Ilustrator: Regia Ramadhina Revalgian

Perkenalkan, aku Satya Damara, seorang guru dan juga wartawan lepas di salah satu desa Kabupaten Cilacap, tepatnya Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kroya. Aku hidup, tinggal dan besar di sana sedari kecil hingga saat ini.

Di usiaku yang sudah hampir menyentuh kepala tiga, aku dikaruniai seorang istri dan anak yang begitu manis nan cantik jelita. Istriku, Kirana, yang sentiasa mencintai dan menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Masih tak percaya sejujurnya, Kirana sang “kembang desa” itu mau aku nikahi dan kujadikan ibu dari anakku.

“Benar-benar beruntung musang ini,” cakapku dalam hati.

Kata “musang” itu merujuk kepadaku. Bagaimana tidak? Aku sendiri pun terkadang masih tak percaya diri atas paras dan rupaku ini. Tapi persetan dengan itu semua, yang terpenting, Anakku bisa secantik Ibunya, hehe. “Ya, kan, Aruna?” Tanyaku tiba-tiba kepadanya. 

Aruna, Anak semata wayangku, keindahannya mewarnai dan melengkapi keluarga kami. Seperti namanya yang diambil dari bahasa Sanskerta, “Aruna” berarti fajar atau matahari yang kelak memberikan penerangan bagi orang di sekitarnya. Harapannya, Aruna bisa membawa masa depan gemilang bagi orang-orang terdekatnya. 

Seperti kepala keluarga pada umumnya, perlu rasanya untukku berusaha mencukupi semua kebutuhan. Mulai dari sandang, pangan, dan papan harus kupenuhi semua lewat kerja kerasku. Pastinya demi kesejahteraan keluarga kecilku ini. 

Untuk memenuhi semuanya, tentu perlu biaya yang tak sedikit. Tak ayal, pendapatanku saat ini belum mampu mencukupinya. 

Menjadi guru sebagai pekerjaan utama memaksaku untuk mengambil pekerjaan sampingan. Jujur saja, berprofesi sebagai guru tak ada “uangnya”. Maka dari itu, aku memilih menjadikan pekerjaan wartawan lepas sebagai sampinganku.

Tapi jauh dari itu semua, menjadi wartawan lepas juga sebetulnya bukan pilihan terbaik untuk dijadikan sebuah pekerjaan sampingan. Aku dituntut kreatif jika ingin tulisanku dilirik perusahaan media massa. Jika tulisanku tidak membawa keuntungan bagi perusahaan (dari segi views), mereka tak segan-segan untuk menolak bahkan tidak menerima tulisanku lagi.

Persaingan antar penulis pun bukanlah hal asing lagi bagi orang yang menjadikan tulisan sebagai nafkah hidup. Kompetisi ini terjadi karena penulis berlomba-lomba memenuhi target (views) yang diberikan oleh perusahaan. Naasnya, tak sedikit wartawan lepas yang melangkahi kode etiknya hanya untuk memenuhi target dengan memberi judul clickbait bahkan memberitakan informasi yang tidak benar atau hoaks. 

Selain itu, wartawan lepas juga masih jauh dari kata sejahtera. Kau tahu? Aku hanya diberi upah 30 ribu rupiah per satu berita yang aku tulis, sangat sedikit bukan? Harga tersebut sangat jauh dari apa yang aku dedikasikan saat menggarapnya. Terkadang, aku rela begadang demi upah yang tidak seberapa itu. Tapi apa boleh buat, demi keluarga tercinta hal itu tak jadi soal. 

Bukan hanya upahnya saja, jaminan keamanan dan perlindungan pun tidak aku punyai saat menjadi wartawan lepas. Hal itu aku dapati hanya karena tak terikat kontrak sebagai pekerja penuh waktu di perusahaan tersebut. Padahal, kerja-kerja kewartawanan sangat rentan dengan represifitas yang dilakukan oleh pihak-pihak penentang sebuah pemberitaan. Tak jarang, aku kerap menerima tindakan tersebut di beberapa pemberitaanku yang cukup kontroversial, lagi-lagi itu semua aku atasi sendirian, tanpa bantuan perlindungan dari siapapun.

Tiba saatnya bercerita tentang keseharianku bekerja. Aku memulai bekerja dari pagi hingga sore hari. Aktivitas itu aku jalani setiap hari Senin sampai Jumat untuk mengajar di salah satu sekolah menengah atas. 

Sudah tujuh tahun lamanya aku menggeluti profesi sebagai Guru Bahasa Indonesia. Sejauh ini, aku dikenal oleh murid dan rekan kerjaku sebagai guru muda yang aktif dan produktif. Di sela-sela mengajar pun aku selalu menyelipkan inovasi pembelajaran yang pastinya membuat murid betah untuk belajar bersamaku.

Di penghujung hari kerjaku sebagai Guru, tepatnya pada Jumat sore hari, sebelum semua warga sekolah dipulangkan, terdapat razia yang tiba-tiba saja diadakan oleh sekolahku mengajar. Di sana, seluruh elemen masyarakat sekolah dikumpulkan dalam satu tempat. Mereka berjejer rapi di lapangan sambil mendengarkan arahan kepala sekolah. Semua orang nampak kebingungan, termasuk aku sendiri. Situasi dan kondisi apa yang membawa kita semua ke sini? 

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya aku tahu mengapa hal itu terjadi. Ternyata, pengedaran narkoba telah merangsek masuk ke dalam sekolah ini. Banyak dari mereka yang memakai obat-obatan terlarang itu. Ironisnya, bukan hanya siswa yang menjadi pemakai, beberapa guru pun menjadi pelaku bahkan menjadi pengedarnya. 

Melihat fenomena yang terjadi, gejolak kewartawananku bergelora ingin segera memberitakannya. Selepas razia itu, mereka yang menjadi tersangka langsung dibawa oleh polisi dengan didampingi personel Badan Narkotika Nasional. Tak mau lepas dari narasumber penting begitu saja, aku pun bergegas untuk mewawancarai semua orang yang mempunyai keterkaitan. Data wawancara itu aku himpun semua dalam tulisan pemberitaanku dengan judul “Polisi dan BNN Razia Narkoba di Sekolah, Beberapa Siswa Diamankan”. Berita itu langsung kukirim ke partner media massaku. Tak menunggu lama, hari itu juga langsung diterbitkan. Aku mendapatkan banyak bonus dari berita yang kutulis karena isu yang dihadirkan cukup eksklusif, belum banyak media yang memberitakannya.

Tak cukup lima hari aku bekerja, dua hari berikutnya, Sabtu dan Minggu aku khususkan guna mencari pemberitaan yang mutakhir dan informatif untuk dikirim ke media massa.

Di hari Sabtu, saat ingin pergi mengunjungi seminar pendidikan, aku mendapatkan telepon dari pihak yayasan sekolah tersebut. Mereka meminta untuk men-take down beritaku yang sempat viral kemarin. Sebagai wartawan yang memegang kepercayaannya atas 9+1 elemen jurnalisme dan kode etik jurnalistik, tentunya aku menolak keras untuk men-take down beritaku. Alasannya sederhana, tulisanku tak menyalahi kode etik jurnalistik, semua ditulis sesuai fakta dan data, tanpa campuran opini dan kebohongan.

Aku mencoba memberi pengertian yang seharusnya dilakukan pihak yayasan ketika mendapati kesalahan redaksi dalam suatu pemberitaan dengan cukup jelas. Mulai dari Hak Koreksi dan Hak Jawab, hingga arahan pengaduan ke Dewan Pers ditolak mentah-mentah olehnya. Ia bersikukuh untuk terus memintaku men-take down beritanya, bahkan sesekali ia mengancam. Cukup sudah, tak ada lagi tenaga untuk meladeninya, langsung kututup telepon itu dengan harapan tak dihubungi kembali. 

Pada malam harinya, ketika sedang menulis berita acara seminar tadi yang kusambangi sebelumnya, tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Saat kuintip lewat celah jendela, ternyata yang mengetuk pintu itu adalah dua pria besar gagah tak dikenal, tampangnya seperti preman. Kuberanikan diriku untuk membuka pintu walau terasa janggal. Setelah kubuka pintunya, mereka langsung menarik kerah leherku dan menyuruh untuk menghapus berita yang disinggung pihak yayasan sekolah sebelumnya. Aku dimaki, diancam hingga ditampar olehnya. Jika aku tidak segera menghapusnya, mereka tak segan untuk mengobrak-abrik seisi rumah dan akan membuat hidupku tak tenang. Setelah aku tak lagi berdaya, mereka bergegas pergi begitu saja. Untungnya orang rumah tak tahu menahu soal ini. Takutnya, mereka khawatir atas kejadian yang menimpaku ini. Aku berniat menutup mulutku untuk bercerita.

Niatku menutup mulut untuk bercerita, hanya ditujukan kepada keluarga saja. Sejujurnya, aku masih ketakutan dan cukup mengalami trauma atas kejadian yang menimpaku barusan. Tak mau berdiam diri dan pasrah, keesokan harinya, di hari Minggu, aku memberanikan diri menghubungi perusahaan yang menaungiku, melaporkan situasi dan keadaanku. Sialnya, mereka hanya memberiku semangat dan ucapan untuk tetap bersabar menunggu situasinya mereda. Sedikit saja saran yang mereka beri sebagai mitigasi. Persetan! Aku tak butuh itu, yang aku butuhkan saat ini adalah jaminan keamanan dan perlindungan! Bukanlah perkataan omong kosong penggugur harapan. Oke, tak mengapa jika aku tidak dapat jaminan, setidaknya keluargaku yang dapat, mereka lebih membutuhkan.

Hari pun berlalu, tiba saatnya untukku melakukan pembiasaan di setiap hari Senin, yaitu upacara pengibaran bendera merah putih. Pembina upacara berpidato, ia membawa pidato mengenai bahaya penggunaan narkoba. Semua orang merinding getir mendengarnya, banyak kengerian-kengerian yang ditimbulkan dari efek samping penggunaan narkoba tersebut. Setelah upacara rampung dilaksanakan, kepala sekolah tiba-tiba memberi pengumuman. Ia dengan tegas mengumumkan daftar siswa dan guru yang dikeluarkan secara tidak hormat karena menyalahi etika dan norma yang berlaku di sekolah, termasuk menggunakan dan mengedarkan narkoba di lingkungan pendidikan.

Satu persatu ia layangkan nama-nama pembuat onar, sampai di penghujung daftar nama tersebut, tiba-tiba namaku disebut atas dugaan pencemaran nama baik lewat pemberitaanku. Sontak aku kaget dan tak terima dengan keputusan sepihak tak berperikemanusiaan itu. Tubuhku lemas sebadan-badan, masih tak menyangka diberhentikan secara tidak hormat begitu saja. Rekan kerja dan murid-muridku juga tak percaya atas keputusan tersebut. 

Selesai pengumuman, aku langsung datang memprotesnya, namun hasilnya nihil. Kepala sekolah tak punya wewenang lebih atas keputusan yang diberikan pihak yayasan. 

Hidupku hancur, penghasilan utamaku menjadi pengajar sirna sudah. Harus bagaimana aku menghidupi keluarga? Kirana dan Aruna, siapa yang mencukupi segala kebutuhannya? Sialan, brengsek memang! Akan aku singkap semua kebusukan sekolah dan yayasan ini, awas saja kalian!

Semenjak itu, aku beralih menjadikan profesi wartawan lepasku sebagai pekerjaan penuh waktu. Untungnya, aku diberi kebebasan untuk memberitakan berbagai isu yang ingin dipublikasikan, tentunya karena statusku sebagai wartawan lepas yang tak terikat dengan ketentuan dan peraturan di suatu perusahaan, lembaga, atau media massa. 

Misiku sudah jelas dan bulat! Akan kucari semua seluk beluk permasalahanku sebelumnya, yaitu tentang pengedaran dan penggunaan narkoba di wilayah pendidikan. Aku pun bergegas memetakan hal-hal yang kubutuhkan untuk reportase investigasi. Mulai dari menyiapkan daftar pertanyaan, target narasumber, membuat hipotesis, merancang mitigasi, hingga merapikan dokumen penunjang untuk dibawa ke lapangan.

Kususuri semua tempat yang terindikasi sebagai tempat kejadian perkara. Aku kumpulkan semua data dan bukti yang dirasa perlu sebagai dasar tulisanku. Tak luput, berbagai narasumber kuwawancari dengan tepat dan cermat. Beberapa narasumber sempat menolak untuk diwawancarai. Namun, hal itu bukan menjadi masalah, akan kucari hingga ke dasar Palung Mariana sekalipun!

Sejauh ini tak ada hambatan yang begitu menyulitkan untuk mencari bahan tulisanku ini. Cukup lima hari saja untuk mengumpulkan semuanya. Mewawancarai orang yang terlibat, saksi mata, saksi dengar, pakar, dan pihak berwajib sudah rampung masuk dalam data narasumberku. Pastinya, bukti-bukti fisik untuk memperkuat laporan investigasi sudah didapat juga seperti foto, dokumen, rekaman, dan juga video.

Tinggal saatnya kurancang semua data dan bukti itu melalui tulisan laporan jurnalistik. Setelah dua hari lamanya, tepat seminggu, tulisanku terbit di berbagai media massa. Beritaku viral dan mendapat perhatian dari semua orang! Mereka saling berkomentar, beradu argumen hingga menerka-nerka kejadian lainnya di luar pemberitaan. 

Kau tahu mengapa beritaku viral? Sedikit cerita, ternyata, di daerah yang tak jauh dari yayasan sekolah tersebut, terdapat bangunan megah yang jam operasionalnya hanya beroperasi saat waktu dini hari. Bangunan yang kononnya tempat rekreasi keluarga itu ternyata hanyalah kedok dari berbagai aktivitas bejat yang terselubung. Mulai dari praktik judi, jual-beli minuman alkohol, tempat prostitusi dan yang terakhir, ya, benar, apalagi kalau bukan narkoba. Sudah gila ya dunia! 

Tapi yang tidak habis pikir, yayasan sekolah tempatku mengajar dulu, ternyata menjadi sponsor utama bangunan itu. Sungguh biadab! Bangsatnya, oknum-oknum guru sialan itu diberi suplai barang oleh yayasan untuk diedarkan di sekolah. Pantas saja mereka berkoar-koar mengenai pemberitaanku kemarin, ternyata ada yang ditutup-tutupi.

“Tapi heran juga ya, kenapa sejauh ini hidupku tentram-tentram saja tanpa ada ancaman atau intervensi dari pihak yayasan, padahal sudah sehari berlalu,” pikirku sembari menyeruput secangkir teh pahit hangat di ruang tamu rumahku. 

Prrraannnggg…

Suara kaca pecah yang berasal dari arah kamar anakku. Aruna seketika menjerit kencang. Mendengarnya, aku yang saat itu bersama Kirana langsung bergegas menghampirinya. Ternyata, lemparan benda itu bukanlah batu atau kayu, melainkan bom molotov yang langsung membakar seisi kamar Aruna. 

Aku yang mencoba tenang saat itu, hanya memikirkan keselamatan Aruna dan Kirana. Kutitah Kirana mengambilkan handuk basah dan seember air ke hadapanku. Selagi menunggu, aku tenangkan Aruna agar dia tidak panik dan tetap bersabar. Setelah handuk basah kugenggam, ku siramkan juga diriku dengan seember air yang telah dibawa Kirana itu. Tak menunggu lama, kuterobos “jago api” itu dengan nekat, menyelamatkan Aruna yang sedari tadi menunggu diselamatkan, membungkusnya menggunakan handuk basah agar aman tak terkena kobaran api. Setelahnya, kami semua bergegas pergi ke luar rumah untuk evakuasi diri. 

Sialnya, bom molotov itu terlanjur disebar ke penjuru sudut-sudut rumah oleh pelaku yang kami sendiri tak tahu siapa dalangnya. Semua jalan terblokir aksesnya oleh api. Hanya ada satu jalan untuk keluar, yaitu lewat pintu dari arah dapur. 

Aku yang masih menjaga egoku sebagai kepala keluarga itu hanya bisa mementingkan mereka berdua agar dapat keluar dengan selamat tanpa ada kekurangan sedikitpun. Kupapah mereka berdua dalam masing-masing tanganku menuju pintu ke luar. Saat pintu ke luar tersisa beberapa meter dari pandanganku, samar-samar sesosok pria menembakku menggunakan pistol dan pergi begitu saja. Aku yang sudah pasrah dengan keadaanku hanya bisa tersenyum dan menyuruh kedua belahan hatiku untuk pergi menyelamatkan diri. 

“Aruna, maafin ayah ya, belum bisa lihat Aruna sekolah, belum bisa nganterin Aruna pulang pergi ke sekolah. Padahal, tinggal nunggu bulan depan ya untuk ngelakuin itu semua.”

“Kirana, aku titip Aruna ya, jagain dia. Maafin mas belum bisa ngebahagiain keluarga kecil kita. Maafin mas juga yang memilih profesi sebagai wartawan ini. Ini diska lepas soal liputan investigasi mas kemarin, tolong simpan baik-baik, siapa tau bermanfaat nantinya. Sekarang kalian cepat pergi dari sini, cepat!”

Mereka berdua akhirnya bergegas pergi dariku. Pandanganku makin ke sini semakin memudar, pendengaranku juga sudah tak karuan. Entahlah Aku tak tahu pasti, semoga mereka berdua selamat. 

Api yang tadinya hangat dan panas tiba-tiba menjadi dingin. Mungkin ini saatnya untukku beristirahat dari dunia ini. Selamat tinggal Kirana, selamat tinggal Aruna, kalian anugrah terbaik yang pernah aku miliki.

 

DONI SETIAWAN

Editor: KHAIRUN NISYA

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *