Ilustrator: Mena Dewi
Ilustrator: Mena Dewi

Perjalanan ini bermula karena kejenuhanku melakukan aktivitas libur lebaran yang begitu-begitu saja di setiap tahunnya. Pergi ke kampung halaman, lalu solat id, disambung makan opor ayam, dan tak lupa silaturahmi bersama sanak saudara. Kegiatan itu terus berulang-ulang, tak pernah sekalipun ada pembaharuan yang signifikan. Alhasil di tahun ini, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu liburanku di sini, bersama teman di Bandung sekalian mengajaknya ke Jakarta untuk berkelana.

Rabu, 2 April 2025, sekitar pukul 02.30 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB), aku dan temanku, Rizki, menempuh perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Kami saat itu nekat pergi menggunakan jalur darat lewat arah Purwakarta-Karawang-Bekasi-Jakarta dengan motor honda beat merah hitam keluaran tahun 2020. Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kakakku yang rela meminjamkan kendaraan ini, hehe.

Kondisi lalu lintas Bandung menuju Purwakarta terlihat ‘aman banget’. Mungkin jika kita pergi saat arus mudik lebaran, kata itu tak yakin aku ucapkan, karena saat perjalanan pun kami mampu bergerak hingga 50-60 km/jam. Jarang sekali terlihat pengendara yang mendampingi perjalanan kami, hanya 2-3 kendaraan saja terpantau. Saat memasuki Jalan Raya Purwakarta hingga Jalan Cikalong, aku sempat kesulitan mencatat poin-poin penting untuk bahan tulisanku. Hal itu terjadi karena kondisi jalanan yang berkelok-kelok. Jalanannya sudah beraspal, mulus rasanya, tapi terkadang juga di beberapa titik ada saja jalan berlubang dan tak rata. Hal itu membuat kami harus merasakan sakit di sekitaran area pantat, imbas tak sedia mengerem saat melaju dengan kecepatan cukup tinggi.

Menuju arah Jalan Raya Cilalawi, sudah tak ada pengendara lain yang terlihat oleh kami. Hanya sesekali kami lihat setiap 300 meter, itu pun kendaraan yang berlawanan arah dengan kami. Ketika memasuki Jalan Raya Cilalawinya, dari arah Jalan Arjun-Pered, kami disambut dengan motor dan truk logistik, mendampingi perjalanan kami selama 8 kilometer ke depan.

Selama perjalanan, aku tengok kanan dan kiri samping jalan, masih belum banyak yang terpampang aktivitas warga. Ruko-ruko tutup, bahkan Swalayan sekali pun. Mungkin karena kami sekarang baru menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, tepatnya pukul 03.55 WIB, di mana waktu itu belum memasuki azan subuh. Tak lama kemudian, kami sampai di Purwakarta. Udara yang tadinya dingin, sekarang mulai terasa agak hangat, entah karena suhu yang berbeda di Purwakarta, atau kami yang sudah baal dengan udara dingin sedari tadi.

Pukul 04.10 WIB, kami memutuskan untuk istirahat sambil menunggu waktu azan subuh di salah satu masjid terdekat, yaitu Masjid Jami Al-Ikhlas, Purwakarta, sebagai tempat kami beristirahat. Rizki yang sedari tadi mengendarai motor langsung merebahkan diri dan beristirahat. Aku yang juga tengah beristirahat, menyambi dengan menulis tulisan ini hingga tiba azan subuh berkumandang pukul 04.38 WIB. Setelah tuntas beristirahat, kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju Karawang pada pukul 05.05 WIB. Jika ditotalkan, butuh 114 kilometer lagi untuk sampai ke Jakarta (kami mematoknya menuju Kota Tua).

Memasuki Jalan Raya Curug-Kosambi, kami mendapati jalan yang ‘aduhai’ sekali. Jalanannya tak semulus yang sudah kami lalui sebelumnya. Walaupun beraspal, tapi bergelombang, sehingga kami perlu lebih berhati-hati demi kesejahteraan pantat kami. Di Jalan Raya Kosambi, sekitar pukul 05.30 WIB, sudah banyak pengendara yang terlihat, mulai dari motor, mobil, bus, truk logistik, hingga truk pengangkut bahan bakar yang bergantian muncul mengisi jalan. Tak terasa, 10 menit kemudian kami sudah menempati Karawang saat langit sudah mulai memasuki sang fajar.

Pukul 06.03 WIB, kami sampai di pinggiran Bekasi, tepatnya di Jalan Raya Pantura. Aktivitas warga saat itu sudah terlihat, ada yang membeli sarapan, belanja sayur, dan ada juga sekedar berbincang-bincang. Sementara itu, ruko-ruko sudah mulai menampakkan diri, tak tertinggal, lapak-lapak dagangan pun sudah digelar untuk dijajakan pada warga sekitar. 23 menit selanjutnya, kami sampai di perkotaan Bekasi, kanan dan kiri dipenuhi gedung-gedung dan perumahan, struktur bangunannya berbeda dengan yang ada di Bandung, entah bagaimana menjelaskannya. Begitupun jalanannya, terasa lebih lebar dan luas dibandingkan dengan Bandung yang sempit dan sumpek. Ada hal menarik yang aku temui di perjalanan Bekasi, ternyata Bandung lebih tenang akan suara klakson motor itu benar adanya. Di Bekasi, penggunaan klakson lumrah digunakan saat berkendara.

Saat diperjalanan, Rizki sudah menargetkan tempat kami berlabuh untuk beristirahat, yakni SPBU arah Jalan Raya Bekasi, SPBU COCO Cakung Pertamina namanya. Kami sampai di sana sekitar pukul 06.45 WIB, mengistirahatkan sejenak tubuh untuk berselonjoran dan peregangan imbas pegal duduk di atas jok motor berjam-jam. Sambil beristirahat, kami berdiskusi sebentar tentang tempat tidur untuk mengisi kembali tenaga. Tempat yang kami sepakati saat itu berlabuh ke Masjid Istiqlal. Pukul 07.16 WIB kami berangkat.

Jakarta pagi hari sudah terasa cukup hangat, entah karena aku yang terbiasa merasakan pagi hari Bandung sepertinya. Lalu lintas Jakarta tak sepadat yang biasanya, bisa dibilang cukup sepi. Tak ada keluhan dari fenomena macetnya Jakarta, hanya yang jadi soal sekarang adalah adaptasi dengan jalanan Jakarta. Masih cukup membingungkan bagiku, bahkan asing. Ini pertama kalinya aku ke Jakarta, wajar jika harus meraba lebih jauh navigasi Google Maps dengan tepat, supaya tidak keliru dan salah jalan. Soalnya, sebelum singgah di Masjid Istiqlal pun kami sempat kebingungan hingga memutari 2 kali jalanan yang sama. Sampailah kami di tujuan pada pukul 07.44 WIB.

Seperti yang ada di berita-berita, Masjid ternama ini memiliki lahan yang sangat luas. Di dalamnya bukan hanya ada masjid, tetapi juga ada tempat bermain anak-anak, bazar pakaian dan makanan, serta masih banyak lagi fasilitas yang diberi. Tak heran, masjid ini selalu ramai pengunjung dan jemaah, mau itu untuk beribadah, istirahat, atau sekedar bermain mengisi waktu luang dengan teman dan keluarga.

Sesuai tujuan awal, kami pun mencari tempat untuk membaringkan badan. Kami tidur di pelataran lantai 2 Masjid Istiqlal, membersamai mereka yang kerap kali disebut sebagai orang-orang ‘terpinggirkan’. Posisi itu kami pilih karena dirasa cukup tertutup dan sedikit orang lalu-lalang.

Jauh sebelum hari ini, aku dan Rizki sudah membuat komitmen sendiri saat memulai perjalanan, salah satunya perihal tempat untuk tidur. Kami berdua sepakat untuk menerapkan sistem ‘ngepunk’ di jalan, alias tidur di jalanan membersamai masyarakat. Konsep ‘ngepunk’ kami definisikan sebagai sikap perlawanan terhadap kemapanan dan otoritas yang dianggap menindas. Namun dalam konteks ini lebih ke arah perekonomian kapitalisme bisnis penginapan. Alasan lain juga datang karena bisa menekan biaya selama kita di Jakarta, hehe.

Cukup lama kami berada di Masjid Istiqlal Jakarta. Selain lama karena tidur, kami pun memakai waktu lain untuk mandi dan menyantap kudapan, mengisi perut di siang hari. Kudapan yang kami santap saat itu adalah Soto Betawi, ditemani dengan segelas es jeruk. Kami membelinya di bazar makanan Masjid Istiqlal. Setelah makan siang rampung, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata Jakarta pilihan pertama kami, yaitu Kota Tua. Berangkat pukul 13.48 WIB dan tiba pada pukul 14.35 WIB. Pada titik ini kami baru merasakan macetnya Jakarta, mungkin memang Kota Tua adalah tempat wisata ikonik di Jakarta, pastinya orang-orang luar seperti kami tak mau ketinggalan untuk datang ke sini.

