Sumber: Gramedia.com

Judul : Pukul Setengah Lima

Penulis : Rintik Sedu

Editor : Anastasia Aemilia

Tahun Terbit : 2023

Tebal : 206 Halaman

Kategori : Romansa

 

Pukul Setengah Lima adalah novel terbaru karya Rintik Sedu. Mengangkat kisah seorang wanita bernama Alina yang membenci diri dan hidupnya, sehingga berpura-pura menjadi orang lain agar dapat menjalani hidup yang “sempurna”. Alina yang sedari kecil terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan oleh Bapak terhadap Ibu, membuatnya mati rasa dan tidak percaya akan cinta.

Dimulai dengan cerita yang malang, Alina bercerita bagaimana ia membenci kata “pulang” dan keadaan rumahnya, sebab bapak yang selalu memukuli ibunya. Keadaan tersebut mempengaruhi hubungan asmaranya dengan Tio yang telah berjalan selama 2 tahun lamanya. Dikarenakan hubungannya terasa condong sebelah dan hambar, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungannya tersebut. Alina mengaku bahwa selama ini ia tidak benar-benar mencintai Tio, namun dalam benaknya masih terbesit kenangan bersama Tio.

Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Alina membuang dua tahun hidupnya Tio begitu saja. Menurutnya, Tio adalah orang yang baik, hidupnya pun baik. Keluarga Tio menyukainya. Sedangkan Alina menganggap dirinya-lah yang jahat, begitu pun hidupnya. Itu mengapa sejak awal Alina tahu bahwa mereka tidak akan berakhir di tempat yang sama (menikah), karena keluarga Tio yang harmonis. Berbanding terbalik dengan keluarga Alina. 

Perlakuan Bapak Alina yang gila, membuat ibunya kerap mengalami luka. Memar yang satu disusul yang berikutnya. Pukulan di kepala, tamparan di pipi, dan tendangan di perut. Alina bingung, siapa di antara mereka yang butuh pertolongan. Sebab tidak mungkin ada manusia sekuat itu yang bisa menahan rasa sakitnya dan tidak mungkin juga ada manusia sekeji itu yang bisa menyakiti perempuan yang dicintainya.

Alina menjalani hari-harinya yang monoton dengan bekerja. Ia berangkat menuju kantor dari rumahnya menggunakan bus kota sebagai media transportasi. Hingga suatu saat, ia bertemu dengan seseorang lelaki yang bernama Danu pada pukul setengah lima. Dari sinilah Alina mulai berpura-pura menjadi orang lain, berbeda dari dirinya yang sebenarnya.

Diawali oleh Alina yang menamai dirinya sebagai Marni–yang sebenarnya itu adalah nama ibunya sendiri–pada saat Danu mengajak berkenalan dengannya. Marni adalah dunianya yang baru, dunia yang bisa mengubahnya menjadi apa dan siapa saja sesuai dengan keinginan Alina. Marni adalah versi Alina yang sempurna, sosok yang sangat bertolak belakang dengan Alina, sosok yang hanya Alina tunjukkan pada saat bersama Danu. Karena menurutnya, Danu itu berbeda dari orang-orang yang pernah ia temui sebelumnya.

Seperti biasa pada pukul setengah lima, Alina–atau Marni bertemu Danu di bus setelah pulang dari kantor. Hari demi hari, topik demi topik mereka obrolkan selama perjalanan. Tanpa Marni sadari obrolan tersebut membawanya lebih dekat dengan Danu. Respon Danu yang positif, membuatnya tersadar bahwa ia merasakan hal-hal yang selama ini belum pernah ia rasakan sebelumnya saat masih menjalani hubungan dengan mantannya, Tio. Marni jatuh cinta pada Danu, meski beberapa kali menyangkal perasaannya, kali ini ia luluh dan mengakui hal itu sebagai cinta.

Semenjak bertemu Danu, kini Alina tak lagi membenci kata “pulang”. Alina yang semula tak pernah punya tujuan selain menunggu bus di halte itu sekarang mulai menunggu kedatangan Danu. Menurutnya, Danu adalah satu-satunya “kendaraan” untuk Alina menyukai rasa pulang. Ia menantikan setiap “pulang” nya bersama Danu di dalam bus kota pada sore hari. Hingga pada suatu saat, sosok yang selalu ia tunggu mendadak hilang. Alina menunggunya selama lima jam sampai keberangkatan bus terakhir. Danu tak kunjung datang menemui Alina.

Belum menyerah menunggu Danu, keesokan paginya, Alina berangkat lebih awal dari biasanya. Alina menunggunya dari pukul lima sampai dengan tepat pukul tujuh pagi. Busnya memang datang, tapi tidak dengan Danu. 

Pikiran Alina berkutat pada rekaman memori hari-harinya dengan Danu. Banyak hal yang membuatnya terusik, terus mengingat kembali hari yang sudah ia lewati bersama Danu, memikirkan apa yang telah dilakukannya sampai membuat Danu hilang tiba-tiba. Semua itu ia pikirkan, tapi tak kunjung menemukan jawabannya.

Danu bukan menghilang, dia pergi. Alina bisa merasakan dirinya yang berbeda hanya ketika sedang bersama Danu—si laki-laki asing yang seketika hadir dan kemudian menghilang tiba-tiba.

Semenjak kejadian itu, Alina kini sadar dan mengerti, betapa tidak jelasnya hubungan Danu dengan Marni. Ia berpikir bahwa betapa bodoh dirinya, berharap pada Marni untuk memperbaiki kesialan dan kesalahannya hingga Marni tak punya lagi tempat untuk Alina berpura-pura.

Setahun berlalu, banyak hal yang terjadi dalam hidup Alina, dan tentu saja Danu belum kembali. Semua yang terjadi adalah kesenangan Alina semata dan menganggap bahwa semua itu bukanlah cinta. Alina memang merindukan dan menantikan Danu selama setahun ini, tetapi bukan karena sosok Danu yang ia inginkan, melainkan karena Marni. Ia jatuh cinta pada Marni. Alina menantikan Danu karena ia merindukan dirinya ketika berpura-pura menjadi Marni, sosok ideal bagi Alina. 

Novel ini mengangkat kisah yang sering kita jumpai di dunia nyata. Tidak hanya tentang kisah romansanya, tetapi juga tentang permasalahan keluarga yang tak jarang kita dengar. 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Berdampak Pada Psikis Anak

Terdapat beberapa bagian dalam ceritanya yang menunjukkan bahwa adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam novel ini. Di sini Alina menjelaskan sosok Bapak yang sering kali melukai Ibu dan juga dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah pada saat Bapak memecahkan gelas kaca ke arah kepala Alina karena membela Ibunya, Alina merasa tak mempunyai “rasa” sebagaimana manusia normal pada umumnya, dalam cerita novel, narator menceritakan keadaan Alina, “memang ada darah yang mengalir dari sana, namun Alina tidak merasakan sakit, hanya perih sedikit. Setelah kejadian itu, Alina kehilangan rasa. Ia tidak tahu apa itu sedih, kecewa, senang, luka, marah…Aku…aku tidak tahu apa-apa”. Hal ini membuat Alina kerap mencari definisi “rumah” untuk ia pulang, mencari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Alina selalu mencari alasan untuk dapat pergi mencari ketenangan.

Menurut Henny Eunike Wirawan, psikolog sekaligus pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta, anak yang sering melihat pertengkaran orang tuanya bisa meragukan kebahagiaan dan kedamaian yang dijanjikan dalam sebuah ikatan perkawinan. Hal ini selaras pada saat Alina menjalin hubungan asmara dengan Tio, ia tidak merasakan adanya euforia karena dirinya yang tak memercayai cinta. Alina tidak menginginkan pernikahan. Menurutnya, apa yang terjadi pada Bapak dan Ibu sudah cukup menjelaskan banyak alasan mengapa ia tidak ingin menikah walau Tio sempat memintanya. Di samping itu, terdapat beberapa dampak psikologis akibat kekerasan pada diri Alina, yaitu sikapnya yang pasif, tidak dapat menghargai dirinya sendiri, hingga menimbulkan rasa benci yang luar biasa. Hal Ini yang memacu Alina melahirkan sosok Marni, manusia dengan segala keharmonisan di dalamnya, yang Alina tak bisa rasakan dengan kondisi serta keadaannya sekarang.

Mengutip dari laman news.solopos.com dalam judul “Kisah Anak Broken Home: Trauma Berkepanjangan Sampai Takut Menikah”, Nawa 22, warga Jebres, Solo mengungkapkan kejadian yang menimpa orang tuanya saat ia masih kecil masih terus membayanginya hingga ia berusia 20 tahun lebih. Ketakutan, trauma dengan pertengkaran orang tua belum lenyap sepenuhnya. Sampai-sampai, Nawa berpikir untuk tidak akan menikah.

”Saya tidak tahu nanti menikah atau tidak. Sepertinya tidak. Kan kalau menikah itu pada dasarnya mencari pasangan untuk teman hidup. Karena anak-anaknya pasti ninggalin. Kayaknya saya enggak pengen. Punya anak saja tetapi enggak menikah,” ujar Nawa.

Berdasarkan hal tersebut, ada persamaan antara Alina dan Nawa. Mereka sama-sama memiliki trauma yang terlahir sebab keluarga yang tak harmonis. Pertengkaran orang tua sering kali menjadi alasan mengapa anak tidak ingin menikah kelak, mereka tak ingin mengalami hal yang sama sebagaimana pengalaman saat melihat langsung kehidupan rumah tangga orang tuanya. Setiap anak mempunyai cara pelampiasannya sendiri. Alina memilih melampiaskannya lewat sosok Marni. Berpura-pura menjadi Marni adalah coping mechanism-nya.

Di samping itu, novel “Pukul Setengah Lima” menawarkan banyak pelajaran hidup yang berharga. Salah satunya, jangan membenci diri sendiri. Berpura-pura tidak hanya menyenangkan, tetapi juga diperlukan dalam beberapa situasi. Namun, jangan terlena sampai perbedaan antara realita dan kebohongan menjadi satu.

Novel ini cocok untuk kalian yang mungkin sedang merasakan dilema antara menjalani hidup sebagai diri sendiri atau orang lain. Dalam novel ini kita bisa mengetahui kemungkinan apa saja yang bisa terjadi apabila kita berperan menjadi orang lain. 

 

SRI INDAH KHAIRUNNISA

Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: DONI SETIAWAN

One thought on “Pukul Setengah Lima: Kepura-puraan yang Timbul dari Trauma Keluarga”
  1. Just as much as I did, I relished what you accomplished here. Your language is elegant and the drawing is enticing, yet you appear rushed to get to the next thing you should be providing. If you keep this walk safe, I’ll come back more often.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *