
Pernahkah kalian merasa setiap langkah, setiap helaan nafas, setiap debaran jantung yang berdetak semakin cepat tiap waktunya, seolah menuntun kalian ke jalan kematian yang kekal?
Begini, semua bermula ketika rasa manis mengecap indah jalan hidupku, semua terasa elok, terasa sempurna, terasa menjanjikan hingga membuatku terbuai akan angan-angan fananya—aku tertipu.
Ayu Laksmi Utami, namaku tentunya seindah rupaku, tidak ada satupun para tuan yang mampu memalingkan wajahnya dariku. Bulu mataku lentik, dengan bola mata hitam legam yang mampu menenggelamkan netra siapapun dalam menyelami tatapanku. Hidungku bangir indah bertengger menghiasi wajah rupawanku, terkadang laki-laki yang menciumku turut menggesekan hidung kami ketika bersinggungan dalam lumatan nikmat duniawi. Bibirku tipis namun penuh, sehingga mampu memabukkan siapapun dalam bilah bibir yang saling bertaut. Alisku cukup melintang cantik, mempertegas raut wajah indah dan rupawan ini— oh aku sangat senang dengan kecantikan dan keelokan yang aku miliki.
Kata orang, kecantikan bisa membawa keuntungan dan memang benar, aku sepakat. Lihatlah aku sebagai bukti nyata dari kecantikan yang menguntungkan ini. Berkat kecantikan yang aku miliki, aku bisa hidup senang, bahagia, dan penuh kegemilangan.
“Nona cantik hendak pergi kemana?”
Sapaan genit yang selalu aku terima ketika melewati sekumpulan bujang lanang maupun bujak lapuk— semakin ku mendengar sapaan genit itu semakin aku memperindah lenggak-lenggok pinggulku.
Aku pura-pura tertunduk malu mendengarnya, padahal dalam hati aku sangat kegirangan, aku senang bukan main mendapatkan banyak perhatian seperti itu.
“Permisi semuanya,” ucapku dengan lembut disertai senyuman manis andalanku.
Aku berlalu melanjutkan langkahku untuk menuju tempat tujuanku-warung kecil di peghujung jalan. Di belakang sana masih kudengar sayup-sayup pujian serta candaan nakal sekumpulan pria yang tadi ku lalui— lagi-lagi ku merasa senang bukan main.
Tetapi, bersamaan dengan rasa senangku yang melambung tinggi karena mampu membuat para lelaki manapun terkesima, nampaknya ada sesama kaumku yang merasa iri, tidak senang, dan merasa tersaingi.
“Lihat tuh, si wanita penggoda itu mulai berulah lagi”
“Ish, iyaa dasar perempuan gatal satu itu!”
“Memang dasar lacur, gadis murahan”
Tidak jarang aku dapati tatapan sinis disertai bisik-bisik cemoohan dari segelintir perempuan, gadis, serta para wanita di lingkungan sekitarku. Pelacur, gadis murahan, perempuan gatal serta wanita penggoda adalah beberapa perkataan yang selalu disematkan atas diriku. Namun, aku tidak peduli, toh aku hanya akan anggap mereka iri.
“Hahhh… lagi-lagi orang-orang iri itu yang tidak bisa menjaga mulutnya, padahal kan salah mereka tidak mampu memuaskan netra para bujangnya,” gerutuku dalam hati.
Sesampainya aku di warung tempat tujuanku ini, masih banyak kujumpai sekumpulan pria yang lagi-lagi tidak mampu memalingkan wajahnya dari pesona yang ku miliki ini— lagi-lagi tatapan genit serta memuja dari mereka tidak mampu disembunyikan.
“Sulit sekali memang menolak pesonaku ini,” gumamku girang dalam hati.
Tetapi aku tidak bisa lama-lama untuk tebar pesona di sana, guna menghindari cemoohan iri dari ibu-ibu penggunjing yang turut hadir, aku sedang tidak mau banyak mendengarkan gerutuan-gerutuan penuh kedengkian itu.
Langsung saja aku mempercepat keperluanku untuk membeli bahan-bahan masakan untuk makan siangku nanti. Tanpa terkecuali, ibu penjaga warung itu pun selalu melayani keperluanku dengan sinis dan ketus— lagi-lagi pasti ikut terbawa oleh pengaruh para wanita penggunjing itu.
“Ini uangnya pas ya bu, terima kasih,” ucapku masih berusaha ramah, walaupun sebetulnya aku dongkol setengah hati dengan raut wajahnya yang tak bersahabat itu.
Selepas aku selesai bertransaksi, aku bergegas untuk kembali ke rumah hendak memasak bahan-bahan yang sempat aku beli tadi. Masih melalui jalan yang sama, aku sapa setiap orang yang aku lalui.
“Permisi, mari… pak, bu…,” pamitku ke beberapa orang yang ada di sana.
“Eh iya, iyaa mari… hati-hati ya neng geulis”
“Aduh, si neng udah cantik, ramah lagi”
Aku hanya bisa semakin melebarkan senyum manisku menanggapi ucapan itu, tidak mau terlalu menanggapi karena sudah banyak tatapan sinis penuh kewaspadaan menusuk jiwaku, seolah-olah akan melenyapkanku saat itu juga.
“Apa sih, sok cantik begitu”
“Iya, dasar ish gadis genit, aku tidak tahan melihatnya”
Tidak lagi kupedulikan ucapan-ucapan rendah dari perempuan-perempuan yang juga rendah diri itu, malas aku mendengarnya.
Sesampainya aku di rumah, aku keluarkan isi belanjaanku tadi, kemudian aku siapkan beberapa alat masak yang nantinya aku perlukan. Tapi sebelum itu, aku membersihkan diriku terlebih dahulu.
Siang ini aku memiliki janji kencan dengan kekasih tampanku yang ke tiga, setelah dua hari sebelumnya aku habiskan waktuku bersama kedua kekasihku yang lain.
“Sibuk banget jadi orang cantik, banyak sekali yang mau kencan tiap harinya,” gumamku sambil melangkah ke dalam bilik mandi.
Selesai aku membersihkan diriku, membuatnya harum setelah berendam di dalam semerbak sabun bunga, lantas aku keluar dari dalam bilik mandiku itu. Sebelum hendak berpakaian, aku sempatkan untuk memanaskan air guna merebus beberapa bahan masakan yang telah aku beli tadi. Rencananya aku ingin membuat bekal makanan untuk kencan piknik siang ini, sangat manis bukan sikapku ini.
Setelahnya, aku langsung bergegas untuk berpakaian dan mempercantik diriku yang sebetulnya sudah sangat rupawan ini. Tetapi, karena aku ingin membuat kekasihku semakin terpesona dan semakin cinta, aku perlu membuat diriku tampil sempurna.
Aku poles wajahku secantik mungkin, hiasan mata yang cukup natural dengan bulu mata lentik untuk membuat tatapan kekasihku selalu terpaku padaku. Perona pipi yang aku buat sedikit lebih tebal untuk nantinya selalu kekasihku usap-usap lembut karena merasa gemas dengan riasanku ini. Tak lupa gincu merah yang aku timpa di atas bibirku agar mampu membuatnya tidak tahan untuk menyapukan bibirnya di atas bibirku.
Selesai dengan riasan wajahku, kemudian aku bongkar isi lemari untuk mencari pakaian yang cocok untuk aku kenakan. Pilihanku jatuh kepada dress putih selutut dengan border bunga-bunga yang memenuhi setiap bagian dari gaun cantik itu.
Sempurna, satu kata yang benar-benar menggambarkan penampilanku saat ini. Aku semakin tidak bisa berhenti mematut diriku di depan cermin, aku terpesona dengan diriku sendiri.
Saat hendak semakin menyempurnakan penampilanku dengan wewangian, aku mencium bau tidak sedap di dalam rumahku.
“Seperti bau gosong,” gumamku
Aku tersontak lalu teringat bahwa beberapa waktu lalu aku sedang menghangatkan air untuk memasak, langsung saja aku panik bergegas mengecek ke arah dapur dan ternyata sudah ada kobaran api di atas tungku.
Aku kelabakan, terlalu bingung harus melakukan apa, lalu tidak lama kemudian aku teringat sesuatu. Aku ambil lap untuk kubasahi dengan air, niatnya hendak menutup kobaran api dengan lap basah tersebut.
Tetapi, dari sinilah musibah dan kemalanganku yang sesungguhnya bermula. Aku tidak sadar tersandung oleh kakiku sendiri hingga menyenggol panci panas dengan kobaran api itu.
Tidak ada cukup waktu untuk mengelak dari musibah ini, aku jatuh terlentang dengan air panas yang tersisa sedikit di dalam panci itu mengguyur wajah rupawanku ini. Hancur sudah, hancur sudah riasanku serta paras cantikku ini.
“Arghhh, Aaaaa, tolongg… tolonggg…,” teriakku semakin lirih dengan penuh kesakitan, setelahnya aku tak sadar dan tak ingat apapun.
Hingga kemudian, sampailah aku dalam keadaan penuh kemalangan ini, wajahku hancur, tidak ada lagi bulu mata lentik, tidak ada lagi rona pipi kemerahan, tidak ada lagi bibir indah yang mempercantik paras rupawanku ini.
Saat ini, semua yang ada pada wajahku seakan meleleh, luka bakar dari panasnya air yang tumpah di atas wajahku ini membuatnya terlihat sangat buruk, seperti lilin yang meleleh karena api di atasnya, begitu lah rupa wajahku saat ini, hancur tak berupa.
Tatapan penuh damba, sapaan genit, serta raut kagum terkesima dengan rupaku sebelumnya telah sepenuhnya menghilang, sirna, tak pernah tampak. Yang ada saat ini hanyalah tatapan penuh kengerian, raut wajah yang sarat akan rasa jijik setiap melirik rupaku kini, teriakan-teriakan ketakutan dari setiap anak kecil yang berada di sekitarku.
“Oh mengapa semuanya menjadi semengerikan ini!” frustasiku.
Rasanya aku semakin menggila setiap saat dengan keadaanku yang saat ini, kekasihku semuanya langsung meninggalkanku setelah musibah itu, setelah rupaku menjadi sehancur ini, orang-orang di sekitarku selalu merasa risih dan menunjukkan rasa jijiknya secara terang-terangan terhadapku. Oh aku mulai muak dengan ini, aku ingin kehidupanku yang sebelumnya kembali, aku ingin kecantikanku abadi, aku ingin semua orang tetap memuja paras rupawanku.
Kini, aku bukan lagi Ayu si gadis cantik nan rupawan, tetapi aku telah berubah menjadi Ayu si gadis buruk rupa nan menjijikan.
Seandainya aku tidak merasa agul dengan segala kesempuraan fana yang aku percayai, seandainya aku tidak terlalu mendigdayakan segala kecantikan, keelokan, dan kerupawanan yang aku benarkan atas kehendakku sendiri.
Sial, kecantikanku ternyata sebuah malapetaka, aku ingin mati saja rasanya.
ADINDA MALIKA TRYCAHYANI
Editor: ADE NURUL AULIA