sumber: Media Indonesia

Saat itu, bertepatan pada tanggal 10 Februari 2024 tepatnya pasca sorak riang kampanye yang memberi euphoria dari seluruh elemen masyarakat maupun para pejabat, resmi usai. Mengapa demikian? merujuk pada Undang-Undang (UU) Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 1 angka 36, dijelaskan bahwasannya era kampanye partai politik memasuki tahap masa tenang. Dengan artian, masa tenang ini menjadi titik henti khususnya para calon presiden dan wakilnya mencari suara dukungan. Namun berbeda ketika hadirnya film dokumenter berjudul Dirty Vote yang diunggah pada tanggal 11 Februari yang merobohkan dinding keheningan. 

Huru-hara terjadi diantara orang dewasa, pemuda, dan juga saya; selaku mahasiswa. Sebab, sebagai bagian generasi Z yang memberikan sumbangsih perdana pada pemilu, saya cukup dipenuhi benak tanda-tanya, rasa penasaran dan kecurigaan akan adanya suatu fakta yang akan bermuara melalui visualisasi data. Tak heran, jika film berdurasi 1 jam 57 menit itu menuai berbagai pandangan dari kalangan masyarakat,  hingga tokoh berdaya intelektual. Tidak berhenti disitu, selang 2 hari setelah lepas tayang, tertera pada laman berita Tempo.co bahwasannya ketiga ahli akademisi beserta Sutradara Dirty Vote telah dilaporkan dengan dugaan fitnah, bahkan black campaign. Memangnya, apa yang dibahas sehingga memicu kekisruhan? 

Pork Barrel of Politics: Alih-Alih Netral Berujung Formalitas

Lain dulu lain sekarang, 24 Januari 2024 silam, masyarakat sempat dikejutkan dengan sebuah pernyataan dari Presiden Joko Widodo. Saat itu saya menonton sebuah video dari laman Tiktok @hanyauntk.mu, dengan mimik yang ekspresif ditemani background helikopter di belakangnya, “Presiden boleh loh, berkampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, yang terpenting kampanye tersebut tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” pungkasnya. Tetapi, berbanding terbalik dengan pernyataan Joko Widodo yang diunggah oleh akun yang sama @hanyauntk.mu bahwa pada l November 2023 Jokowi menginstruksikan untuk seluruh pemerintah daerah, kabupaten, kota sampai dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) agar memiliki sikap netral untuk pemilu. Lalu bagaimana jika seorang presiden melontarkan pernyataan bahwa dirinya boleh berkampanye? 

Pork Barrel atau ‘politik gentong babi’ ini dipahami sebagai cara berpolitik seorang politisi yang menggunakan uang dan fasilitas negara untuk digelontorkan ke daerah-daerah dengan tujuan bisa terpilih. Dengan runtut, film Dirty Vote di menit ke-44 memaparkan bagaimana politik gentong babi ini dilanggengkan oleh para menteri-menteri kabinet Joko Widodo, dua diantaranya ialah menteri Prabowo Subianto dan Mahfud MD yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024. Dalam konteks seseorang yang sedang berkompetisi, mereka boleh berkampanye, namun dengan persyaratan yang ketat; cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara dalam berkampanye. 

Dalam realitanya, melalui film tersebut ditayangkan beberapa pemberitaan dari awak media yang menginformasikan mengenai pelanggaran dalam berkampanye. Kategori pertama, pada situs IDN Times paslon bernomor urut 02 Prabowo Subianto kedapatan menggunakan pesawat TNI-AU milik negara dalam mengunjungi kota Padang yang mana saat itu bendera bergambar partai Gerindra ramai bertebaran menyapa kehadiran Prabowo, kegiatan  tersebut sudah jelas sebagai aktivitas kampanye, bukan aktivitas kementerian. Kategori kedua, tertera pada situs ANTARA, Angela Tanoesoedibjo wakil menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – yang masuk dalam tim kampanye paslon nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD- bahwa dirinya sedang melakukan aktivitas kampanye dan tidak diketahui apakah saat itu ia sedang cuti dalam tugas-tugasnya sebagai wakil Menteri atau tidak. Contoh lainnya, di laman Tempo.Co yakni Erick Thohir yang memberikan pernyataan bahwa dirinya tidak berencana mundur sebagai menteri BUMN ketika sedang berkampanye sebagai tim sukses untuk paslon nomor urut 02, Prabowo – Gibran

Sebetulnya, banyak menteri lainnya yang diduga melakukan kampanye terselubung. “Mengapa disebut terselubung, dikarenakan mereka tidak terdaftar secara resmi sebagai tim pendukung kampanye pada KPU (Komisi Pemilihan Umum),” ujar Zainal Arifin di Film Dirty Vote.

Sejalan dengan salah satu scene di film Dirty Vote, yakni media massa yang menunjukan dokumentasi perjamuan makan siang Jokowi bersama Prabowo dan juga jajaran menteri yang termasuk sebagai timses paslon nomor urut dua, menjadi tanda tanya akan sikap netralitas presiden Jokowi. Tidak berhenti disitu, indikasi adanya keberpihakan tersebut dirasakan secara langsung oleh saya. Rasa geram selalu menyelimuti saat perjalanan pulang saya, di daerah jalan Laswi bahkan tepat di pagar depan rumah, terlihat banyak baliho-poster sebagai bentuk kampanye para calon legislatif (Caleg) dari partai yang salah satunya berkoalisi dengan pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 02, yakni PSI. Tertera dengan jelas foto Caleg dengan background Joko Widodo  dan kedua anaknya, Kaesang dan Gibran. Hal itu cukup menjadi siasat  masyarakat secara tidak langsung untuk memilih Caleg tersebut dan turut mendukung kemenangan 02.

Ditambah lagi, ketika presiden memberikan pernyataan boleh berkampanye, Prabowo Subianto kedapatan berada dilokasi yang sama dengan Jokowi-berdiri berdampingan. Tak heran jika beberapa contoh tersebut menjadi keraguan dan pertanyaan saya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia terhadap netralitas seorang presiden.

Menanggapi hal tersebut, dalam konteks mempertanyakan dan mencari latar belakang alasan mengapa para menteri ini begitu berani dalam melakukan kampanye terselubung, apakah mungkin berawal dari seorang presiden yang tidak memiliki sikap netral dan memiliki keberpihakan dalam masa kampanye politik?

Pelanggaran Etika Pada Pemilu Tahun 2024

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 07 November 2023, resmi menjatuhkan sanksi teguran kepada ketua Mahkamah Konstitusi (MK)-Anwar Usman, tak lain juga seorang paman dari Cawapres, Gibran Rakabuming Raka. Ia dinyatakan terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik atas putusan batas usia Capres Cawapres. Ketika Anwar Usman diberikan sanksi etik berat dan diberhentikan sebagai ketua MK ternyata ia menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar jabatan ketua MK dikembalikan kepada dirinya. Cukup ironis.

Kala itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada  9 Maret 2023 mengajukan permohonan pengujian UU pemilu, tepatnya pasal 169 huruf q yang mengatur mengenai pembatasan usia minimal Capres-Cawapres yang berasal dari 40 berganti ke 35 tahun. Menurut saya, yang anehnya lagi ialah komposisi kepemimpinan PSI yang ternyata sempat diubah  ketika permohonan ini berjalan, Gibran yang semula diajukan menjadi Cawapres oleh PSI diubah ketuanya menjadi adik Gibran, yakni Kaesang. 

Dalam proses keputusan kelolosan Gibran menjadi Cawapres pun tak jauh dengan peran dan juga keberadaan para jajaran hakim MK yang mengesahkannya.  Naas, dengan perseteruan dan bentuk penyalahgunaan jabatan Anwar Usman selaku paman dan terkhususnya ketua MK, ia menyetujui putusan ini. Entah bagaimana proses hukum yang sebetulnya terjadi saat itu, di pukul 15:27 tanggal 25 Oktober 2023 Gibran lolos pada kualifikasi Cawapres dan resmi mendaftar menjadi pasangan Prabowo-Gibran ke KPU.

Fenomena yang terjadi pada MK  inilah yang membuat media massa nasional  menyimpulkan bahwa Gibran Rakabuming Raka, adalah ‘anak haram konstitusi’ karena Ia lahir atas pelanggaran konstitusi. Dengan itu, disimpulkan bahwa persaingan politik, perebutan kekuasaan dan desain kecurangan yang telah disusun bersama ini pada akhirnya akan jatuh ke satu pihak, yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan yang mana ia bisa menggerakan aparatur negara (presiden). 

“Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya. Karena itu, untuk menyusun dan menyelenggarakan skenario ‘kotor’ tidak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan hanya dua; mental culas dan tahan malu,” dua penggalan kalimat Bivitri Susanti pada penutupan film Dirty Vote.

Kondisi Demokrasi dan Pernyataan Sikap Institusi 

Film Dirty Vote, memunculkan perdebatan dan beragam tanggapan dari masyarakat. Pendapat yang pertama, sebagai sebuah kritik yang disajikan secara visual. Mereka meyakini bahwa film ini membuka mata masyarakat terhadap berbagai kekurangan dan keburukan dalam sistem politik dan demokrasi yang ada. Dapat disimpulkan, film ini ialah sebuah bentuk ekspresi kebebasan berpendapat dan memiliki nilai-nilai positif dalam membangun kesadaran politik masyarakat. Namun, disisi lain, ada juga pendapat yang menolak dengan alasan bahwa film ini hanya menggiring opini publik dan memanipulasi fakta untuk kepentingan tertentu. Mereka merasa bahwa film Dirty Vote hanyalah sebuah alat propaganda yang digunakan untuk menjatuhkan popularitas salah satu pasangan calon.

Salah satunya terjadi pada unggahan Kompas TV di kanal YouTube-nya mengenai bagaimana tanggapan tokoh politik; Ma’ruf Amin dan Jusuf Kalla mengenai film tersebut. Ketika saya melihat kolom komentar, ada hal unik yang membuat saya sangat terpantik untuk menelusuri tanggapan masyarakat lainnya,contohnya adalah komentar dari akun @JulioReg-ip6ex, “Ini lagi tua-tua bukan nyaranin yang baik, malah bikin kompor demokrasi. Otaknya geser,” disusuli oleh akun @aligafur649, “Film Dirty Vote engga laku bos. 02 satu putaran,” ungkapnya. Terkait komentar-komentar tersebut, terlihat bahwa terdapat polarisasi dalam persepsi. Mereka merasa bahwa film ini tidak memenuhi standar objektivitas dan keadilan dalam menyajikan informasi, sehingga diragukan keabsahan dan tujuan dari konten yang disampaikan.

Indonesia memang di amini sebagai negara yang menganut nilai demokrasi dan Dirty Vote menjadi salah satu medium yang berhasil membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat, ruang kritik yang diiringi berbagai tuaian menandai demokrasi masih menjadi bagian didalamnya; kebebasan untuk berpendapat. Namun, demokrasi bukanlah serta merta menyoal kebebasan berpendapat, lebih dari itu, demokrasi perlu pengambilan keputusan yang inklusif dan adil. Sebab dalam 25 tahun perjalanannya, nyatanya demokrasi di Indonesia telah mengalami degradasi dalam beberapa peristiwa.

Bermula pada tahun 2020 saat Joko Widodo mulai membantu anak dan menantunya menduduki posisi kepala daerah, sampai tingkat wali kota. Ia juga membantu anak bungsunya mengambil alih posisi kepemimpinan di PSI pada tahun 2023. Tak berhenti disitu, rekayasa hukum dan politik silih tindih dalam meloloskan putra sulungnya, Gibran yang baru dua tahun menjadi Wali Kota Solo agar lolos menjadi Cawapres.

Dari situlah gerakan-gerakan anti nepotisme mulai dilakukan oleh kalangan aktivis HAM dan jajaran mahasiswa, bahkan institusi kampus pun turut andil dalam menyuarakan gerakan ini. Menandakan bahwa betapa pentingnya perlawanan terhadap praktik-praktik perusak integritas demokrasi yang tengah dilakukan oleh rezim Joko Widodo. Suara-suara keprihatinan yang digaungkan oleh institusi; ahli akademisi sampai guru besar mengenai runtuhnya demokrasi terus membahana dari satu kampus ke kampus lainnya, menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan Jokowi tidak sesuai dengan etika dan moral politik yang terkandung dalam Pancasila. 

PRITA STANIA AGUSTINA

Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: ADINDA MALIKA


Daftar Referensi:

Andryanto, S. D. (2024, Februari 14). Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1833391/pelaporan-3-pakar-hukum-dan-sutradara-dirty-vote-ke-polisi-bambang-widjojanto-bentuk-kriminalisasi

Kompas TV. (n.d.). Retrieved from https://youtu.be/t-tizeIkWIE?si=xKRwQjTo95amI39X

Tempo.Co. (2024, Februari 2). Retrieved from https://bisnis.tempo.co/read/1828763/kampanye-untuk-prabowo-gibran-erick-thohir-tidak-berencana-mundur-sebagai-menteri-bumn

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *