Potret aksi massa sedang berkumpul untuk merobohkan dan mengikat spanduk perjuangan di depan pagar Gedung DPRD Jawa Barat pada Jumat, 21 Maret 2025. (Ailsa Argianti Elysia/JUMPAONLINE)

Bandung, Jumpaonline Aksi demonstrasi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) Nomor 34 Tahun 2004, berlangsung selama dua hari pada Kamis-Jumat, 20-21 Maret 2025. Aksi ini bertempat di depan Gedung DPRD Jawa Barat dan melibatkan elemen masyarakat yang bersatu untuk menyuarakan penolakan atas disahkannya RUU TNI, dengan mengusung 13 tuntutan utama yang mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap potensi dampak negatif dari undang-undang ini bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Ahmad Shidiq, Koordinator Lapangan aksi mengatakan bahwa, aksi ini berlangsung selama dua hari sebagai respons terhadap keputusan DPR-RI yang belum mencabut status RUU TNI dari undang-undang. Ia menekankan bahwa tuntutan dalam demonstrasi ini tetap konsisten dengan tuntutan yang disampaikan pada aksi hari pertama, di antaranya yakni, cabut UU TNI, lawan militerisme, kembalikan militer ke barak, bubarkan komando teritorial, adili jenderal pelanggar HAM termasuk Prabowo, tarik militer dari tanah Papua, hapuskan komponen cadangan, stop penggunaan buzzer guna memecah belah rakyat, negara sumber masalah, tolak dwifungsi ABRI, bubarkan pengadilan militer, hentikan pelibatan aparat bersenjata dalam ruang sipil, dan tolak militerisme melalui komando daerah militer baru dan peningkatan anggaran militer kepolisian. 

“Demo ini dilakukan oleh seluruh rakyat bersama dengan mahasiswa-mahasiswa lain. Kami bergerak atas nama rakyat,” ujarnya.

Ogawa, salah satu demonstran, menjelaskan pandangannya mengenai proses pembuatan RUU TNI yang dinilai cacat hukum. Ia menjelaskan bahwa terdapat unsur keterpaksaan dan kurangnya perencanaan yang matang dalam penyusunan undang-undang tersebut. Beberapa langkah penting dalam proses legislasi tidak dilaksanakan dengan benar, seperti tidak adanya naskah akademik dan pengesahannya dilakukan pada masa reses. 

“Kalo kita liat juga undang-undang harus ada naskah akademiknya, tapi naskah akademik dari DPR belum ada. Selain itu juga dilakukan saat masa reses [masa kegiatan di luar sidang dan di luar gedung] di mana memang DPR tuh tidak seharusnya melaksanakan rapat,” jelasnya. 

Ia pun mengungkapkan harapannya agar proses legislasi di masa depan lebih transparan dan akuntabel supaya masyarakat dapat berpartisipasi. Ia juga mengajak masyarakat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan RUU TNI, seraya berharap MK tetap independen dan bebas dari tekanan politik.

 “Semoga Mahkamah Konstitusi tidak tersuap, dan tidak terseret oleh arus-arus yang salah,” ungkapnya.

 

Ailsa Argianti Elysia

Editor: Adinda Malika Trycahyani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *