Barangkali bukan sebuah apologi kalau ada manusia yang tak mengerti kelahiran sebuah hukum. Dalam artian makna dan arti kehidupan terutama yang namanya kelompok pinggiran atau kaum marjinal. Bagaimana tidak, masyarakat kini tidak lagi paham hukum untuk siapa, artinya realita sekarang mengopinikan di mana antara Justice dengan Law itu ibarat sebuah teori terpisah, padahal kalau ditinjau kelahirannya secara sederhana justru wujud hukum. Eksistensi hukum diakui kalau ada keadilan atau bila keadilan dirasakan. Menyimak berbagai fenomena belakangan ini ada satu dinamika di mana kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan mengalami degradasi, atau katakanlah rontoknya wibawa hukum. Apakah ada faktornya sehingga ada gejala seperti itu? tentu saja ada, karena ada teorinya.
PARADIGMA HUKUM, SEBUAH STIGMA
Sebuah wacana diplesetkan, andaikan ada definisi umum tentang hukum, pakar hukum dari Belanda bernama Van avel Dorn pasti akan kebingungan untuk memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian antara negara hukum dan negara kekuasaan, yaitu dalam realisasi dari pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Walaupun tidak ada di dunia ini yang secara “jantan” mengakui sebagai negara kekuasaan. Kenapa? karena diyakini bahwa suatu negara yang didasarkan pada kekuasaan tidak layak untuk hidup dan berkembang di alam yang serba terbuka dan global. Di mana antara negara satu dengan negara lain katakanlah bertetangga, sudah saling bersatu dalam berbagai aspek. Lalu kenapa masih ada yang mempraktikkan konsep kekuasaan dalam sebuah negara? barangkali kajian literaturnya lah yang mengonsep teori Ortodok di mana membenarkan dan mengimani sebuah teori yang mengemukakan bahwa hukum merupakan produk politik. Kalau dinamikanya seperti itu, dan masyarakat merasakan, adalah sebuah paradigma yang perlu dicermati dengan dasar pertanyaan “apa yang akan terjadi di kemudian hari?” Sejarahlah yang akan membuktikan.
Karl Houshofer ahli Geopolitik Jerman pernah berteori bahwa negara itu ibarat Culture, bisa lahir, berkembang, dan mati. Sepintas pemikiranya hanyalah sebatas retorika dan sulit untuk diterima dengan logika, tapi ketika mencoba untuk menyaksikan kehancuran, perpecahan di negara-negara lain, katakanlah runtuhnya Uni Soviet, krisis balkan, bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur ada timbul satu pertanyaan “itukah yang dinamakan kehidupan sebuah negara?” bila ya, lahirlah sebuah keyakinan bahwa negara itu memang hidup.
Mencermati dinamika seperti itu timbulah pertanyaan “apakah hukum juga seperti culture, seperti negara bisa lahir berkembang dan mati?” Perlu analisis lebih lanjut, tapi kalau kita beraksioma seperti di atas bahwa hukum merupakan produk politik, bisa jadi hukum pun bisa mati, dan hanya cara serta proses untuk matinya yang lain. Perlu digaris bawahi bahwa kematian sebuah hukum tidak seperti negara, yaitu cukup dengan pecah, hancur atau lahir kembali. Tapi kematian hukum terdapat banyak gambaran dan pertanyaan yang tidak lepas dari dinamika suatu negara, misalkan apakah mati berbarengan dengan kehancuran sebuah negara, atau mati karena praktisi yang menjalankanya? perlu pencarian yang lebih serius.
Gambaran di atas adalah dua paradigma kematian hukum yang tidak lepas dari peranan negara dan aparaturnya. Fenomena sekarang mendekati salah satu paradigma yaitu paradigma yang mengartikan kematian sebuah hukum karena para aktor atau praktisi yang menjalankan nya.
CIRI-CIRI KEMATIAN HUKUM
Selain banyak faktor yang mengantarkan hukum pada kematian, tentu ada ciri-ciri tertentu sebelum hukum itu “tewas”. Ciri-ciri dari kematian itu cukup banyak, salah satunya adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan/hukum, artinya secara psikologis masyarakat mempertanyakan independensinya. Timbulnya kesangsian dalam pola pikir masyarakat terhadap hukum, maka eksistensi hukum dalam kehidupan bermasyarakat pun tidak dirasakan keberadaanya. Dampaknya hukum sebagai lembaga, sebagai perangkat dari sebuah negara wibawanya mengalami degradasi atau ‘RONTOK’. Lebih jauh dengan rontoknya wibawa hukum tentu saja wibawa pemerintah pun ikut rontok. Apakah faktor yang menjadikan dinamika seperti itu, salah satu faktornya adalah karena dominannya kekuatan di luar hukum yang ikut campur dalam keputusan di pengadilan, kasus-kasus yang dominan untuk mewarnai putusan pengadilan biasanya bernuansa politis atau atas nama pembangunan, semisal penggusuran.
Masuknya kepentingan-kepentingan politis terhadap peradilan bisa dikatakan karena sistem yang mewadahi praktisi-praktisi hukum, yaitu memposisikan hakim (praktisi) pada dua sisi atau dualisme pertanggungjawaban, tapi kalau kita mau jujur faktor moralitas pun di sini merupakan tema utama. Diperjelas dualisme tersebut maksudnya bahwa para penentu keputusan bertanggung jawab pada dua wadah, yaitu di satu sisi dituntut independen dengan wadah Mahkamah Agungnya, di sisi lain bertanggung jawab pada menteri kehakiman. Hal tersebutlah yang dijadikan celah untuk menyelipkan kepentingan individu atau golongan yang berlindung di balik label negara, contohnya kasus gugatan Tempo.
Kembali ke permasalahan semula dengan pertanyaan terbalik “bisakah satu negara mati karena hukumnya mati?” Bisa, kalau ada revolusi hukum sistem dan posisi hukum belaka tapi lebih fundamental dan mendasar semisal dasar hukum, dan matinya hukum adalah ‘tewasnya’ negara, dan teori Houshofer kembali menjadi sebuah kenyataan tentu saja itu satu kondisi yang tidak diinginkan karena membangun sebuah peradaban itu tidak mudah dan perlu waktu yang tidak sedikit.
CATATAN AKHIR
Sejarah mencatat kelahiran Republik ini, dan sejarah pun akan terus mencatat untuk membuktikan pada manusia-manusia pasca generasi kita tentunya untuk diketahui dan dijadikan ajaran, bukankah sejarah itu sebuah ajaran moral?
Literatur tentang kematian sebuah negara di atas adalah catatan sejarah, ajaran moral kenapa kita tidak mau belajar dari sejarah apakah karena kita asyik dengan kehidupan, pembangunan atau karena sejarah mudah untuk di manipulasi.
Catatan tentang paradigma kematian hukum karena faktor praktisi yang tentu saja berkaitan dengan moralitas dan berhubungan dengan rasa keadilan masyarakat. Kepercayaan terhadap hukum yang mengalami degradasi menimbulkan rasa keterasingan akan keadilan, dampaknya masyarakat akan menentukan sendiri cara menghukum, timbulah bentuk main hukum sendiri, lebih jauh kesadaran hukum masyarakat terkikis oleh psikologi massa yang kecewa, dampaknya timbulah gerakan-gerakan kekecewaan yang berupa kerusuhan misalkan kasus 27 juli (1996-red), kasus Tasikmalaya (Kerusuhan Tasikmalaya 1996–red) dan sebagainya.
UJANG SUNDAWA
Alumni HI Unpas
Dieditori ulang oleh CANDRA OKTA AHMADI
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Jumpa Edisi.7 Tahun 1997