Budaya literasi merupakan suatu upaya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Hal itu menjadi esensi bagi sebuah bangsa dalam menjangkau peradaban dunia melalui gerbang bahasa. Literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alfabet (aksara).
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis. Bagaimanapun, era informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media tulis.
Menurut Suherman, M.Psi., dalam bukunya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban, bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang, setiap individu rata-rata menghabiskan waktu untuk membaca hampir mencapai delapan jam sehari. Sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya. Masyarakat di negara maju telah memiliki motivasi intrinsik untuk membaca. Hal ini akan berdampak akan ketertinggalan kita dari peradaban modern.
Untuk memperoleh kemampuan membaca yang baik, khususnya bagi mahasiswa, seyogianya membaca menjadi agenda pokok mahasiswa. Permasalahan saat ini, minat mahasiswa dalam membaca sangat rendah, padahal membaca buku merupakan suatu aktivitas belajar yang efektif untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Mungkinkah mahasiswa bisa lulus tanpa sekalipun pernah ke perpustakaan?
Parameter kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi pendidikannya. Pendidikan selalu berkaitan dengan kegiatan belajar. Belajar juga identik dengan kegiatan membaca, karena dengan membaca akan bertambah pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena “pengangguran intelektual” tidak akan terjadi apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang membara.
Rendahnya minat baca ini disebabkan berbagai faktor. Pertama, determinisme genetic yaitu seseorang yang gemar membaca dibesarkan dari lingkungan yang cinta membaca. Jadi, seseorang tidak suka membaca karena sejak kecil dibesarkan oleh orang tua yang tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan. Kedua, sistem pembelajaran di Indonesia masih didominasi guru mengajar dan siswa mendengar, daripada siswa menemukan informasi sendiri. Alangkah baiknya, pekerjaan rumah yang diberikan berbentuk proyek yang menyenangkan, menuntut anak untuk banyak membaca dari berbagai literatur, sehingga perlahan akan terbina iklim membaca. Ketiga, munculnya permainan yang semakin canggih dan variatif, serta tayangan televisi yang semakin menarik membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu untuk melakukan hal tersebut daripada membaca buku. Keempat, sarana memperoleh bacaan masih minim. Andaipun harus membeli, harga buku yang ada di pasaran relatif mahal. Hal ini menyebabkan orang tua tidak membelikan buku bacaan tambahan selain mengutamakan buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah.
Perlu adanya Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Sekolah yang dapat memfasilitasi anak-anak agar dapat membaca buku. Sayangnya, jumlah perpustakaan umum masih tergolong sedikit dan koleksi buku-buku di Perpustakaan Sekolah cenderung terbatas. Letak perpustakaan di sekolah-sekolah kebanyakan di pojok, gelap, berdebu, susunan buku kurang menarik, dan tempatnya juga tidak nyaman. Sehingga di mata siswa, perpustakaan bukanlah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Jika demikian kondisinya, maka wajarlah jika minat baca bangsa ini rendah. Sebab, pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca.
Lingkungan yang sudah sangat modern pun menjadi faktor lainnya. Namun tidak dengan sendirinya kita dapat dikatakan modern. Kita baru bisa dikatakan modern kalau dapat mengubah perilaku dan pola pikir kita. Manusia modern bisa dilihat dari beberapa ciri, di antaranya, mau membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan, bukan hanya sekedar malas-malasan. Oleh karena itu, buku selayaknya kita jadikan sebagai menu harian yang hampir sebanding dengan pangan, sandang, dan papan. Kita harus sadar bahwa buku adalah pengusung peradaban. Seperti pepatah mengatakan “Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet.”
Berdasarkan kondisi di atas, ada beberapa cara yang sebetulnya bisa dilakukan dalam mengoptimalkan budaya literasi antara lain.
1. Optimalisasi Fungsi Perpustakaan Merupakan Pusat Studi Membaca
Perpustakaan merupakan pusat studi membaca dan keberaksaraan (literacy). Aktivitas yang sejatinya perlu dikelola secara optimal dalam perpustakaan, antara lain mengoptimalkan sarana dan prasarana, serta yang tidak kalah pentingnya mengoptimalkan dukungan dosen, karena dosen dapat berperan mendorong mahasiswanya untuk melakukan penelitian, memberi tugas-tugas konstruktif yang bersifat analitis, mengadakan kegiatan lomba karya tulis untuk mahasiswa, serta menggiatkan aktivitas keilmuan dengan konsep yang menarik. Dengan hal itu, mahasiswa akan sering mendatangi perpustakaan dan terdorong untuk membaca, menulis, dan meneliti.
2. Optimalisasi Kelompok Kepakaran
Wajib bagi setiap perguruan tinggi untuk memiliki komunitas atau kelompok kepakaran yang khusus bergerak dalam bidang keilmuan dan riset. Kelompok ini hendaknya dibangun berdasarkan core competence masing-masing fakultas. Namun, akan lebih baik jika semua kelompok kepakaran fakultas memiliki kelompok kepakaran pusat yang merangkul semua disiplin ilmu. Ini merupakan langkah yang baik untuk menuansakan budaya literasi di kalangan mahasiswa.
3. Kurikulum Mewajibkan Penggunaan Bahasa Inggris
Saat ini batas-batas geografis semakin tidak terlihat. Penguasaan Bahasa Inggris adalah hal yang wajib dimiliki oleh para mahasiswa. Penguasaan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, diharapkan mampu membuat mahasiswa meretas komunikasi global. Bahasa Inggris merupakan jembatan literasi global. Kini, kurikulum Bahasa Inggris memang sudah menjadi mata kuliah wajib di universitas. Namun, alangkah lebih baik jika mata kuliah Bahasa Inggris diberlakukan secara berjenjang dan kontinu tiap semester, sehingga universitas dapat mencetak lulusan yang bisa menjadi opinion leader di tataran global.
Akhir kata, mari kita bangun interhuman communication yang baik, kepekaan terhadap budaya bangsa lain, serta terbangunnya budaya literasi yang baik. Semoga.
*Penulis, Dosen Prodi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unpas; Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unpas
Tabloid Dwibulanan Mahasiswa Universitas Pasundan Edisi: XLVI/Th.XXII/2018
Editor: KINANTI ROSNENDAH TAKARIA