Potret warga sedang mengepalkan tangan sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama buruh pada Rabu, 1 Mei 2024 di Taman Cikapayang Bandung. (Kinanti Rosnendah Takaria/JUMPAONLINE)

Pada Rabu, 1 Mei 2024 bertempat di Taman Cikapayang Bandung, menjadi saksi kala para buruh mengungkapkan keluh kesah yang sudah mereka pendam dalam waktu yang cukup panjang. Teriknya panas matahari telah menjalar ke seluruh tubuh. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk meluapkan opini masing-masing. Kehangatan menyeruak dari taman itu. Suara riuh orasi perlahan membangkitkan semangat para aksi buruh.

Dari sudut pandang Enis, seorang tenaga kebersihan di Universitas Padjajaran, Hari Buruh merupakan momen untuk menunjukkan rasa kebersamaan diantara masyarakat. Mereka bisa saling bercengkrama bersama para buruh dengan kondisi serupa. Menurutnya, semua buruh perlu memperoleh hak-haknya sebagai pekerja, para buruh juga tentunya harus memiliki kehidupan dengan upah yang layak dalam artian setara dengan beban kerja yang didapatkan.

Tak lama setelah beberapa buruh selesai mengutarakan kegundahannya masing-masing, kini  seorang pembicara lain berdiri di tengah mereka. Tangannya menggenggam mikrofon erat-erat.  Ia adalah  Zara Syamsi, seorang perwakilan dari sebuah organisasi ternama di Kota Bandung, Simpulpuan.

Zara menyampaikan bahwa 95% pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Pekerja informal bukan pekerja tetap atau tidak berada dalam produksi yang tetap, seperti  bisnis UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang omsetnya kurang dari 10 Milyar per tahun. 

“Kebanyakan dari mereka merupakan perempuan karena di pabrik-pabrik. Misal di perusahaan outsourcing kebanyakan hiring laki-laki,” tutur Zara. 

Menurutnya, hal itu dapat terjadi karena laki-laki tidak membutuhkan cuti haid, cuti hamil, dan tidak merasakan penyakit setelah melahirkan, lanjutnya. Perempuan tidak menjadi pekerja ideal untuk produksi terus-menerus. Padahal, profit margin perusahaan besar sangat cukup untuk mempekerjakan orang dengan shift dan gaji yang ideal.

Zara juga menambahkan, bahwasannya menjadi seorang pekerja perempuan tidaklah mudah. Mereka harus dibayang-bayangi oleh predator pelecehan yang berkeliaran, bahkan di lingkungan tempat kerja. Pelecehan itu tidak pernah keluar dari internal perusahaan, melainkan hanya diselesaikan secara mediasi antara korban, pelaku, dan HRD. 

Dalam RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), perusahaan perlu menjaga persoalan pelecehan verbal dan fisik yang terjadi. Namun, perusahaan tetap harus menghormati korban pelecehan dengan tidak membiarkan pelaku masih berada di sekitaran korban. 

“Candaan-candaan ringan yang tidak senonoh kerap terjadi kepada para pekerja perempuan. Mirisnya, orang lain malah menganggap pihak perempuan sebagai pihak yang terlalu ambil hati, atau baperan dalam menerima ‘candaan’ itu,” pungkasnya.

Penulis dan Fotografer: NIPA RIANTI NUR R. D. & KINANTI ROSNENDAH TAKARIA

Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: PRITA STANIA A

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *