
Aku pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang pria bernama Bintang. Hubungan kami berjalan cukup lama, mungkin jika diibaratkan dengan umur manusia, usianya sudah seperti anak yang bisa berjalan. Aku dan Bintang tak pernah banyak bertengkar. Kami malah kerap kali membuat teman kami iri dengan betapa harmonisnya hubungan kami.
Sampai suatu ketika, aku harus bermigrasi akibat pekerjaanku ke kota sebelah. Jaraknya sekitar 600 km dari kota asalku. Aku dan Bintang bertengkar hebat akibat keinginanku untuk pindah ini, yang akhirnya menyebabkan hubungan kami kandas. Setelahnya, aku dan Bintang memutus komunikasi. Dia melakukan hal ekstrim dengan memblokir seluruh akses komunikasi denganku. Cih! Begitu bencinya dia padaku.
Tak lama setelah kepergianku ke kota sebelah, kudengar ia sudah memadu kasih dengan seorang wanita di tempatnya bekerja. Aku dengar kabar ini dari seorang rekan yang tak sengaja bertemu dengannya di tempat makan, lantas ia mengadukan kabar ini kepadaku. Begitu terkejutnya rekanku ini ketika tahu bahwa aku dan Bintang tak lagi terikat hubungan asmara dan wanita yang ia lihat di restoran ternyata bukanlah diriku, melainkan wanita lain.
Berkat rekanku itu, aku mulai mencari tahu rupa wanita yang saat ini jadi kekasih Bintang. Rasa penasaran menggerogoti pikiranku. Aku pun mulai mengetik cepat pada laptopku, mulai dari nama hingga akun media sosialnya bisa dengan cepat aku dapatkan.
“Memang aku ini pandai sekali menjadi detektif,” ujarku sedikit bangga.
Lantas aku lihat beberapa postingan yang memperlihatkan Bintang dengan mesranya menggandeng, bahkan mencium pipi wanita itu. Mendidih sekali hati dan kepalaku. Aku tak habis pikir saja, bagaimana bisa aku digantikan secepat itu. Ya, aku memaklumi bahwa manusia selalu datang dan pergi, dan tak baik pula menangisi kepergian seseorang berlarut-larut. Tapi maksudku tidak secepat ini. Bahkan aroma asap rokoknya aku rasa masih menempel pada cardigan abu-abu favoritku.
Aku mencoba untuk menerima kenyataan bahwa Bintang bukanlah jodohku, dan hubungan kami memang sudah cukup sampai di sana. Aku dengan lapang dada mencoba menghapus seluruh perasaanku padanya dan berdoa dengan tulus untuk kebahagiaannya. Berbulan-bulan aku rehat dari media sosial, sampai aku merasa siap dan tak lagi memiliki perasaan pada Bintang, aku aktifkan kembali media sosialku.
Puluhan pesan terbengkalai di sana. Beberapa diantaranya menanyakan kabarku, mungkin khawatir karena belakangan orang-orang menganggap media sosial adalah tempat untuk memastikan rekannya masih hidup atau tidak, lalu ada juga pesan berisi promosi photobooth, hingga tempat makan baru, dan dua pesan lainnya adalah pesan dari Bintang juga wanita itu, sebut saja dia Nabila.
Jariku otomatis melaju membuka pesan dari Bintang. Meski sudah berbulan-bulan berlalu, aku tak munafik masih ingin berbaikan dengannya. Kubaca perlahan setiap kata di sana, ternyata pesannya berisi tentang kerinduan Bintang padaku, pada hubungan kami, dan betapa menyesalnya ia telah memutus komunikasi denganku. Kata maaf mendominasi pesan itu.
“Kataku juga apa, kamu pasti bakal nyesel,” ucapku. Oh! sombong sekali aku. Decak bangga, puas serta bahagia terpancar nyata di wajahku ini.
Lalu, aku membuka pesan dari Nabila. Kali ini air mukaku berubah drastis. Aku geram dan marah sekali. Bisa-bisanya ia mengata-ngatai hingga menyalahkanku atas pertengkarannya dengan Bintang. Tahu apa aku? Komunikasi dengan Bintang pun sudah tak lagi ada, dan darimana betina ini tahu tentangku dan Bintang?
Aku megernyitkan dahi memikirkan bagaimana bisa namaku diseret dalam hubungan yang tak pernah aku usik. Spekulasiku tertuju pada Bintang, sepertinya ia menimpahkan seluruh kesalahannya padaku. Cih, dasar orang gila!
“Sialan! Bisa-bisanya ia mengataiku pelacur. Pelacur mana yang menggoda tanpa chat dan bertemu?” ucapku kesal.
Berkat kejadian itu, dalam diriku terpacu untuk menciptakan pertarungan dengan Nabila. Sudah kepalang dibilang Pelacur, ya sudah, aku buktikan saja bahwa Bintang memang akan tetap memilihku alih-alih dirinya. Aku akan membuktikan bahwa aku jauh lebih baik dibandingkan Nabila.
Aku mulai mengisi media sosialku dengan foto-foto andalanku yang sudah dipuji cantik oleh sahabat-sahabatku. Aku tahu meski Bintang dan Nabila tak mengikuti sosial mediaku, mereka diam-diam memantau apa yang ku lakukan.
Hal yang sama dilakukan Nabila. Rutin sekali ia membagikan kemesraan bersama Bintang. Kalau kalian bertanya-tanya dari mana aku tahu informasi ini, benar, aku pun diam-diam memantau mereka.
Tak habis akal, aku pun menunjukkan perubahanku di media sosial. Aku memamerkan kepiawaianku membuat kue, memasak, hingga melakukan hobi-hobiku. Tak lupa dengan memastikan fotoku selalu menawan.
Kena! Bintang kembali padaku. Ia mengirimkan pesan panjang berisi permintaan maaf, dan ajakan untuk memperbaiki hubungan kembali. Lantas aku balas, “Bagaimana dengan kekasihmu?” Ia lalu membalas cepat, “Akan aku lakukan apapun, asal kamu mau kembali”
Bahagia bukan main. Bisa dipastikan pertarungan ini dimenangkan olehku. Dengan segera aku mengetik pesan pada Nabila.
“Ia memilih wanita yang kamu sebut Pelacur”
Aku bahagia. Tapi kebahagiaanku bukanlah karena Bintang memilihku, melainkan karena aku berhasil memenangkan pertarungan ini dengan Nabila. Rasanya campur aduk, puas dan sedikit merasa bersalah. Hingga akhirnya aku putuskan untuk memadu kasih kembali dengan Bintang, meskipun tak lama kemudian berakhir kandas lagi.
Aku sadar yang kuinginkan bukanlah cinta dari Bintang, melainkan pengakuan bahwa aku bisa menaklukkannya dan membungkam Nabila yang telah merendahkanku. Ini bermula karena rasa sakit hati disebut Pelacur oleh Nabila. Aku hanya ingin ia merasakan rasa sakit hati yang sama, dan aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa kapan saja merebut kekasihnya jika aku mau. Ya. Sebut saja ini kepalang disebut Pelacur.
AURA PUTRI SYAHRANI
Editor: ADE NURUL AULIA