Jakarta, Jumpaonline– Ini merupakan secarik kisah kelam dari ribuan dampak yang dialami oleh warga Cirebon semenjak berdirinya PLTU di pemukiman tempat tinggal mereka. Salah satu bagian warga dari Cirebon mendarat di tanah Jakarta, tepatnya di depan gedung Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk menyuarakan keresahan yang dialami oleh masyarakat yang disekitarnya telah berdiri sebuah PLTU.
Tak sedikit masyarakat atau komunitas yang mendukung warga Cirebon untuk terus mengawal dan menyuarakan hak-hak yang seharusnya dimiliki. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat (Jabar), Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon, Enter Nusantara, dan beberapa pers mahasiswa yang ada di kampus Bandung juga turut berada di garis depan aksi dengan menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak yang memang sudah seharusnya menjadi milik warga Cirebon.
Adhinda Maharani yang akrab dipanggil Dinda, sosok pemudi tangguh asal Cirebon yang dengan berani menapakkan kakinya di tanah Jakarta untuk menyuarakan keresahan yang dialami oleh warga Cirebon. Dengan energiknya, Dinda bergerak dari kediamannya dengan menunggangi kereta api. Hal itu ia lakukan sebagai refleksi kilas balik warga Cirebon, ia berkata bahwa suara warga Cirebon itu kuat karena selalu berkesinambungan dan berkelanjutan. Ia bertekad untuk terus memperjuangkan kasus ini hingga warga mendapat keadilan dan kejelasan yang nyata.
“Sampai saat ini kami belum puas dengan hasil yang dilakukan oleh KPK dan pemerintah. Kami menuntut lebih dari sekedar investigasi dan penangkapan. Masih ada afiliasi-afiliasi politik yang lain, saya harap ya pemerintah gerak melalui KPK ini,” jawab Dinda dengan lugas saat diwawancarai oleh Reporter Jumpaonline di depan gedung KPK Jakarta.
Semenjak berdirinya PLTU di tanah Cirebon, beberapa dampak mulai bermunculan dan itu menjadi buntut dari permasalahan yang dialami oleh warga Cirebon saat ini. Mulanya dari dampak sosial, secara komunitas, warga telah kehilangan akar yang telah menjadi budaya disana. Seperti profesi tani dan nelayan yang sudah menjadi budaya di keluarga mereka, kini mereka tak lagi dapat melanjutkan saka baka profesinya.
Di sisi lain, muncul konflik horizontal ketika proyek masuk, yaitu perusahaan menawarkan sejumlah kompensasi atau uang yang ditujukan kepada warga. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membujuk warga sekitar agar dapat menjual lahannya kepada pihak perusahaan.
“Mereka mengintimidasi agar warga dapat membebaskan lahannya untuk dibangun proyek dan ada perpecahan diantara warga disitu, ada warga yang mau, ada yang enggak, ada yang terpaksa, ada yang harus menjual sebagainya. Itu sangat memecah belah konstruksi sosial di masyarakat,” sahut Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, menjawab pertanyaan dengan mimik yang begitu khawatir.
Secara sosial, berdirinya proyek PLTU ini amat menimbulkan dinamika-dinamika baru yang terjadi dalam masyarakat. Warga terbagi menjadi beberapa kubu, yaitu pro dan kontra. Mereka terpecah belah dengan didasari dari berbagai pendapat yang berbeda pada setiap individunya. Setelah diobservasi oleh Dinda dan kawan-kawan, proyek-proyek tersebut telah banyak melibatkan masyarakat yang tidak terdampak. Hal inilah yang menjadikannya hanya masyarakat pro saja yang terlibat dalam industri.
Bukan hanya itu, dampak ekonomi juga turut menyusul menjadi imbas yang berpengaruh ke alam. Limbah batu bara yang diangkut dari kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak yang mencemari lautan. Secara otomatis, warga yang berprofesi sebagai nelayan telah kehilangan wilayah tangkapnya. Hal ini dapat disebabkan karena ikan-ikan yang hendak ditangkap itu mati teracuni karena airnya tercemar oleh batu bara.
Selanjutnya, perihal area tambak garam warga yang tercemar oleh solar. Hal ini menyebabkan garam yang dihasilkan tak lagi bersih. Dengan terpaksa, warga harus menurunkan harga jual barang dan mengalihfungsikan dari garam dapur menjadi garam krosok.
“Yang tadinya penghasilan mereka misalnya 300 ribu per bulan, sekarang 50 ribu aja susah. Garam krosok yang satu kilogramnya dihargai dari 2–3 ribu per kilonya, sekarang hanya dihargai 700 perak per kilonya,” jawab Hannah.
Saluran pernapasan juga turut terserang akibat polusi yang diproduksi dari PLTU tersebut. Tercatat dari beberapa puskesmas yang berada dekat di wilayah PLTU, yaitu Astanajapura, Kanci, dan Kanci Kulon, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menjadi penyakit yang cenderung meningkat pada setiap tahunnya.
“Lansia paling top terdampak, anak-anak juga tidak menutup kemungkinan bahwasannya mereka mengalami kenaikan ISPA tiap tahunnya,” lengkap Dinda.
Malangnya, setelah ditimpa banyaknya masalah ekologi dan kesehatan yang terjadi, warga Cirebon dilanda pula penyakit kulit. Hal ini disebabkan oleh limbah pembuangan industri yang mencemari air di sekitar PLTU. Masyarakat yang sebagian memiliki sensitifitas kulit yang tinggi, mereka harus mencari lagi air untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
“Saya kena ISPA, kalo gak ada yang percaya, ya saya aja yang jadi contohnya. Karena saya ngalami sendiri. Ketika saya pulang KKN dari sana, ISPA saya kambuh dan penyakit kulit saya juga kambuh,” ujar Dinda sambil menunjukkan tangannya yang terkena iritasi kulit.
Air yang tercemar berdampak pula pada konsumsi sehari-hari mereka. Kini warga sudah tak lagi dapat mengambil air ledeng. Untuk menghilangkan rasa hausnya, warga harus rela untuk merogoh kocek yang lebih.
Kian tahun, warga Cirebon semakin merasakan dampak dari adanya PLTU. Dampak dari industri ekstraktif ini tak hanya menimbulkan efek negatif di wilayah Cirebon saja. Wilayah yang berada di sekitar, turut terkena imbasnya, seperti daerah Indramayu dan Kuningan. Dengan bertambahnya industri yang didasari proyek strategi nasional ini, bukannya pembangunan secara berkelanjutan yang adil, tetapi malah membuat kerusakan secara berkelanjutan.
“Yang tadinya mungkin udara itu asri, tapi dengan bertambahnya industri ekstraktif, membuat kerusakan lingkungan yang berkelanjutan,” tambah Dinda.
KHAIRUN NISYA
Editor: NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI