
Rabu malam, 21 Agustus 2024, berseliweran informasi ‘peringatan darurat’ di media sosial. Informasi tersebut dikemas dalam gambar berlatar biru yang diberi lambang burung garuda Indonesia, menyuarakan kondisi demokrasi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Kejadian ini bermula pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan tuntutan dari dua partai, Partai Buruh dan Partai Gelora, terkait ambang batas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serta batas umur calon kepala daerah. MK memutuskan bahwa setiap partai ataupun gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. MK juga menegaskan kandidat kepala daerah harus berumur 30 tahun untuk gubernur, dan 25 tahun untuk walikota atau bupati saat penetapan pencalonan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusan ini disahkan oleh MK melalui Surat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 pada selasa 20 Agustus 2024. Satu hari setelahnya, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan rapat kerja guna mengubah UU Pilkada pada 2024, dengan mengembalikan ambang batas 20% kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% suara sah, serta usia calon kepala daerah dimaknai saat pelantikan.
Masyarakat tidak menyambut baik gelagat DPR ini karena telah mendobrak konstitusi. Hasilnya, ribuan massa melakukan aksi di berbagai titik untuk mengawal putusan MK yang dimulai sejak Kamis 22 Agustus 2024. Di hari yang sama, DPR dikabarkan menunda rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Pilkada, yang usut punya usut dikarenakan tidak memenuhi kuorum. Di hari selanjutnya, massa kembali mengadakan aksi di berbagai titik yang dipelopori oleh berbagai kalangan masyarakat.
Kelakuan DPR ini tidak sesuai dengan etika pemerintahan yang seharusnya dijalankan. Keputusan MK yang bersifat final, mengikat, serta self executing, seperti yang sudah tertera dalam UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1), seharusnya dapat ditaati oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk juga DPR. Kongkalikong yang dilakukan oleh DPR untuk ‘melawan’ putusan MK, telah melanggar etika pemerintahan. Hal ini sama saja dengan menggerogoti demokrasi untuk melakukan kolusi, dan nepotisme. DPR seharusnya berperan sebagai penjaga konstitusi, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung penguatan demokrasi, bukan sebaliknya.
Pada tanggal 25 Agustus 2024, DPR menyetujui draf revisi PKPU Pilkada yang memuat putusan MK, katanya. Namun, isu ini masih harus dikawal mengingat masih terdapat celah-celah yang bisa saja dimanfaatkan DPR saat masyarakat sedang meleng. Jika keputusan terkait Pilkada diambil oleh Mahkamah Agung (MA) dan bukan oleh MK, dampaknya bisa berbeda. MA, sebagai lembaga yudikatif tertinggi, menangani sengketa hukum, namun keputusannya tidak memiliki kekuatan konstitusional yang sama dengan MK. Putusan MA bisa saja lebih mudah dipengaruhi oleh kepentingan tertentu yang pada akhirnya membuka peluang terjadinya aklamasi, dinasti politik, dan oligarki.
Ini bukan masalah Pilkada, bukan pula masalah putusan MK, namun praktik pengkhianatan pemerintah terhadap masyarakat, terlebih kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi seharusnya dipegang rakyat sehingga pemerintah seharusnya mengedepankan rakyat dan bukannya satu golongan saja. Dalam negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Semua kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, termasuk DPR, berasal dari rakyat dan harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Ketika DPR mencoba untuk mengubah aturan yang telah diputuskan oleh MK demi kepentingan segelintir elit, mereka sedang mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat.
Karenanya, publik tidak boleh tutup mata pada kondisi negara saat ini. Acuh pada kondisi negara merupakan bentuk sikap menjunjung demokrasi dari tangan oknum-oknum politik yang merugikan masyarakat. Suara masyarakat sangat dibutuhkan dalam menegakkan demokrasi yang kian terkoyak, sehingga aksi inklusif bersama sangatlah dibutuhkan. Semua harus dilakukan untuk melindungi kehidupan generasi yang akan lahir setelahnya.
REDAKSI LPM ‘Jumpa’ UNPAS