Ilustrator: Doni Setiawan

Tagar #kawalputusanmk dan seruan “Peringatan Darurat” dengan gambar burung Garuda berlatar biru pernah tampil di berbagai platform media sosial yang diunggah secara serentak oleh masyarakat dari latar belakang yang berbeda-beda. Hal itu terjadi atas buntut dari kekecewaan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap menghambat putusan Mahkamah Konstitusi. Seruan itu muncul bertujuan sebagai ajakan bagi masyarakat untuk mengawal bersama isu terkait kondisi demokrasi Indonesia yang dinilai sedang tidak baik-baik saja saat itu. 

LPM ‘Jumpa’ Unpas juga pernah mengawal isu ini dan membuat teks editorial berjudul Peringatan Darurat: Terkoyaknya Demokrasi di Indonesia. Dalam tulisan itu, kurang lebih isinya menjelaskan tentang sikap Redaksi LPM ‘Jumpa’ Unpas kepada masyarakat di luar sana untuk tidak tutup mata pada kondisi negara saat ini, terutama keadaan demokrasinya yang kian hari makin meredup.

Lalu, apakah mereka semua turut andil untuk mengawal isu tersebut? Nyatanya tidak, hanya beberapa orang saja yang ikut mengawal seruan “Peringatan Darurat” itu. Mereka mengawalnya dengan cara turun aksi serentak ke jalan, menyampaikan aspirasinya secara langsung di depan gedung-gedung DPR, ada pula yang hanya mengawal lewat media sosial melalui aktivitas komentar, posting, suka, dan membagikan hal-hal yang berhubungan dengan isu tersebut. Kemudian, apa yang menjadi masalah sehingga hanya segelintir orang saja yang mengawal isu tersebut? Padahal, keadaan dan kondisi demokrasi kita hampir menjadi korban penguasa.

Kejadian tersebut banyak menuai komentar yang bermacam-macam, sehingga aksi meramaikan kolom diskusi yang disediakan oleh beberapa akun media pemberitaan pun membeludak diserbu warganet. Dalam komentarnya, ada yang mengatakan bahwa mereka yang tidak ikut ‘meramaikan’ isu tersebut beralasan karena takut dicap sebagai orang yang Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan tren karena maraknya postingan serentak gambar dengan burung Garuda berlatarkan warna biru itu. 

Di sisi lain, mereka juga berpendapat bahwa orang-orang yang terbawa arus memposting peringatan tersebut tidak tahu menahu dengan isi dan permasalahannya, bahkan tidak segan mereka berkomentar dan mencemooh orang yang tak sejalan dengan pikirannya. Seperti pada postingan media Narasi TV yang saat itu gencar mengabarkan pemberitaan mengenai isu tersebut, dalam kolom komentarnya di TikTok, salah satu akun dengan username @rifkyar96 melayangkan komentar “dua kata lucu ‘peringatan darurat’ yang diikuti dengan emoticon menahan ketawa. Alhasil kubu pro dan kontra muncul ke permukaan untuk beradu argumen membalas pesan tersebut.

Ada kejadian unik juga yang timbul imbas respon dari pengecapan FOMO oleh akun Instagram @pasargratis.bdg yang berkolaborasi dengan @fearoffades. Alih-alih merespon lewat komentar, mereka malah membuat baju berdesain satire tentang FOMO yang diplesetkan menjadi Yes, I am FOMO: Fuck Off Mulyono’s Oligarch’, sebagai bentuk perlawanannya terhadap kelompok yang kontra dengan seruan “Peringatan Darurat” itu.

Ingin Terlibat Aktif, Tapi Takut Dicap Sebagai FOMO?

Karena fenomena FOMO ini, membuat beberapa orang mengalami dilematisasi, terutama orang-orang yang berada di posisi tengah-tengah. Di satu sisi, ia ingin berpartisipasi menjaga demokrasi, di sisi lain, ia juga takut bahwa apa yang ia gaungkan akan menorehkan komentar-komentar buruk terhadapnya. Dilematisasi ini sering terjadi pada mereka yang melakukan aktivitasnya lewat internet atau media sosial. Banyak sekali kampanye serta propaganda yang masuk ke dalam laman media sosialnya, mulai dari kubu kanan hingga kubu kiri. Pada akhirnya, mau tidak mau ia harus mengkaji isu yang sedang tren saat itu untuk memposisikan diri sebagai kelompok yang menolak atau kelompok yang menerima atau bahkan memposisikan diri di tengah-tengah untuk menghindari konflik antar dua kubu tersebut.

Atas kejadian di atas, timbulah pertanyaan dari benak saya: Bagaimana nasib orang-orang dengan situasi dan kondisi yang terbatas ingin berkontribusi menyuarakan aspirasinya demi mempertahankan demokrasi negaranya? Apakah hanya berdiam diri dan berharap kepada golongan masyarakat yang bisa turun langsung ke jalan untuk menyampaikan suara kepada penguasa, atau bahkan hanya ada satu pilihan yang bisa diambil, yaitu berserah diri kepada Tuhan?

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari mengemukakan pendapat mengenai suatu hal. Toh, di Indonesia juga ‘katanya’ menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), kalian bisa bebas berekspresi dan mengemukakan pendapatnya tanpa gangguan dan intervensi dari pihak luar. Kebebasan itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Bukan cuma itu, kebebasan berekspresi juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dalam Pasal 23. Selain itu, Indonesia juga terdaftar sebagai negara yang mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dari ketiga naungan undang-undang tersebut, seharusnya sudah tidak takut lagi untuk berkomentar dan beraspirasi lewat berbagai media, tak terkecuali media sosial.

Sederhananya, jika tidak memungkinkan untuk menyuarakan aspirasi secara langsung kepada mereka yang menduduki jabatan di gedung-gedung DPR, atau mereka-mereka yang singgah di Istana Negara, solusinya adalah menyuarakannya lewat media sosial. Mungkin jika dikategorikan, orang yang berjuang untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, atau politik tertentu bisa disebut sebagai Aktivis. Namun, bukankah kategori itu juga berlaku bagi orang-orang digital? Ya, mungkin bisa disebut sebagai Aktivis Digital. Aktivis yang tentunya mempunyai agenda dan kepentingan yang sama, tapi hanya berbeda caranya saja. Jika perlu memaki, persetan dengan orang-orang yang menggap kita FOMO, setidaknya kita punya pergerakan untuk Indonesia yang lebih baik.

Keberdampakan Internet dalam Mengawal Isu

Aktivisme berbasis digital ternyata punya peranan tersendiri untuk mengkampanyekan isu yang sedang mereka “goreng”. Saat ini, di bulan Maret 2025, gorengan yang sedang hangat datang dari Pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bisa saya sebut dan dipertanggungjawabkan bahwa RUU tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia sekarang. Maksudnya, tidak ada urgensi serius untuk melanggengkan mereka yang berada di ranah militer untuk masuk ke ranah sipil. Sialnya, pembahasan RUU tersebut juga berlangsung terlalu cepat dan terkesan terburu-buru tanpa memberikan kesempatan masyarakat untuk turut terlibat lebih luas dalam pembahasannya. Istilah lain bisa disebut dengan meaningful participation (partisipasi yang melibatkan pencarian masukan publik untuk membantu membentuk keputusan atau tindakan). 

Mengutip dari laman tempo.co dalam judul berita “Sejumlah alasan Masyarakat Sipil akan Gugat TNI ke MK”, menurut peneliti Centra Initiative, Al Araf, pembahasan revisi Undang-Undang TNI dalam Rapat Paripurna DPR justru tidak menyentuh agenda krusial transformasi TNI, misalnya reformasi peradilan militer. Padahal, dalam rapat dengar pendapat umum, masyarakat sipil mendesak pencabutan Pasal 74 Undang-Undang TNI. Pencabutan itu secara otomatis akan menghukum prajurit TNI yang terjerat pidana sipil diadili di peradilan umum.

Seperti yang terlihat, DPR malah menyetujui pasal yang memperluas penempatan TNI dalam jabatan sipil, mengatur operasi militer selain perang, serta menambah kewenangan dan hal lainnya, daripada membahas isu-isu yang bersifat substantif. Mungkin teman-teman masih ingat akan video yang sempat viral beberapa waktu ke belakang, mengenai proses pembahasan RUU TNI yang digelar di hotel mewah saat maraknya efisiensi anggaran. Video tersebut diputar pada laman Instagram @kontras_update yang di mana masyarakat Indonesia saat itu baru tersadar akan gentingnya RUU tersebut jika disahkan oleh DPR. Munculah tagar baru yaitu #tolakruutni dan #kembalikantnikebarak atas pernyataan sikap untuk menolak disahkannya RUU tersebut. 

Lagi-lagi masyarakat ikut andil mengkampanyekan tagar tersebut lewat media sosialnya. Kejadian ini terpublikasi serupa seperti fenomena “Peringatan Darurat” kemarin. Sampai sini sudah menangkap keterdampakan dari Aktivisme berbasis digital? Jika belum, mari kita kupas lebih dalam lagi mengenai Aktivisme Digital!

Apa Itu Aktivisme Digital atau Slacktivism?

Sebelumnya, orang-orang yang menyuarakan aspirasinya lewat internet mengalami diskriminasi oleh kelompok Aktivis yang ikut dan berpartisipasi secara langsung. Mereka menganggap bahwa tindakan tersebut hanya memberikan ilusi bahwa seseorang telah berkontribusi pada perubahan sosial tanpa benar-benar melakukan aksi yang signifikan, kelompok itu dikenal sebagai Slacktivism. 

Sesuai dengan namanya, Aktivisme Digital atau Slacktivism berasal dari kata slack artinya malas dan activism yang artinya aktivisme. Menurut Max Halupka, Digital Activism atau Slacktivism adalah aksi online yang dilakukan sebagai respon dari isu sosial yang ada. Gerakan ini umumnya tidak memerlukan komitmen atau keahlian khusus, mudah untuk ditiru, dibagikan, atau diproduksi ulang oleh masyarakat, serta melibatkan sistem politik yang telah ada. 

Selain itu, Slacktivism merujuk pada bentuk dukungan yang mudah dan minim usaha, seperti menyukai atau membagikan postingan di media sosial, tanpa melibatkan tindakan nyata seperti berdemo, menyumbang, atau berpartisipasi dalam kegiatan yang lebih substansial. Aktivis sering menganggap bahwa Slacktivism bisa mengalihkan perhatian dari aksi nyata dan malah mereduksi dampak perjuangan sosial, karena orang-orang yang terlibat dalam Slacktivism merasa sudah cukup berbuat, padahal perubahan sosial membutuhkan usaha dan komitmen yang lebih besar. 

Sayangnya, karena mudah dilakukan kapan saja dan di mana saja, Slacktivism sering dianggap sebagai bentuk aktivisme yang setengah hati dan tidak dapat menghasilkan perubahan nyata, terutama jika dibandingkan dengan aksi protes di jalan. Selain itu, dengan banyaknya isu yang muncul di media sosial, sering kali sebuah isu yang diangkat lewat Slacktivism cepat terlupakan. Lebih dari itu, Slacktivism sulit membawa perubahan karena hanya berupa diskusi online tanpa ada aksi lebih lanjut. Padahal, ada juga Aktivisme Digital yang benar-benar berhasil, seperti tagar #kawalputusanmk, #indonesiagelap, dan #tolakruutni. Pergerakan masif yang dilayangkan Aktivis Digital tentunya membuat saya berpandangan lain dengan pendapat Aktivis yang enggan untuk merangkul kawannya sendiri di media sosial. 

Mengutip dari laman tempo.co dalam judul berita “Maraknya Tagar #KawalPutusanMK dan Apa Itu Aktivisme di Media Sosial”, Dr. Catherine Corrigall-Brown dari Departemen Sosiologi UBC, menilai bahwa label buruk terhadap Slacktivism sengaja digunakan untuk membatasi aktivisme daring. Ia menyebut ejekan kepada seseorang yang memilih menjadi Slacktivism sebagai bentuk upaya mendiskreditkan para aktivis. Dari sini saja sudah ada perang antar kubu satu dengan kubu lainnya untuk memecah belah kelompok. Lantas, apakah Aktivisme Digital itu diharamkan? Tentunya tidak kawan-kawan, seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa kebebasan berpendapat menjadi kunci utama dalam tulisan ini. Jangan takut dianggap FOMO atau dianggap sebagai Slacktivism, karena nyatanya, tidak sedikit masyarakat yang terkadang tak punya waktu dan disibukkan dengan kehidupan duniawinya. Secara realistis, mereka hanya mempunyai waktu untuk sekedar menyaksikan hiruk pikuk dunia luar lewat media sosial dan media pemberitaan. 

Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa kegiatan seremeh dan secuil apapun, berhubungan dengan isu yang sedang terjadi di Indonesia, tetap masih mempunyai dampak yang cukup signifikan. Aktivitas seperti komentar, posting, suka, dan membagikan konten di media sosial tetap berkontribusi dalam menyampaikan aspirasi demi keutuhan demokrasi. Masih mending daripada tidak sama sekali, atau lebih parahnya lagi kelompok yang dianggap apatis, tak acuh dengan situasi dan kondisi negara, kelompok dengan yang selalu berargumen tidak akan berpengaruh kepada kehidupannya di masa depan, yang mereka percayai hanya “kerja, kerja, dan kerja” untuk dapat merubah kehidupannya.

Mengutip laman berita tempo.co yang sama, dalam judul berita “Maraknya Tagar #KawalPutusanMK dan Apa Itu Aktivisme di Media Sosial”, pernyataan senada disampaikan pula oleh Profesor Sosiologi di UBC, David Tindall. Dia menyebut bahwa aktivisme daring seperti menandatangani petisi atau menyebar pamflet di media sosial, masih termasuk pada upaya untuk melakukan perubahan situasi sosial. Ketimbang tidak melakukan apa-apa, lebih baik berkontribusi untuk menyukai petisi dan berharap akan ada perubahan setelahnya.

Saat ini, bukan waktunya untuk mengerdilkan kelompok yang sejalan dengan visi dan misi kita. Semua demi kebaikan masa depan demokrasi yang utuh bagi anak dan cucu kita. Terlebih lagi di situasi dan kondisi negara tercinta kita Indonesia yang makin ke sini beralih perlahan menuju pemerintahan yang otoriter, tak mau mendengar aspirasi rakyatnya. Negara yang menganut sistem demokratis, tapi dirangsak oleh penguasanya sendiri. Bahkan kita sebagai warga sipil juga disebut sebagai “Anjing yang cuma bisa menggongong” oleh penguasa atas aspirasi yang disampaikan.

Jadi, teman-teman tidak perlu memaksakan diri. Jika memungkinkan untuk turut andil secara langsung ke jalan, saya pribadi akan senang dan berterima kasih. Tetapi, jika keterbatasan memaksa teman-teman hanya bisa berpartisipasi sebagai Aktivis Digital, silakan gunakan platfrom media sosial dengan bijak dan sebaik-baiknya. Terakhir, jangan gentar oleh buzzer! Tetap berada dan berpegang teguh di jalan kebenaran, jangan sampai tergiring opini dengan data dan kalimat yang itu-itu saja tanpa mau diajak beradu argumen.

 

DONI SETIAWAN

Editor: ADE NURUL AULIA

 

Sumber Referensi:

Sapto Yunus. (2025). Sejumlah alasan Masyarakat Sipil akan Gugat TNI ke MK. Diambil dari:
https://www.tempo.co/politik/sejumlah-alasan-masyarakat-sipil-akan-gugat-uu-tni-ke-mk-1225330

Alif Ilham Fajriadi. (2024). Maraknya Tagar #KawalPutusanMK dan Apa Itu Aktivisme di Media Sosial. Diambil dari:
https://www.tempo.co/digital/maraknya-tagar-kawalputusanmk-dan-apa-itu-aktivisme-di-media-sosial-16642

Eky Zupaldry. (2024). SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru. Diambil dari:
https://bandungbergerak.id/article/detail/1598462/sayembara-esai-mahasiswa-bersuara-kliktivisme-sebuah-demonstrasi-gaya-baru

Jordana J. George dan Dorothy E. Leidner. (2019). From Clicktivism to Hacktivism: Understanding Digital Actvism. Diambil dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470?via%3Dihub

Zahira D. dan Hermanandi H. (2021). Memetakan Aliran Aktivisme Digital: Sebuah Pergerakan Sosial. Diambil dari:
https://digitalsociety.id/2021/01/28/23-cfds-case-study-memetakan-aliran-aktivisme-digital-sebuah-pergerakan-sosial/4583/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *