Sumber: pinterest.com (Supawadee Noknatephan Juliusson)

“Nirmala, hidup itu perihal menyambut dan kehilangan” 

Langit tampak cerah tidak seperti kemarin, Nirmala, seperti biasa menyelinap dari rumahnya hanya untuk melihat sang pujaan hati yaitu Tunggul Ametung yang ditemani oleh sahabatnya Sri.

“Nirmala, apa kau tidak lelah terus mengikuti Tunggul Ametung?” Tanya Sri pada Nirmala. 

“Ah… Sri, mengapa kamu berkata seperti itu? Tentu saja aku tidak pernah bosan, kau tahu kan bahwa aku sudah lama mengaguminya” Jawab Nirmala seraya berjalan menjauh. “Nir, itu namanya bukan kagum, bilang saja kamu suka pada Tunggul Ametung” 

Nirmala hanya terdiam mendengar penuturan Sri, aku memang mencintai nya tapi cinta ini sangat angkuh batin Nirmala. Dengan ekspresi sedih Nirmala pun pergi meninggalkan Sri yang masih terus mengoceh tentang Tunggul Ametung.

Sesampainya di rumah, Nirmala bergegas pergi ke kamar nya tanpa memperdulikan sang Ibu yang hendak berbicara padanya, Ibu nya berkata, “NakApa kamu masih mengharapkan sosok agung itu? Ingat nak kita hanya rakyat biasa, cintamu tidak mungkin bisa terkabul,” Nirmala menjawab “Ibu Aku Tau… tapi apa tidak bisa aku berjuang terlebih dahulu? Nirmala pun pergi dan mengunci pintunya tanpa menoleh sedikit pun.” 

Malam tiba dan di sinilah Nirmala masih terdiam memikirkan ucapan sang Ibu dan juga Sri– sahabatnya. “Jika memang aku bukan jodoh yang mulia aku berharap ditampar oleh kenyataan yang ada agar tidak berharap dan menjadi orang bodoh,” harap Nirmala sebelum akhirnya dia tertidur.

Malam berganti pagi, suara kokok ayam terdengar hingga telinga Nirmala. Ia pun terbangun tepat pada pukul empat, lalu bergegas untuk mandi dan membantu sang Ibu berjualan di pasar. Nirmala dan Ibunya adalah seorang pedagang buah dan sayuran di wilayah Tumapel, wilayah yang luar biasa indah dan kaya akan sumber haranya. 

“Ibu mari bersiap, jika kita tidak cepat nanti tempat berdagang kita bisa diambil orang lain,” ujar Nirmala seraya menarik tangan sang ibu. “Ya ampun nak, pelanlah sedikit. Ibumu ini sudah tua dan sudah tidak sanggup berlari,” balas ibu Nirmala sambil menasehatinya. 

Sesampainya Nirmala dan sang ibu di pasar, Nirmala dengan tergesa-gesa menata dagangan yang akan ia jual dan mulai bersiap untuk berjualan. “Nirmala!” Seru seseorang, “Oh Dimas! Lama tidak berjumpa, bagaimana kabarmu?” Tanya Nirmala pada Dimas. “Kabarku baik Nirmala, bagaimana denganmu, apa kamu masih menyukai yang mulia Tunggul Ametung?” Tanya Dimas. “Kau tahu kan, aku akan selalu menyukainya,” ujar Nirmala yang sekarang sedang terduduk. ”Nir, terkadang kamu itu harus melihat orang lain yang menyukaimu juga.” Nasihat Dimas ini ada benarnya juga tetapi Nirmala tetap berucap, “Memangnya ada ya orang yang suka sama aku? Aku kan jelek, hitam, dan tidak secantik Ken Dedes itu.” Percakapan pun terhenti, Dimas tidak berani menyampaikan apapun lagi, mungkin dia juga tersadar bahwa Nirmala sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, Nirmala tidak tahu bahwa yang diucapkan oleh Dimas itu benar. Setelah Nirmala selesai berjualan dan pamit pada Dimas, Nirmala pun bergegas untuk pulang. 

Sesampainya di rumah Nirmala dikejutkan oleh sebuah surat yang ada di depan rumahnya, surat dari siapa ini? Kenapa ada di depan rumah ku? Pikirnya. Tanpa pikir Panjang, Nirmala langsung membuka surat itu di kamarnya, Nirmala terkejut dengan isi surat itu. Dalam surat itu menyatakan bahwa akan diadakan sebuah pesta di Kerajaan Tumapel dan pesta ini bisa dihadiri oleh rakyat biasa. “Wah ini sangat luar biasa, akhirnya aku bisa melihat Tunggul Ametung lebih dekat” ucapnya sambil tertawa. Nirmala sangat bersemangat dengan pesta yang akan dihadirinya bahkan, Nirmala menyiapkan baju terbaiknya dan juga berdandan secantik mungkin. 

“Sri! Menurutmu baju mana yang paling bagus?” 

“Kenapa kamu sangat bersemangat Nirmala, memangnya Tunggul Ametung akan melirik dirimu?”

“Mungkin saja kan Sri, tidak ada yang tahu dengan takdir kan” 

“Nirmala, kamu tidak tahu ya, Tunggul Ametung itu mencintai Ken Dedes” 

Nirmala terdiam dengan raut wajah sedih, dia berpikir, mengapa Sri berbicara hal yang membuat hatinya sakit. Seharusnya Sri sebagai sahabat mendukung Nirmala. “Aku tau Sri, mana mungkin Tunggul Ametung menyukaiku, langit itu harus dipandang sebagai langit, mana boleh ingin memeluknya” 

“Nirmala, maaf aku tidak bermaksud seperti itu,” ujar Sri dengan raut menyesal. “Aku tau kok kamu tidak bermaksud begitu, lagi pula dengan melihat dia bahagia pun aku senang,” ucap Nirmala seraya melipat pakaian yang akan dikenakannya.

Hari perayaan pesta pun tiba, Nirmala datang dengan dress putih dengan sepatu hitam yang biasa dia pakai saat berjualan. Nirmala datang dengan Sri dan Dimas, “Nirmala, aku akan pergi ke Joko Terlebih dahulu, kamu sama Dimas dulu ya,” ujar Sri. Joko adalah kekasih Sri, dalam sudut pandang Nirmala, Joko itu sangat menyebalkan karena memberitahu Tunggul Ametung bahwa Nirmala menyukainya karena dia dan Tunggul Ametung adalah seorang akuwu (camat), jadi mereka sering bersama. 

“Iya Sri silahkan saja, hati-hati,” ucap Nirmala. “Kamu tidak ingin menari Nirmala? Tunggul Ametung ada di altar sana,” tanya Dimas pada Nirmala. “Ah sepertinya tidak, aku akan diam di sini saja, kamu menari saja Dimas. Lihat banyak wanita yang ingin mengajakmu menari,” balas Nirmala. Dimas Pun pergi dengan terpaksa. Dimas sangat terkenal ya pikirnya.

Acara puncak pun hadir, di mana Ken Dedes sedang diperebutkan oleh Tunggul Ametung dan Ken Arok untuk menari Bersama, rayuan demi rayuan dilontarkan terhadapnya, tapi Ken Dedes pun akhirnya luluh dan menerima ajakan untuk menari bersama Tunggul Ametung. Nirmala terdiam, melihat pemandangan yang membuat hatinya itu tersayat, akan tetapi, dia ingat bahwa dia ini bukan siapa-siapa baginya dan tidak berhak memisahkan dua emas yang mencoba untuk bersatu. Nirmala pikir dia hanyalah kotoran yang menempel pada perhiasan emas. Tak terima, Nirmala berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan pesta dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, ia pulang ke rumahnya dan langsung masuk menuju kamarnya tanpa memperdulikan sang Ibu yang berteriak menanyakan alasan dia menangis. 

Pagi pun tiba, tanpa sadar Nirmala tertidur dan melihat ke arah cermin, melihat wajahnya sembab sehabis menangis tadi malam. Saat Nirmala keluar kamar, dia mendapat kabar yang membuatnya terguncang bahwa Tunggul Ametung dan Ken Arok akan pergi menyelamatkan Ken Dedes yang diculik oleh Kerajaan lain. Nirmala terdiam membeku sembari berucap “untuk apa Tunggul Ametung ikut pergi? bukannya Ken Dedes menyukai Ken Arok? Kenapa? Kenapa kisah cintanya sangat menyedihkan? Nirmala terduduk lemas, sekarang ia akan merelakan Tunggul Ametung untuk pergi ke pelukan Ken Dedes.

“Nirmala, jangan bersedih,” ucap Dimas yang datang ke rumah Nirmala karena khawatir, “Aku Tidak apa-apa Dimas, terima kasih untuk semuanya,” ucap Nirmala seraya tersenyum manis ke arah Dimas yang memalingkan wajahnya. Tak lama dari percakapan itu, Nirmala memutuskan untuk pergi ke hutan sendiri guna mendinginkan pikirannya, tentu saja Dimas melarang karena khawatir dengan kondisi Nirmala. Tapi Nirmala bersikukuh pada pendiriannya.

Sesampainya di hutan, entah takdir apa yang sedang mempermainkannya, tapi dia melihat Tunggul Ametung di hutan itu. Saat Nirmala ingin berbalik, dia melihat Ken Dedes yang sedang ditahan oleh seorang prajurit, lalu tanpa pikir Panjang, Nirmala berlari dan mendorong Ken Dedes, sehingga keris yang akan di lempar pada Ken Dedes malah tertancap tepat di dada Nirmala. Nirmala terjatuh dengan

lemas sembari menatap ke arah Tunggul Ametung dan berkata, “yang mulia aku selalu mencintaimu dengan tulus, aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu. Kau lelaki yang paling ku cintai, sekarang atau pun di masa depan. Semoga di kehidupan yang baru, masa depan nanti, aku bisa menjadi kekasih yang bisa kau cintai.” Nirmala pun menghembuskan nafasnya dalam keadaan bersimbah darah dengan bibir yang tersenyum. 

Dimas khawatir dan mulai mencari Nirmala, karena ia menerima pesan dari Ibu Nirmala, bahwa dia belum pulang sejak dia masuk ke hutan. Ia melihat Nirmala yang sudah terkapar dan bersimbah darah. Ia pun berlari secepat mungkin dan merebut paksa tubuh Nirmala dari Tunggul Ametung. “Nir! Nirmala!” Teriaknya sambil mengguncangkan tubuh kaku Nirmala. “Dunia takkan jadi lemah hanya karena kau menangis, jadi menangislah,” ujar Ken Arok pada Dimas. “TIDAK! TIDAK! TIDAK BOLEH, jangan tinggalkan saya Nirmala. Saya selalu mencintai kamu Nirmala…” Pekikan tangis pilu dari Dimas membawa hadirnya hujan deras seperti pertanda bahwa langit pun turut menggemakan kesedihannya atas kepergian Nirmala. 

Pemakaman diadakan secara terbuka sebagai penghormatan bagi sosok pemberani ‘Sang Surya Manis Nirmala’. Dimas berkata sambil memandang tempat peristirahatan terakhirnya, “Nirmala pada akhirnya Tunggul Ametung tidak menikah dengan Ken Dedes”. Pada akhirnya, cinta yang datang di tanah Tumapel ini berakhir tragis untuk segala pihak.

 

DINDA MAHARANI

Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor : DONI SETIAWAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *