Judul : Saksi Mata
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Editor : Ipank Pamungkas
Tahun Terbit : 2021
Tebal : 158 Halaman
Kategori : Sejarah, Misteri, Thriller
Saksi Mata merupakan sebuah kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma dicetak pertama kali tahun 1994 yang sekarang sudah kali keempatnya dicetak dan diterbitkan dalam dua edisi di indonesia. Kumpulan cerita ini diadaptasi dari Insiden Dili (pembantaian Santa Cruz) pada masa Orde Baru.
Penulis mengangkat kisah-kisah berdarah yang saat itu terjadi di masa lalu yang begitu kelam. Derita yang dialami para tokoh di dalamnya seakan-akan membuat para pembaca bisa merasakan begitu kejamnya pembantaian pada masa itu.
Terdiri 16 judul cerita pendek yang pada setiap isinya terdapat peristiwa tragis yang melampaui batas nalar kemanusiaan. Setiap cerita didalamnya dibalut kekejaman tentara yang membantai warga sipil di Timor Timur.
SAKSI MATA
Salah satu judul dari kumpulan cerpen Saksi Mata ini adalah Saksi Mata. Seorang saksi yang sudah tidak lagi dapat melihat, karena matanya dicongkel dengan sendok oleh sekelompok orang berbaju hitam yang katanya mau dibikin tengkleng (makanan sup khas Surakarta -red).
Seorang saksi mata yang tinggal di dalam gang kumuh itu memberikan keterangan bahwa segenap pengambilan bola mata itu terjadi dalam mimpi, namun ketika saksi mata itu terbangun, penglihatan gelap dan dia merasakan cairan hangat yang mengalir dari lubang kedua matanya yang kali itu sudah benar-benar dicongkel.
Bukannya pergi ke dokter mata untuk memeriksakan kedua matanya yang sudah dicongkel dengan sendok, saksi mata itu malah lebih dulu datang ke pengadilan. Hakim terheran-heran mengapa saksi mata itu lebih memilih datang ke pengadilan dahulu daripada ke dokter mata. Kalian tahu apa jawaban dari saksi mata itu? Demi keadilan dan kebenaran.
Apakah seorang saksi mata yang sudah tak bermata lagi masih bisa bersaksi? Tentu saja. Apakah saksi mata itu masih mengingat semua kejadian kelam yang dia lihat saat bola matanya itu masih ada pada kelopaknya? Tentu saja. Lagi pula, ingatan dalam otaknya tidak ikut hilang juga, kan? Saksi mata itu masih ingat betul bagaimana pembantaian itu terjadi, bagaimana mereka menembak orang hingga tumbang seperti pohon pisang, bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih sekarat ditusuk dengan pisau sampai mati.
Saksi mata itu akan mengingat semua itu baik-baik karena, meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan, kecuali dia. Sidang hari itu ditunda, dilanjutkan besok untuk mendengar kesaksian saudara saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi.
Seperti film seri televisi Dark Justice yang pernah ditayangkan di RCTI, salah satu tokohnya selalu mengatakan “Keadilan tak pernah buta”. Pernyataan tersebut telah dibuktikan oleh kesaksian seorang saksi mata yang bahkan tak lagi bermata. Memang, keadilan tak pernah buta. Tapi nyatanya? semua berbanding terbalik.
Hari sudah menjadi malam, saksi mata yang tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia. Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya, kali ini menggunakan catut.
Pada akhirnya saksi mata itu tidak bisa bersaksi lagi, pantas saja hanya dia yang berani datang ke pengadilan untuk menjadi saksi, ternyata mereka sudah tahu bawa siapa saja yang menjadi saksi, dia akan dibinasakan. Begitu ironisnya.
TELINGA
Cerpen urutan kedua dari buku saksi mata ini berjudul Telinga. Bermula dari seorang wanita yang meminta seorang juru cerita untuk menceritakan kepadanya tentang kekejaman, maka juru cerita itu bercerita mengenai telinga.
Diceritakanlah oleh juru cerita itu, mengenai seorang wanita bernama Dewi yang mempunyai kekasih seorang prajurit. Mereka terpisahkan oleh jarak dan waktu karena kekasihnya harus bertugas di medan perang. Mereka saling mengabari satu sama lain dengan mengirim surat untuk mengetahui kabar atau barangkali hanya sekedar menanyakan beberapa hal kecil.
Seperti biasanya, Dewi selalu menerima amplop coklat kiriman dari pacarnya itu. Namun kali ini, terdapat benda lain selain surat dalam amplop itu, benda itu adalah sepotong telinga.
“Kukirimkan telinga ini untukmu, Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang. Ini adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang bisa memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas risiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan. Terimalah telinga ini, hanya untukmu, kukirimkan telinga ini karena aku kangen padamu. Setiap kali melihat telinga ini, ingatlah diriku yang kesepian. Memotong telinga adalah satu-satunya hiburan.”
Kekasihnya, seorang prajurit yang kesepian, menghibur dirinya dengan memotong telinga orang-orang yang belum dibuktikan kesalahannya. Begitu ironis nya pembantaian yang terjadi pada masa-masa itu.
Darah pada telinga itu belum juga mengering, masih basah, Dewi menggantung telinga itu dengan seutas senar di ruang tamu. Ketika ada orang yang bertanya, “siapa pemilik telinga itu?”, dengan sumringah dia akan menjawab, “itu sepotong telinga orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh, pacarku yang memberikannya untuk kenang-kenangan.”
Tragedi telinga ini terjadi sebelum Insiden Dili Timor Timur. Sangat jelas bahwa ini adalah kisah yang sarkastis dan ironis. Para prajurit dengan seenaknya melakukan apa saja yang mereka suka, orang yang belum tentu bersalah pun harus menelan rasa sakitnya ketika sebuah pisau menyayat telinganya hingga terputus.
MANUEL
Berkisah seorang lelaki bernama Manuel yang menderita sejak umurnya lima tahun. Manuel mengalami hal yang takkan ia lupakan di hidupnya karena sejak kejadian itu, terenggutlah semua kedamaian hidupnya.
Bermula ketika ia berbincang dengan seseorang di satu tempat dengan dua gelas bir yang menemani mereka berbincang. Manuel menceritakan kejadian kelam yang begitu tragis yang telah ia alami dalam hidupnya. Mulai dari ledakan yang terjadi di arah pelabuhan yang berdentum serta asap membumbung tinggi dari balik atap-atap rumah. Manuel tak tahu kapan kedamaian yang sebenarnya akan datang lagi.
Ibunya menyambar tangan manuel, dibawanya Manuel berjalan ke satu arah mengikuti orang yang berbondong-bondong mengungsi. Menurutnya, perjalanan saat itu merupakan penderitaan, namun ia kembali sadar betapa tak terbayangkan penderitaan yang akan dialaminya kemudian.
Esoknya, orang-orang memberi tahu Manuel bahwa ibunya ditembak dan tewas seketika. Manuel juga melihat mayat bergelimpangan sepanjang jalan. Ia berlari di atas tubuh orang-orang yang sudah mati. Sambil menangis, sesekali ia terpeleset oleh genangan darah.
Seseorang di sebelahnya menyela dan bertanya mengenai apa yang disampaikannya, “kok seperti film?” Manuel menjawab, “Hidup itu memang seperti film, bung.” Ketakutan dan kengerian Manuel sudah hilang, barangkali karena telah melewati batas.
Setiap malam anak-anak yang mengungsi dalam hutan itu pergi ke atas bukit, selalu menanti tembakan meriam dari kapal. Padahal, seharusnya mereka melihat indahnya pesta kembang api. Tujuh belas tahun lamanya, Manuel menyaksikan bagaimana kehidupan berjalan dalam bayang-bayang kematian.
Manuel merasa tak bisa lagi kehilangan, karena kehilangan sudah menjadi kekayaan hidup mereka. Mereka pun tak lagi punya air mata untuk menangisi kehilangan yang hanya menyalahkan semangat perlawanan mereka. Begitu mengenaskan.
Ketika manuel dan pengungsi lain kembali ke kota asalnya, segalanya telah berubah. Mereka bersekolah, tapi mereka tidak boleh berpikir dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak berbicara dengan bahasa mereka dan juga tidak mempelajari sejarah mereka sendiri. Lebih mengenaskannya lagi, mereka tidak bisa dan tak akan mungkin mengungkapkan pendirian dan cita-cita mereka, karena setiap kali hal itu dilakukan, selalu ada yang ditangkap, disiksa dan dimasukkan ke bui tanpa diadili.
Mereka sangat sulit untuk mengadakan pesta seperti adat dan kebiasaan mereka karena setiap pertemuan orang banyak, selalu dianggap serdadu sebagai persekongkolan. Orang-orang dicurigai dan diinterogasi dengan cara kejam yang tidak cukup dengan ancaman dan pukulan. Sampai-sampai, nenek Manuel yang berusia 74 tahun diiris kulit pipinya lalu disuruh memakan kulit pipi itu mentah-mentah untuk ditanya seperti apa rasanya. Betapa kejamnya serdadu itu.
Seseorang di pinggirnya, menanyakan berapa umur manuel, dijawab oleh Manuel hampir 21. Namun seseorang di pinggirnya keheranan, menyangka usia manuel 30 tahun. Apakah penderitaan membuat seseorang bertambah tua? Seseorang di pinggirnya tidak mempunyai kesan bahwa Manuel menderita, ia seorang yang tabah tetapi mempunyai jiwa pemberontak yang berbahaya.
Namun sayang, malam ini Manuel kurang berhati-hati. Manuel ditangkap oleh seseorang yang berada di pinggirnya, yang sedari tadi mendengarkan kisahnya. Dia itu ternyata adalah seorang intel.
MARIA
Cerita pendek berjudul Maria ini disajikan dengan bahasa yang begitu sederhana dan rinci sehingga memudahkan pembacanya untuk memahami apa yang disampaikan penulis. Diceritakan seorang wanita yang kehilangan suami sekaligus kedua anaknya karena pembantaian di satu kota.
Kehilangan itu bermula dari Gregorio, suaminya yang perkasa. Orang-orang memberitahu Maria, bahwa suaminya itu hancur berkeping-keping menjadi serpihan daging yang berserakan.
Disusul anak sulungnya, Ricardo yang pemberang bersumpah akan membalas dendam kematian ayahnya. Orang bilang dia menjadi mesin perang yang sangat kejam. Kata orang, Ricardo tak pernah membiarkan serdadu musuh melepaskan nyawa tanpa kesakitan yang teramat sangat. Ricardo telah menjadi seorang penyiksa.
Perbuatan Ricardo merupakan bentuk pelampiasan pada masa lalunya yang kelam. Ricardo mengubah kepribadiannya menjadi seorang pembangkang. Anak sulung itu bisa melampiaskan semua penderitaan ayahnya di masa lalu, juga sebagai bentuk pertahanan baginya agar tidak mudah ditindas oleh orang lain. Namun kini, Ricardo sudah lama menghilang tanpa kabar dan juga berita.
Sudah setahun Maria menunggu Antonio yang belum juga pulang kerumah. Sudah setahun juga Maria membiarkan pintu pagar, pintu rumah, dan jendela-jendela terbuka agak lebih lama setiap senja, karena barangkali akan kelihatan olehnya Antonio berjalan pulang dari kejauhan dan berlari-lari memeluknya. Tapi, tiada seorang pun tampak di pintu pagarnya, yang berlari-lari memeluknya sambil memanggil “Mama!”
Kehilangan Gregorio menghancurkan hatinya, kepergian Ricardo mematikan hatinya, dan kehilangan Antonio mengacaukan kerja otaknya. Sangat jelas bahwa pada cerita pendek ini, orang yang terlibat dalam pembantaian, mereka memiliki keluarga, mereka memiliki ibu yang selalu menanti pulangnya mereka kerumah dengan selamat.
LISTRIK
Sebagaimana kita tahu, listrik merupakan rangkaian fenomena fisika yang berhubungan dengan aliran dan muatan listrik yang menimbulkan berbagai macam efek seperti induksi elektromagnetik dan arus listrik. Namun, pada tahun 1933, listrik digunakan untuk menyetrum seorang tahanan bernama Januario.
Muatan listrik yang harusnya mengalir ke berbagai macam kabel dan dijadikan bahan untuk penerangan, kali ini arusnya mengalir dalam tubuh manusia yang sedang diinterogasi. Januario benar-benar menjadi tahanan dalam rumus R=E/I di mana arus proton dan elektron dengan tegangan 110 volt menggasaknya dengan bertubi-tubi. Bagai kepiting yang menancap di ketiaknya, jeritannya selalu mengoyak kesunyian malam.
Januario dipaksa untuk mengatakan sesuatu, tetapi ketika Januario menjawab, seorang petugas memutar potensiometer di depannya. Spontan tubuh Januario terpental bersama kursinya, karena suatu entakan arus listrik yang dahsyat menghantam tubuhnya dengan begitu brutal. Januario kelojotan, setiap kali ia menjawab pertanyaan, serangan listrik itu lebih dulu menyerangnya dan kalimat yang diucapkannya tidak pernah selesai
Kepemimpinan yang otoriter membuat kekejaman yang melampaui batas nalar manusia semakin membabi buta. Kelompok serdadu yang selalu memaksa tahanannya untuk menjawab seperangkat pertanyaan yang dilontarkan, namun serdadu itu selalu bertindak dengan menyetrum tahanannya ketika hendak menjawab. Mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan para tawanannya, mereka hanya sibuk menyiksa dengan setruman listrik tanpa peduli kondisi tahanannya.
KEPALA DI PAGAR DA SILVA
Cerita pendek Kepala Di Pagar Da Silva membawakan perasaan yang amat menegangkan. Penulis menyusun setiap kata yang dijadikan kalimat dengan bahasa yang khas sehingga setiap kali para pembaca membacanya, seakan-akan pembaca mengalami setiap kejadian pada peristiwa itu. Cerpen ini menceritakan seorang lelaki bernama Da Silva yang selalu berkorban memperjuangkan kemerdekaan.
Da Silva selalu terlibat dengan para serdadu ketika ia menjalankan misinya. Tak pernah terpikir oleh Da Silva bahwa segenap kenekatan yang dilakukannya itu akan beresiko mengancam nyawa putrinya, Rosalina.
Pada malam yang begitu sunyi, segerombol serdadu turun dari truk, mereka menancapkan sebuah kepala pada pagar besi yang berada tepat di depan rumah Da Silva, kepala Rosalina dipenggal! Kepala itu tertancap dengan kokoh agar setiap siapa saja yang melihatnya akan terkaget-kaget kelabakan. Dilesakkan oleh tangan yang kuat di tombak pagar yang tidak terlalu tajam itu sehingga barangkali tidak akan terlalu mudah juga mencabutnya kembali.
Da Silva datang membuka pintu pagar besinya dengan sebuah map di tangannya, dia tidak menoleh ke arah kanan ataupun kirinya, pandangannya lurus kedepan. Da Silva memanggil anak perempuan semata wayangnya itu, kenapa pintu rumah tidak dikunci? tetapi tak ada suara yang menjawab pertanyaan Da Silva. Seseorang diluar rumah melempar batu ke arah jendela, Da Silva keluar dan membuka pintu lantas melihat sebuah kepala yang seakan-akan menunggunya.
Kekejaman tentara itu begitu begitu menyayat hati, seorang anak perempuan yang tak tahu apa-apa harus menjadi korban atas apa yang telah dilakukan orang tuanya. Rosalina tak patut mendapat segala risiko kenekatan ayahnya.
Enam dari 16 cerita pendek itu menggambarkan betapa kejinya Pembantaian Santa Cruz yang terjadi di Timor Timur pada masa Orde Baru. Mulai dari seorang saksi mata yang matanya dicongkel, sepotong telinga manusia yang dianggap sebagai mata-mata musuh dijadikan hadiah, Manuel yang ditahan intel karena menceritakan kejadian yang dialaminya kepada orang sekitarnya, lalu seorang ibu yang kehilangan anggota keluarganya karena telah lenyap dilahap serdadu, tak luput dengan kisah kelam seorang dalam tahanan yang terus menerus disetrum, kisah sebuah kepala yang dipenggal lalu ditancapkan pada pagar rumah ayahnya, dan berbagai kisah lainnya.
Kebengisan serdadu itu telah melampaui batas nalar manusia. Sisi kelam tragedi Timor Timur tidak pernah tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah, sejarah hanya mencatat sedikit dari banyaknya masa lalu yang telah terjadi.
KHAIRUN NISYA
Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: HAIDAR ALI