Ketika sampai di tengah-tengah Kota Tua, kami memutuskan untuk berkunjung sebentar ke Museum Seni Rupa dan Keramik. Dengan tarif 5 ribu per orang untuk mahasiswa atau pelajar, kami sudah bisa belajar sejarah tentang perkeramikan, mulai dari Keramik Asia-Eropa, Keramik Nusantara, hingga Tembikar pada Zaman Majapahit, semua dikupas dalam museum ini.

Ada yang menarik di sini, terdapat kelas untuk membuat keramik bagi wisatawan (Pottery Class). Dengan dibanderol 50 ribu per orang, kita bisa melatih kemampuan untuk membuat keramik. Selain itu, hasil keramik yang sudah dibuat bisa langsung dibawa pulang sebagai cinderamata. Sayangnya, kami belum bisa mengikuti kelasnya karena jadwal yang sudah penuh, juga waktu jam operasional museum yang sebentar lagi akan tutup.

Bukan hanya itu, di museum ini pun menyuguhkan banyak karya lukis dari Seniman Lokal Indonesia di berbagai wilayah. Jika dilihat dari depan bangunan, karya keramik berada di pintu sebelah kanan, sedangkan karya lukis di pintu sebelah kiri. Karya lukis yang dipamerkan pun relatif beragam, seperti lukisan dengan tema perjuangan, sosial, hingga sejarah.

Setelah berkeliling cukup lama, di sana, mataku terpaku dan tertuju pada karya lukis Henk Ngantung, putra kelahiran Kota Manado, Sulawesi Utara. Mengutip langsung penjelasan di keterangan karya museum, Henk telah aktif melukis dan berpameran. Namanya muncul di beberapa surat kabar umum yang terbit di Hindia Belanda. la terus bekerja sebagai pelukis di masa Jepang dan kemerdekaan Indonesia. Salah satu lukisan terkenalnya, yaitu “Memanah” yang ia buat di masa Jepang sering muncul dalam dokumen foto-foto perjuangan kemerdekaan. Lukisan itu terpajang di tembok museum, menjadi latar dan saksi berbagai peristiwa politik nasional yang penting dalam pendirian bangsa. Selain itu, Henk juga dikenal tidak hanya sebagai pelukis, tetapi juga sebagai aktivitas struktural, menjabat sebagai Gubernur Jakarta (1964-1965).

Di satu ruangan itu, terpampang beberapa lukisan karya Henk yang bertema sosial. Seperti salah satu lukisannya dengan pengemudi becak dan pedagang keliling sebagai subjek utamanya. Melalui karya lukis, Henk berusaha menggambarkan perjuangan masyarakat kelas bawah dalam mencari nafkah di Jakarta serta menunjukkan simpatinya terhadap mereka. Selain lukisan bertema sosial, ruangan ini juga memamerkan sketsa-sketsa yang mendokumentasikan peristiwa bersejarah nasional, seperti aktivitas tentara PETA pada masa pendudukan Jepang dan Perundingan Linggarjati (1946).

Museum ini cocok bagi kalian yang ingin belajar sejarah karya seni rupa dan keramik pada zaman dulu. Selain memanjakan mata, penjelasannya pun tidak ada yang ditutup-tutupi, hal itu ditunjukkan dengan fenomena karya lukis sebagai media pengkritik berbagai isu terhadap pemerintah saat itu, selaras dengan apa yang coba digambarkan oleh si pelukis.

Selesailah kami mengunjungi Museum Seni Rupa dan Keramik. Sebenarnya, aku pribadi ingin mengunjungi beberapa museum di Kota Tua. Bertanyalah kami kepada penjaga loket Museum Seni Rupa dan Keramik tentang prosedur kunjungan museum lain. Ternyata, kami hanya mendapatkan jawaban yang sama dengan jam operasional museum tersebut, yaitu loket tutup pada pukul 15.00 WIB dan penutupan museum di jam 16.00 WIB. Atas jawaban tersebut, kami akhirnya mengurung niat untuk mengunjungi museum yang lainnya.

Jakarta sedari tadi sudah mulai terasa panasnya, terhitung saat perjalanan tadi sekitaran jam 14.00 WIB hingga saat ini jam menunjukkan pukul 15.28 WIB. Tak kuat dengan suhunya, kami pun mencari tempat alternatif, yang kami tuju adalah Acaraki Terrace, berada di Gedung Kerta Niaga, Jalan Pintu Besar Utara, Kota Tua Jakarta.

Rizki yang sedari tadi tengah menyelesaikan pekerjaan lepasnya, akhirnya memilih tempat itu karena ia tertarik dengan nilai jual yang diberikan Acaraki, yaitu minuman jamu. Disajikan dengan gaya anak muda, hingga dibuat lewat alat dan cara-cara ala barista kopi. Memang daya tarik tersendiri, nongkrong dan ngopi tapi minumannya jamu herbal yang sehat dan menyegarkan.

Kami berdiam di sini sampai pukul 17.28 WIB dan lanjut lagi berkeliling Kota Tua, melihat aksesoris lucu untuk digaet dan dibawa pulang. Ternyata setelah berkeliling, tak satupun aksesoris yang menarik perhatian kami. Bosan sudah rasanya, bingung juga ke mana langkah tujuan kami selanjutnya. Sedikit berdiskusi, muncul kesepakatan untuk pergi berkeliling mencari wisata kuliner malam. Kami berangkat pukul 18.08 WIB menuju Jalan Kebon Sayur yang digadang-gadang Rizki punya segudang tempat kuliner.

Di perjalanan, walau sudah memasuki malam hari, udara Jakarta masih terasa hangat. Beberapa menit kemudian, sekitar 20-30 menit perjalanan, hujan turun tiba-tiba, membasahi kami yang tak sempat memakai jas hujan karena tengah berada di jalanan Ibu Kota Jakarta. Sesampainya di Jalan Kebon Sayur pada pukul 18.32 WIB, kami berdua bingung keheranan, tak ada satupun tenda yang menjual makanan, kami salah perkiraan ternyata. Sudah memutari sekitaran jalan pun yang terpampang hanya rumah makan tegal dan masakan padang saja pada umumnya.

Sudah setengah jam kami mengitari kawasan itu, sesekali meminggirkan motor untuk mengecek lagi destinasi yang dituju pada Google Maps. Tak kunjung jelas, kami berdua akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke Masjid Istiqlal, berharap masih ada pedagang yang jual makanannya. Pukul 19.13 WIB kami berdua berangkat, dengan harapan yang penuh untuk makan, karena sedari tadi kami sudah kelaparan.

Pukul 19.26 WIB, akhirnya sampai ditujuan. Terlihat dari kejauhan bazar yang tadi siang kami sambangi masih menampakkan tanda-tanda kehidupan. Kali ini, pilihan menu makanan Nasi Kebuli dan Ayam Bakar jadi santapannya. Selesai makan, tuntas sudah rasa laparku yang sedari tadi membuat hilang fokus untuk menulis tulisan ini. Tak banyak basa-basi, seketika energi dan kefokusan untuk menulis muncul kembali.

Pukul 20.26 WIB, badan sudah memberi sinyal atas kepenatan berkat aktivitas seharian di Jakarta. Mata mulai mengantuk, sudah waktunya kami berdua mengistirahatkan jiwa dan raga ini untuk kembali beraktivitas keesokan harinya. Kami pun beristirahat sejenak di sana, sampai pukul 21.33 WIB, Satpam datang dan menyuruh untuk kami meninggalkan area Masjid Istiqlal, sebab akan segera ditutup. Kami tak menyangka jika malam ini tak bisa beristirahat dan tidur di sana.

Lagi-lagi kami kebingungan, mencari tempat bernaung di Jakarta untuk menutup agenda perjalanan kali ini. Kami sudah memutari jalanan Jakarta, mulai dari SPBU, terminal bus, sampai masjid sudah kami cari, barangkali cocok untuk tidur. Hingga akhirnya pada pukul 23.25 WIB, Masjid Amir Hamzah yang berada di Taman Ismail Marzuki menjadi pilihan hati kami. Petualangan pada malam ini kami cukupkan dengan beristirahat, begitu pula berakhirnya momen yang aku abadikan dalam tulisan ini.

 

DONI SETIAWAN

Editor: ALYA NATASYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *