Ilustrasi: Instagram.com/Trippy
Ilustrasi: Instagram.com/Trippy

Kawan-kawanku mengenalku sebagai Kastum, jurnalis kampus yang ceria, hiperbola, dan suka bercanda. Padahal di balik itu aku seringkali termenung dan muram. Banyak waktu kuhabiskan untuk berlama-lama mandi hingga kulit tanganku mengeriput. Atau aku akan melamun semalaman di ruang redaksi tanpa menulis dan tak melakukan apa-apa.

Aku akan merajut ingatan yang tidak terlalu penting namun menghindar dari masalah yang benar-benar kacau. Adakala aku merasa bahwa di tubuhku ini ada sejumlah dedemit yang memorakporandakan segala bentuk kewarasan yang kupunya.

Masih terngiang jelas dalam sebuah diskusi, redaktur media alternatif menuturkan;

“Setelah membaca sekitar puluhan buku tentang kematian, menurutku mati itu seperti orang tidur. Tidur adalah sebuah kematian kecil untuk manusia,” tuturnya.

Tentu aku pernah merasakan tidur, setiap hari, setiap malam bahkan setiap ada kesempatan aku lebih memilih tidur ketimbang melakukan rapat redaksi dan liputan indepth yang tak kunjung selesai, selain menjadi seorang barista salah satu coffee shop dibilangan Sudirman.

Setelah mendengar teori kematian kecil dari redaktur media alternatif itu, aku semakin yakin untuk menyusun rencana bunuh diri. Pada suatu kesempatan aku membahasnya dengan seorang teman sambil jongkok di sebuah basement parkiran kampus. Temanku, Fredrick seorang pendengar yang baik.

“Fred, menurutmu kalau aku mati gimana?” tanyaku.

“Mati? Urusan mati sudah ada yang ngatur bego! Lagian mana kamu tahu kamu bakalan mati kapan,” tandasnya memandangku heran. Perkataan Fredrick terasa sangat klise.

“Nah itu dia, aku akan merancang kematianku dengan bunuh diri!” kataku serius, sambil menegak segelas intisari sampai habis.

“Gila kamu Kas! Kamu mau bunuh diri?” terbelalak mata Fredrick. Buru-buru dia menegak intisarinya sampai habis juga. Biasanya orang akan memuncratkan intisari yang diminumnya saat mendengar sesuatu yang mengejutkan, tapi Fredrick malah menandaskan intisarinya.

“Ya, begitulah,” jawabku enteng. “Tapi Fred, aku ingin bunuh diri dengan tenang, nyaman dan tentu harus sukses!” lanjutku sambil meluruskan kakiku.

“Kamu gila Kas, kenapa kamu mau bunuh diri? Biar kutebak, masalah cinta pastinya,” rupanya Fredrick masih penasaran kenapa aku harus mengakhiri hidup ketimbang membicarakan kehidupan setelah mati.

Aku menghentikan percakapan ini. Fredrick tidak menawarkan solusi. Mungkin untuk urusan kematian, harus aku rancang sendiri.

Setelah berbincang menyoal kematian bersama Fredrick, tanpa sebab sejak saat itu aku sering merasa gelisah dan merasa kacau. Lima kali aku pergi ke psikiater, katanya aku hanya bergejala depresi, kurang tidur, dan terlalu sedikit makan. Aku juga sering berjalan terhuyung-huyung meski tidak sedang keluar dari diskotik ataupun terpengaruh oleh intisari, aku baik-baik saja namun entah mengapa seperti kehilangan aura.

Beberapa kali aku mencoba untuk mengakhiri hidupku sendiri. Padahal aku tahu cara itu akan memutus rantai kenikmatan dunia. Aku tidak akan pernah bertemu dengan Vinsen dan kumisnya. Aku tidak akan bisa merasakan sedapnya ditraktir Putu setiap hari minggu, di setiap jadwalku mengunjunginya. Lebih parah lagi ketika aku benar-benar mati, aku tidak bisa menciumi leher Elizabeth, pacarku yang cantik dan rupawan. Bunuh diri tidak ada gunanya, itu hanya membuang buang waktu.

Tetapi di hadapan kawan-kawanku yang loyal dan berisik, aku tidak mau menunjukkan bahwa sesungguhnya jiwaku perlu pertolongan, kecuali pada Fredrick waktu itu. Aku biasa menghias bibirku dengan senyum dan tawa renyah. Akan terasa aneh kalau tiba-tiba aku berbisik kepada Novia yang sexy dengan kalimat “Nov, gimana kalau aku mati saja?” tentu Novia akan mencegah karena aku adalah satu satunya teman yang sering pergi ke Gramedia untuk membeli buku kumpulan cerpen. Atau kalau aku mengutarakan niatku pada Komang yang pernah mengajariku menghisap tembakau dengan cara yang benar “Mang, aku mati saja ya?” dia pasti akan mencengkeram lenganku kuat-kuat, membujukku untuk tak melakukan itu, atau boleh melakukannya asal kamera baruku diwariskan padanya untuk bisa bebas memotret tanpa batas waktu.

Jika aku seorang wanita mungkin aku akan membayangkan tentang praktik berhubungan sex tanpa kontrasepsi. Kabarnya itu cukup sederhana. Kau hanya perlu membuat anak dengan pacarmu lalu buatlah pacarmu tak punya rasa tanggung jawab. Ketika cairan itu menancap pada rahimmu kemudian berubah menjadi seonggok daging yang tumbuh, kamu perlu mematikannya dengan cara mendatangi praktik dukun ilegal, menyerahkan nyawa pada goresan silet. Itu kalau kamu beruntung, kabarnya kamu bisa mati. Tetapi kalau tidak, mungkin saja resiko badan yang cacat sehat seumur hidup.

Aku ngeri sendiri, sepertinya metode itu tak cocok untukku.

Dipikir-pikir cara lain seperti menenggak baygon, memakan berbagai macam obat dextromethorphan atau tramadol dalam dosis yang besar atau menabrakkan diri di jalan tol juga tidak ada elegan-elegannya sama sekali. Terlalu klise, monoton, masa hanya itu saja caranya.

Sampai berbulan bulan aku memikirkannya. Kurus sudah badanku. Elizabeth yang posesif sampai marah-marah karena setiap kami bertemu ia menuduh jika aku bermain wanita, aku sering berbohong, tak mengabari padahal aku sudah tahu semuanya, padahal sejujurnya aku jarang berbohong dan tak suka di posesifkan.

“Lama-lama aku bisa membunuhmu kalau tidak mau jujur kau nakal di belakang ku,” ujarnya dengan wajah penuh kekesalan saat menghisap sebatang sigaret menthol.

Aku meneguk sebotol bir, bersendawa sendiri lalu tertawa.

“Memangnya siapa yang akan memberimu uang jajan kalau aku mati, hah?”

Di tengah rasa kecewanya karena aku tak mau menyentuh makanan yang ia pesankan, ia bercerita padaku tentang temannya seorang ketua organisasi seni. Sedikit menyentil tentang prahara hasrat cinta mereka. Ia menceritakan bagaimana organisasinya melarang hingga mengharamkan orang untuk memadu kasih dan bercinta di dalam organisasi, tentu karena itu akan mengganggu dan menghancurkan organisasi dengan sendirinya. Temannya adalah orang yang sangat royal kepada kawan organisasi asalkan mereka mau tutup mulut mengenai sebuah skandal yang telah lama ia tutup tutupi. Jujur saja sebenarnya Elizabeth bukan orang yang suka gosip, mungkin saja dia bercerita seperti itu agar pertemuan kami tidak terkesan membosankan.

“Temanku ini memadu kasih dan bercinta dengan sekretarisnya sendiri, cantik dan indah tubuhnya. Pantas saja temanku tergoda. Tapi kalau ketahuan kawan-kawan satu organisasi, besar kemungkinan dia akan dikecam. Lihat saja,” kata Elizabeth sembari mengelus gawai dan menunjukkan muka marah padaku.

Apa yang diceritakan oleh pacarku sepertinya sama dengan peraturan yang organisasi yang kini aku tekuni. Aku mengangguk-angguk, meneguk sebotol bir lagi, bersendawa lalu ditertawakan oleh Elizabeth.

Malam itu aku pulang dengan pikiran kalut. Kupikir menarik juga kalau aku ikut dalam kompetisi menghancurkan organisasi yang tengah aku tekuni ini. Mungkin itu akan mempercepat jalanku menuju hal yang kuinginkan sejak lama. Sejak saat itu aku melakukannya dengan menggunakan skenario cantik atas apa yang di ceitakan oleh Elizabeth yang posesif itu.

Siang ini aku akan makan siang dengan kekasihku, bukan Elizabeth.

Wanita cantik, rambutnya sebahu, warna matanya biru seperti pantai di Raja Ampat. Penyuka sajak Sapardi Djoko Damono. Wanita yang uangnya banyak dan harga satu stel pakaiannya jutaan. Seseorang yang seminggu lalu menghadiahiku sepatu Nike Jordan disusul dengan laptop untuk menunjang kegiatanku. Wanita itu sering kudekap dan kuelus rambut mulusnya.

Persetan dia kekasih siapa, aku mencintainya lebih dari apapun. Aku mencintainya melebihi kekasihnya yang sering ngamuk-ngamuk. Dua wanita ini yang membunuhku diam-diam, membunuh kehidupanku dan meningkatkan hasrat kematianku.

Dua wanita ini lebih kucintai dari siapapun, karena mereka yang telah membuat pikiranku berkampanye tentang hasrat kematian, membantuku untuk melakukan percobaan bunuh diri dengan cara yang luar biasa indahnya.

Tamansari, sore hari.

Selasa, 14 Juni 2022

*Cerpen ini terinspirasi dari artikel di Mojok.co dan Harian Kompas

RIZAL FAUZAN

2 thoughts on “Kampanye Kematian”
  1. I am often to blogging and i really appreciate your content. The article has really peaks my interest. I am going to bookmark your site and keep checking for new information.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *