh dari sikap Razka. Dia yang semula bersikap sangat manis, tetapi kali ini terlihat berbeda sekali. Pesan WhatsApp dariku yang terkadang dibalas 5 jam sekali, ditambah dengan telepon yang selalu dia tolak, dan masih banyak lagi hal yang membuatku merasa dia sudah tidak lagi interest denganku. Pada suatu malam, tepatnya seminggu sebelum hubungan kita kandas, aku mengajaknya untuk berbincang. Lebih tepatnya, anak muda sekarang menyebutnya dengan deep talk. Alasanku ingin mengajaknya mengobrol lebih intens karena aku merasa bahwa hubungan yang kita jalin semakin hambar, tak banyak pembicaraan di dalamnya. Bahkan, hanya sekedar menanyakan “How about your day?” kerap kali dibalasnya 3 jam kemudian. 

Mulailah aku menanyakan sesuatu pada Razka, “Raz, kamu yakin ga sih sama aku?” Dia menjawab, “Sebenernya aku gak yakin sama kamu, Za. Aku ga suka kalo kamu selalu bad mood, marah-marah sama aku, aku capek selalu jadi sasaran kamu bad mood Za.” 

Campur aduk rasanya. Bingung, kecewa, marah. Terlebih dia gak pernah ngerti kalau perilaku seperti itu terjadi karena dia sama sekali gak pernah memperhatikanku. Razka selalu menuntut sesuatu dariku seperti, “Kamu jangan bete dong.” atau “Kamu marah terus, aku ga suka.” Katanya sih, untuk menjadi pegangan aku juga ke depannya supaya bisa bersikap lebih baik lagi.”Owh, begitu ya,” balasku singkat jemari ini sangat malas untuk mengetik kata yang lebih banyak. Lalu,  terlontarlah sesuatu yang seharusnya tidak kutanyakan, karena itu membuatku menangis semalaman. “Raz, kalo ada perempuan yang bikin tertarik dan bisa masuk ke tipe kamu, yang gak suka bad mood, gak suka marahin kamu, apa yang bakal kamu lakuin?” tanyaku tanpa pikir panjang. “Ya aku pindah aja ke perempuan itu,” katanya dengan enteng. OWW SHITT, kalau begitu, selama ini aku dijadikan apa?

Kejujuran memang suatu hal yang baik. Tapi, terkadang kejujuran itulah yang menghancurkan harapan seseorang. Untuk pertama kalinya, aku menceritakan Razka kepada teman-teman satu organisasi di kampus yang aku ikuti, “Udah Za, tinggalin aja, ngapain terus sama laki-laki gitu. Cari yang lebih baik dan pastinya selalu ngerti gimana keadaan lo, bukan malah nuntut lo harus ini harus itu tapi effort dia ke lo kecil banget. Udah, mending putusin aja.” Kurang lebih begitulah tanggapan mereka. Capek rasanya, bukan? Ketika kita sudah yakin akan selalu bersama dengan seseorang, namun ternyata semua pupus.

Selang beberapa hari setelah ia melontarkan pernyataan yang cukup menyakitkan itu, aku membicarakan hal yang cukup serius kepadanya. Aku mengatakan suatu kejujuran, bahwa mulai saat itu aku sudah menyerah. Pada hari itu hubungan yang kita jalin telah selesai dan ia langsung mengiyakan begitu saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa. 

Lega sekali rasanya, kembali pada kebebasan yang sudah lama kunantikan.Tak lagi terkekang dengan perintah omong kosong yang ternyata sama sekali tidak menjanjikan apapun. Cukup satu kali ini saja aku terhanyut pada ucapan manis yang lambat laun semakin membuatku tak yakin lagi pada seorang laki-laki.

 

SEPTINA DWIYANTI

Editor: ADE NURUL AULIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *