Sumber: kutukata.id

 

Judul: Kutukan Dapur (dimuat dalam antologi cerpen Cinta Tak Ada Mati)

Penulis: Eka Kurniawan

Tahun terbit: 2018

Jumlah Halaman: 9 Halaman

Kategori: Feminisme

 Hari ini Sejarah itu telah dikuaknya dan rahasia dapur ada di tangannya, Maharani pulang dari museum kota dan tahu bagaimana membunuh suaminya di meja makan. Ia akan terbebas dari kutukan dapur dan tempat tidur. Dengan segera (1).

Dicatat demikian oleh Eka Kurniawan, beberapa waktu menunggu laki Maharani mati dengan sajian nikmat, di meja makan usang yang kini menjadi altar pembunuhan.

Semula, aku minta maaf kepada teman-teman semua, sebab sudah membuka pembahasan ini dengan fragmen yang kurang elok. Namun, apa boleh buat, lantas begitulah memang yang Maharani alami. Maka, begitu pula yang akan kusampaikan. Pembahasan ini akan singkat saja. Jadi, kumohon anda sekalian tak pergi dari laman ini.

Eka membuka “Kutukan Dapur” dengan menyanjung ayat Al-Qur’an, menjadikan “manna” dan “salwa” dari berkah yang lembut menjadi kutukan yang membara. Pada sudut dapur yang menyala, makanan bijaknya musti menjadi simbol anugerah, lantas berubah menjadi senjata pemberontakan masal nan menggairahkan. Diah Ayu, sebagai suara subaltern di bawah belenggu kolonial, dan Maharani, sebagai wanita termarjinalkan dalam patriarki, mengubah bumbu dan adonan menjadi alat pembebasan. Eka sungguh menggugah selera dengan membalikkan berkah menjadi liberasi yang penuh gairah. Di tengah gejolak rasa dan perjuangan, adakah yang lebih menggoda juga menggelegar daripada menyaksikan perempuan subaltern bergerilya mengubah dapur menjadi medan perang pembebasan?

Ketika bolak-balik membaca “Kutukan Dapur,” aku langsung teringat pada karya-karya Geoffrey Chaucer soal struktur berbingkai untuk mengeksplorasi isu-isu kompleks (2). Dalam cerpen ini, struktur berbingkai tak hanya dihidangkan sebagai sajian utama tentang Diah Ayu tetapi juga menciptakan konteks kebaruan tokoh lewat Maharani yang lihai berguru pada sejarah. Cara ini memungkinkan Eka untuk menggali tema feminis secara intim, menunjukkan bagaimana perempuan yang teraniaya boleh memanfaatkan keahliannya untuk melawan segala bentuk penindasan. Bingkai ini memperkuat wacana kritis feminis dengan mengaitkan peran tradisional feminis dan wacana feminis kontemporer, memperlihatkan bagaimana perempuan menggunakan strategi yang cerdik dan pengetahuan yang mendalam untuk memberdayakan dirinya melakukan perlawanan.

Eka menggambarkan latar dengan cara yang kaya dan detail, membawa pembaca pada sisi historis kolonialisme yang erat. Latar cerpen ini berakar pada periode kolonial di Indonesia, dengan pokok wacana pada eksploitasi dan dominasi kolonial oleh para “meneer”, khususnya terkait aktivitas perniagaan rempah. Eka menggunakan setting tempat dan waktu untuk makin analitis mengeksplorasi tema kekuasaan, penindasan, dan pemberontakan yang subtil juga efektif. Ia menempatkan karakter utama, Maharani, dalam konteks sejarah yang kuat, di mana dapur sebuah ruang domestik yang umumnya dianggap remeh menjadi medan perlawanan yang menakjubkan. Melalui dapur, Eka seolah menampilkan proses evolusi waktu, mengaitkan kehidupan Maharani dengan sejarah panjang kolonialisme dan perjuangan kaum pribumi.

Detail sejarah, seperti kisah kapal penangkap ikan Bugis yang dihantam badai di Atlantik, Gubernur Jenderal Belanda, serta kondisi kehidupan sosial-ekonomi selama masa kolonial, memperkuat latar cerpen ini. Hal ini memberikan pembaca pemahaman yang mendalam tentang bagaimana penindasan kolonial tak hanya terjadi di medan perang, justru pada ruang-ruang domestik seperti dapur. Tambahan pula, penggunaan elemen budaya dan tradisi kuliner dalam cerpen ini memperkaya latar juga wacana, menampilkan bagaimana rempah-rempah dan keahlian memasak bukan sekadar soal makanan, tetapi juga pada akhirnya rempah mempunyai watak politis jika digunakan dalam paradigma emansipasi. Latar geografis, dengan referensi pada Batavia (sekarang Jakarta), menambah dimensi realisme dan membangun suasana historis yang autentik.

Eka menghindari gemerlap bahasa yang menjerat, memilih untuk memusatkan kekuatan ceritanya pada plot yang kokoh. Ia mengundang pembacanya untuk menelusuri perjalanan waktu yang melintasi masa lampau dan kini secara sporadis juga gesit, menghubungkan kilas balik dengan elegan bukan sekadar babibu bahasa. Dengan lihai, Eka menyisipkan realitas faktual ke dalam bingkai sastra, menenun hubungan intim antara teks dan wacana kritis feminisme. Melalui “Kutukan Dapur”, ia menunjukkan bahwa sastra tak hanya menampilkan dirinya sebagai pengalaman, justru ia wajib hadir untuk menyusunnya kembali menjadi jaringan dinamis yang menghidupkan jiwa manusia.

Resistensi Perempuan Subaltern

Begini teman-teman sekalian, Antonio Gramsci dalam karyanya tentang hegemoni kultural menyoal identifikasi kelompok-kelompok yang dikecualikan, dieksklusi, dipersekusi dan dikucilkan dalam tatanan sosial (3), ia mencatat bahwa kaum subaltern atau kelas-kelas subaltern adalah mereka yang disubordinasikan oleh struktur kekuasaan yang dominan, dipinggirkan dari representasi politik, dan tidak memiliki peran atau posisi untuk menegosiasikan perubahan dalam struktur kekuasaan. Masalah subalternitas cenderung dihubungkan (layaknya jari-jari roda yang terhubung ke poros) dengan dunia kolonial, karena lahir pada situasi masa kolonialisme dan pascakolonialisme. Pascakolonialisme saat ini bukan lagi merujuk negara pascakolonial (postcolonial state) saja, lebih dari itu ia berupa kondisi pascakolonial (postcolonial condition).

Pascakolonial tak hanya sebatas menyangkut relasi antara bangsa bekas jajahan dan penjajahnya, melainkan juga sebagai strategi politis maupun intelektual di kalangan kaum tertindas, kaum migran, kaum buruh, orang-orang yang termarjinalisasi, kaum budak, gay, lesbian, dan lain-lain atau kelompok-kelompok yang disebut subaltern dengan berbagai masalah ras, gender, keadilan, dan masalah sosial lain. Dengan kata lain, pemosisian terhadap subaltern dapat hadir juga dalam relasi sosial yang lebih luas, pada saat persoalan kolonialisme atau pascakolonialisme tidak tampak lagi secara kasat mata. 

Berakar dari pendapat Gramsci, sastra hadir sebagai peluru yang efektif untuk menembus dan merefleksikan kondisi subaltern dalam masyarakat. Melalui narasi dan karakter yang dibangun dalam karya sastra, pembaca dapat memperoleh wawasan mendalam tentang pengalaman dan perjuangan kelompok yang terpinggirkan. Sastra berfungsi sebagai sarana untuk menyuarakan suara-suara bising yang sering kali dilenyapkan juga dikecualikan dari wacana dominan, memberikan ruang bagi eksplorasi masalah-masalah seperti ketidakadilan, penindasan, dan perlawanan. Dalam konteks ini, sastra muncul sebagai representasi cermin bagi realitas sosial yang kompleks, memperluas pemahaman kita tentang pengoperasian dinamika kekuasaan dan interaksi pada sudut-sudut tersempit ruang komunal.

Diah Ayu dan Maharani muncul untuk menjawab pertanyaan “untuk apa mereka hadir?” juga sebagai representasi perempuan subaltern yang melawan penindasan melalui ragam kekuatan mereka sendiri. Diah Ayu, sebagai juru masak yang terpinggirkan, menggunakan keahliannya dalam mengolah bumbu untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, menunjukkan bagaimana keterampilan dan pengetahuan dapat menjadi alat perlawanan bagi perempuan subaltern. Maharani, di sisi lain, mewakili generasi yang terinspirasi oleh sejarah untuk memahami dan mengatasi peran mereka dalam tatanan sosial.

Kedua tokoh ini menggarisbawahi bagaimana perempuan subaltern, meski tertekan dan terpinggirkan, tetap memiliki kemampuan untuk menciptakan perubahan dan menuntut hak mereka dalam struktur sosial yang tidak adil. Cerita ini menyajikan pandangan yang mendalam tentang bagaimana perempuan subaltern dapat berfungsi sebagai agen perubahan dalam konteks yang lebih luas.

Dalam pandangan beberapa ahli, perempuan subaltern adalah perempuan yang tidak dapat melawan karena hak-haknya telah ditindas. Tidak demikian, berbeda dengan penokohan dalam cerpen “Kutukan Dapur” karya Eka Kurniawan, Diah Ayu dan Maharani menunjukkan kemampuan untuk melakukan resistensi meskipun harus menghadapi berbagai tekanan. Diah Ayu, sebagai perempuan subaltern dalam cerita tersebut, tertekan oleh lingkungan kolonial yang menempatkannya pada posisi inferior, namun ia berhasil melakukan perlawanan dengan menggunakan keahliannya dalam memasak bumbu sebagai alat perjuangan melawan penindasan. 

Maharani, dari sudut lain, juga berperan sebagai perempuan subaltern yang merasa tertekan oleh situasi rumah tangga dan masyarakat, namun ia menanggapi keadaan tersebut dengan tekad untuk melakukan liberasi diri dari “kutukan dapur” melalui pemahaman dan strategi yang didapat dari sejarah Diah Ayu. Keduanya menunjukkan bagaimana perempuan subaltern dapat menghadapi marginalisasi dengan cara yang unik dan membangun kekuatan diri untuk mengatasi kesulitan, baik melalui perlawanan terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Diah Ayu menggunakan keterampilannya untuk melawan penindasan, sedangkan Maharani menggunakan pengetahuan sejarah untuk menanggapi dan mengubah posisinya dalam kehidupan sehari-hari.

Teman-teman yang kusayangi, Jika ditinjau kembali, agaknya aku terlalu berlebihan jika mengagung-agungkan sastra sedemikian rupa, apalagi menganggapnya sebagai puncak kebenaran. Sastra seharusnya disikapi sebagai produk ilmu pengetahuan dan kesenian yang dengannya suatu diskursus terjadi. Bukan sebagai dogma yang harus selalu diyakini kebenarannya. Namun, perihal menyampaikan adalah sebuah keharusan sastra. Kemunculannya harus bisa menggetarkan, memantik pikiran, dan memberi pertimbangan. Sastra sangat bisa didiskusikan, dikritisi, dipertanyakan kebenarannya.

Teman-teman tercinta, akhirnya kita sampai pada ujung ulasan, jika diantara kalian merasa tergugah, pastikan dan jangan kesampingkan untuk terus membaca, lalu sebar juga lawan, lawan segala bentuk persekusi dan penindasan, sebab segala bentuk penindasan layak dan halal untuk dimusnahkan. Musnahkan hingga di sudut-sudut tersempit yang bahkan tak bisa diakses dedemit. Sastra harus dan akan tetap melawan jika memang ajalnya adalah kekalahan, dan berjuang menegakkan martabatnya. Sekuat-kuatnya, semempan-mempannya.

Terima kasih sudah singgah dan membaca.

 

RIZAL FAUZAN

Kontributor LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: Adinda Malika T

 Rujukan:

  1. Kurniawan, Eka. Cinta Tak Ada Mati. Cinta Tak Ada Mati. Jakarta : Gramedia Pustaka, 2018.
  2. Chaucer’s Two Ways: The Pilgrimage Frame of The Canterbury Tales. Lawton, David. s.l. : Project Muse, 1987, Vol. Volume 9. 1949-0755.
  3. Rethinking the subaltern and the question of censorship in Gramsci’s Prison Notebooks. Green, Marcus. 2011, Postcolonial Studies , pp. Vol 14, Issue 4, 387-404.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *