Ilustator: Mena Dewi

Dalam definisinya yang tertuang pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-undang dijelaskan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan oleh Presiden. Secara garis besar, salah satu fungsi terciptanya Undang-undang adalah sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan. Hal ini diperlukan agar pemerintah dapat memiliki batasan tertulis kepada negaranya dan rakyat. Namun, yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir justru berbalik daripada yang seharusnya. Lantas, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada negeri Pertiwi?

Rakyat telah dihebohkan dengan sebuah putusan yang terasa memiliki kepentingan untuk pihak tertentu. Adanya revisi terhadap beberapa pasal yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, sukses menjadi dalang utama kekisruhan saat ini. Revisi ini dinilai memiliki eksklusivitas terhadap pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebab poin-poin yang tertera jelas akan menguntungkan pihak tersebut. Tatkala Revisi Undang-Undang (RUU) disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025, rakyat tak kuasa lagi untuk menahan amarah. Bahkan, setelah rakyat mengungkapkan ketidaksetujuannya, pemerintah masih saja mengesahkan revisi tersebut. Sebagai warga negara, rakyat hanya merasa tidak paham untuk siapa sebenarnya kebijakan ini berlaku. 

Terpantau sejak pengesahan RUU tersebut, seluruh golongan masyarakat turun ke jalan. Aksi Tolak RUU TNI masif terjadi selama tiga hari terakhir. Di Kota Bandung, aksi perdana dimulai pada Hari Kamis, 20 Maret 2025. Hari itu, massa mulai memadati Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mereka menunjukkan segenggam api amarah sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah. Alasannya sudah jelas, rakyat merasa takut akan adanya penyimpangan kekuasaan.  Sebelum hal itu terjadi, tibalah waktu untuk rakyat mencegah mimpi buruk agar masa lalu tidak kembali terjadi di masa ini.

Kian hari ketidakadilan semakin terpampang jelas berusaha muncul ke permukaan dan mencoba menggilas mereka yang tidak memiliki kesepahaman. Untungnya, selain Undang-undang, masih ada bagian lain yang bergerak sebagai pemantau kekuasaan, yakni hadirnya Pers di Indonesia. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, pers dapat melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Oleh karenanya, Pers berdiri sebagai wadah untuk memperjuangkan kebenaran. 

Masih dalam pembahasan yang serupa, marilah beralih menuju salah satu bagian dari Pers, yakni peran para Jurnalis. Jurnalis, sebagaimana tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, telah mengabadikan mereka sebagai orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita di media massa cetak atau elektronik. Mereka bergerak sebagai sosok yang akan memberikan kesegaran bagi rakyat yang haus akan kebenaran. 

Dahulu kala, ketika Indonesia masih berada dalam Orde Baru, banyak ketegangan yang mereka dapatkan. Dilansir dari Tempo.co, kekerasan terhadap jurnalis di tahun 1998 menyentuh angka 42 kasus. Represi dilakukan untuk menghentikan suara yang digaungkan oleh para jurnalis. Satu hal yang mendasari kejadian tersebut ialah perihal tugas para Jurnalis sebagai penghimpun dan penyebar informasi yang dianggap terlalu bising oleh pemerintah.

Tak bisa dipungkiri, kini kehidupan yang bebas bersuara mulai perlahan terganggu. Pada Hari Jumat, 21 Maret 2025, seorang Jurnalis dari media Kompas, ikut menjadi salah satu korban pemukulan ketika sedang meliput aksi Tolak RUU TNI di Bandung. Jurnalis tersebut dituduh sebagai intelijen, padahal ia sudah memperlihatkan kartu Pers. Contog lain, pada Kamis, 20 Maret 2025, akun sosial media Tempo, merilis postingan tentang sebuah teror kiriman kepala babi yang ditujukan untuk salah satu jurnalis perempuan. Tertera bahwa paket tersebut dikirim pada sehari sebelumnya. Tak lama berselang, pada Sabtu, 22 Maret 2025, mereka kembali mendapatkan teror lanjutan berupa kiriman enam bangkai tikus dalam sebuah kardus. 

Puluhan tahun setelah masa kelam Orde Baru, kebebasan Pers ternyata masih menjadi tanda tanya besar. Maka setelah pembahasan ini, timbul sebuah pertanyaan, “Apakah yang akan terjadi jika kebebasan pers terus diganggu?” Lagi-lagi, jawabannya sudah jelas,  tak akan ada lagi pengawas kekuasaan pemerintah. Ketika mimpi buruk itu terjadi, semakin cacatlah demokrasi di Indonesia. 

Kami selalu hidup dalam ruang lingkup yang sama. Kami menjadi salah satu bagian dari Pers, yakni menggenggam identitas diri sebagai Pers Mahasiswa (Persma). Kebebasan Pers yang direnggut tentu akan menjadi sebuah masalah besar untuk Persma. Secara administratif, meski berada di bawah perlindungan kampus, tak jarang terdengar kabar dari sesama kawan Persma perihal masih adanya tekanan dari berbagai pihak.

Bila kebebasan Pers terus dikekang, besar kemungkinan Persma akan memiliki nasib yang serupa, yakni dapat direpresi dan dibungkam. Namun, sebagai Jurnalis, kami tidak akan pernah berhenti bersuara. Oleh karenanya, kami juga turut dan akan selalu memberikan dukungan terhadap para Jurnalis yang merasakan tekanan dari pihak luar.

 

REDAKSI LPM ‘JUMPA’ UNPAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *