Foto: Arsip Jumpa

Proklamasi,

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia….

Para pahlawan Indonesia yang jumlahnya tak terhitung, mempertaruhkan jiwa dan raganya demi kata “Merdeka”. Sebuah kata yang memiliki arti dalam bagi bangsa Indonesia. Tatkala mereka—si pahlawan tanpa tanda jasa, berjuang di luar sana, di samping keluarga yang menunggu mereka pulang dengan selamat. Pembodohan, penindasan, penyiksaan, hingga pembunuhan menjadi bukti kejamnya era penjajahan. Kolonial Belanda, tanpa ampun memberi tekanan yang amat besar. Tanpa membenarkan segala bentuk penjajahan, satu sisi hal positif tercipta pada saat masa penjajahan oleh Belanda. Namun, pahlawan tanah air tak cukup puas dengan sisi positif tersebut, penjajahan di atas dunia tetap harus dihapuskan. 

Tekanan terhadap kolonialisme semakin kuat. Perkembangan situasi global, khususnya akibat Perang Dunia II, turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masa pendudukan Jepang pada tahun 1942–1945 telah melemahkan dominasi kolonial Belanda di tanah air. Jepang semulanya menyampaikan janji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, meskipun pada praktiknya lebih banyak memanfaatkan sumber daya Indonesia demi kepentingan negara mereka. Kendati demikian, periode pendudukan tersebut membuka ruang bagi para pahlawan bangsa untuk mempersiapkan langkah menuju kemerdekaan. 

Kini, peran masyarakat menjadi jauh lebih penting dibandingkan peran penyelenggara negara. Sebab kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Sayangnya, masih banyak para ‘tikus besar’ yang menyepelekan akan sakralnya kekuasaan rakyat. Dalam praktik ketatanegaraan, tak jarang kedaulatan rakyat mengalami penyimpangan,  sehingga pelaksanaannya tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat. Kedaulatan yang secara prinsip berasal dari rakyat, kerap tereduksi oleh dominasi pemerintahan otoriter yang merusak tatanan demokrasi. 

Berhenti Membodohi Rakyat 

Rakyat bukan lagi budak yang bisa dibodoh-bodohi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, seharusnya demi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pihak  tertentu. Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum merupakan bagian dari cita-cita bernegara. Konsep welfare state (negara kesejahteraan) mengandung konsekuensi bahwa negara, melalui pemerintah, tidak hanya berfungsi sebagai penjaga ketertiban, tetapi juga berkewajiban aktif mengupayakan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh warga negara. Bukan merugikan dan semakin menjatuhkan rakyat. 

Rakyat bukanlah objek percobaan atas gagalnya kebijakan yang diterapkan. Kebijakan yang dirasa penting bagi rakyat, justru tak menjadi prioritas penguasa. Para penguasa, seringkali melupakan bahwa tujuan dibentuknya kebijakan ialah untuk rakyat. Maka yang seharusnya dikedepankan adalah transparansi, agar rakyat dapat menilai apakah kebijakan tersebut menguntungkan atau justru ‘membuntungkan’ rakyat. Tak jarang, mereka berdalih bahwa transparansi dan dialog publik sudah dilakukan. Pertanyaannya, publik yang mana? apakah yang sejajar dengan pembentuk kebijakan? atau mereka yang seringkali tak didengar?

Kebijakan kontroversial kian banyak tercipta. Entah sudah berapa banyak aksi unjuk rasa ditunjukkan akibat kekecewaan dan kemarahan rakyat. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara, Undang-undang Nomor 61 Tahun 2024 Tentang Kementerian Negara, Revisi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan kini yang sedang menjadi polemik besar ialah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahkan, masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang diciptakan tanpa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan rakyat. 

Apakah Rakyat Sudah Sejahtera?

Sebuah pertanyaan sederhana yang kerap kali menjadi renungan mendalam. Apakah rakyat sudah sejahtera? apakah rakyat sudah bahagia? Mereka—si penguasa, akan menjawab bahwa tingkat kemiskinan rakyat kini jauh menurun. Memang benar menurun. Namun janji manis untuk menghapuskan kemiskinan hanya sampai pada kepuasan bahwa kemiskinan telah menurun. Tanpa menghiraukan masih terdapat jutaan masyarakat yang tak bisa makan dengan lahap, tak seperti mereka yang duduk di bangku kekuasaan. 

Badan Pusat Statistik melaporkan persentase penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 8,47 persen, menurun 0,10 persen poin terhadap September 2024 dan menurun 0,56 persen poin terhadap Maret 2024. Sedangkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 23,85 juta orang, menurun 0,21 juta orang terhadap September 2024 dan menurun 1,37 juta orang terhadap Maret 2024. Namun, angka tersebut tak menjadi jawaban atas segala kerisauan rakyat. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh warga negara. 

Aspek-aspek yang lazim dijadikan indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan ialah  pendapatan, jumlah penduduk, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pola konsumsi, kondisi perumahan, serta faktor sosial budaya. Namun demikian, muncul sebuah pertanyaan: apakah pemenuhan indikator-indikator tersebut secara otomatis dapat menjamin tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat? sebab kesejahteraan tak bisa hanya diukur dengan angka.

Masih banyak pr bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara substansi, salah satunya ialah pendidikan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen mencatat ada 3,9 juta anak yang tak bersekolah saat ini. Rinciannya sebanyak 881.168 anak tidak bersekolah karena putus sekolah, 1.027.014 anak sudah lulus tapi tidak melanjutkan sekolah, dan 2.077.596 anak belum pernah bersekolah. Namun alih-alih meningkatkan kualitas dan meratakan pendidikan Indonesia melalui dana negara, penguasa justru meminta masyarakat untuk turut berkontribusi atas gaji pendidik yang kurang. Sebuah kekonyolan nyata yang didengar oleh masyarakat. 

Kesejahteraan rakyat tak hanya dinilai dari menurunnya angka kemiskinan. Jauh dari itu dan lebih kompleks. Tak hanya diukur dari angka, masyarakat secara langsung harus merasakan arti dari sejahtera itu sendiri. Hal sepele seperti jalan raya yang mulus dilewati, transportasi yang mudah ditemukan, ketenangan saat keluar malam hari, ataupun makan dengan layak dan teratur. Sayangnya, di luar sana masih banyak masyarakat yang tak dapat merasakan hal ‘sepele’ tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat yang belum sejahtera, bahkan hal tersebut tak bisa dikatakan sepele—untuk memenuhi itu mereka perlu perjuangan yang tak ada hentinya.

Merdeka Tak Sesuai dengan Realita 

80 Tahun negara ini telah melewati masa-masa suram dalam belenggu penjajahan. Namun ternyata, merdeka saja tidak cukup tanpa adanya kesejahteraan. Hak masyarakat yang seharusnya dipenuhi oleh penguasa, belum sepenuhnya rakyat dapatkan. Cita-cita kemerdekaan, kini rasanya hanya menjadi kiasan belaka. 

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” 

Realita setelah kemerdekaan tak begitu memuaskan. Alih-alih berevolusi menjadi negara maju, Indonesia justru menjadi negara yang paling depan menciptakan kebijakan tak masuk akal. Pendidikan yang seharusnya didapatkan secara merata, justru menjadi hal eksklusif yang tidak dapat dirasakan oleh semua orang. Lapangan pekerjaan yang dijanjikan, justru hanya menjadi angan-angan belaka. Kekecewaan rakyat semakin tak terbendung, bendera anime one piece sebagai simbol perlawanan sekaligus kekecewaan kini banyak dikibarkan menjelang perayaan kemerdekaan. Alih-alih merespon rakyat dengan solusi, penguasa justru berbalik marah dan menekan rakyat. 

Situasi bangsa Indonesia saat ini, menjadi bukti nyata kegagalan penguasa dalam mensejahterakan rakyatnya. Tak ada pengorbanan dari para penguasa demi memajukan rakyat, layaknya pahlawan di masa lampau. Nahas, kini masyarakat Indonesia dijajah oleh penguasanya sendiri. Saat ini, merdeka dirasa tak ada artinya bila rakyat masih saja sengsara. Seharusnya merdeka tak hanya menjadi sebuah kata saja.

Namun, terlepas dari segala konflik yang ada, di luar dari segala kebusukan yang melanda. Tanah air yang katanya sudah merdeka ini masih menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Tanah yang meskipun sudah ternodai oleh kotornya konflik kepentingan, sudi tak sudi tetap menjadi tempat kepulangan rakyat Indonesia. Merah putih masih menjadi bendera suci yang perlu dihargai. Harapan masih ada, keadilan masih bisa didapatkan, walau dengan cara-cara yang sulit dan tak masuk akal.  Sepenggal kalimat rasanya masih harus tetap diucapkan, agar tidak menodai perjuangan mereka yang telah mati-matian menjemput kemerdekaan. 

Selamat Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-80! 

 

ALYA NATASYA

Kontributor LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: TRISYA ZAHIRAH ARYANI PUTRI

 

Sumber Referensi:

Badan Pusat Statistik. (2025). Persentase Penduduk Miskin Maret 2025 turun menjadi 8,47 persen. Diambil dari: https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/07/25/2518/persentase-penduduk-miskin-maret-2025-turun-menjadi-8-47-persen-.html 

Febri Angga Palguna. (2025). Kementerian Pendidikan: 3,9 Juta Anak Tak Bersekolah. Tempo. Diambil dari: 

https://www.tempo.co/politik/kementerian-pendidikan-3-9-juta-anak-tak-bersekolah-1483849 

Zahra Humairoh Gajah. (2024). Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jurnal Penelitian Ilmiah Multidisiplin. Diambil dari: https://sejurnal.com/pub/index.php/jpim/article/download/5126/5978/10347 

Khaira Ummah Junaedi Putri. (2024). Daftar UU Kontroversial yang Diketok DPR Periode 2019-2024. CNN Indonesia. Diambil dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240930185746-32-1150077/daftar-uu-kontroversial-yang-diketok-dpr-periode-2019-2024/amp 

Dahliana Sukmasari. (2020). Konsep Kesejahteraan Masyarakat Dalam Perspektif Al-Qur’an. Journal Of Qur’an and Hadis Studies. Diambil dari: https://at-tibyan.fusa.uinjambi.ac.id/index.php/ATB/article/download/15/14 

Putu Eka Pitriyantini. (2019). Peraturan Kebijakan Yang Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara Sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakultas Hukum UNTAB. Diambil dari: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/download/18332/10885/26995 

Azmi. (2018). Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Negara Hukum Yang Berketuhanan. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Diambil dari: https://media.neliti.com/media/publications/282911-kedaulatan-rakyat-dalam-perspektif-negar-90a14538.pdf 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *