Sumber: pinterest.com
“Sialan si Broto! Udah dibilangin jangan dikeluarin di dalem, malah disengajain!”
Dengan nafas yang terengah-engah, Marni masuk ke dalam bilik kamar berukuran 3×3 meter. Kamar dengan pencahayaan remang-remang dan didalamnya hanya terdapat kasur kapuk yang sudah lusuh dan satu lemari kayu bobrok dengan cermin di depannya. Sri yang sedang menggunakan lipstik sontak terkejut dengan suara misuh-misuh Marni yang bergema memenuhi kamar.
“Sok-sokan bilang sayang lah. Najis! Iya sekarang sih sayang, ntar kalo buahnya jadi, pasti ninggalin juga dia,” tambah Marni dengan emosi. Marni mengkhawatirkan biji di dalam tubuhnya yang bisa saja menjadi jabang.
“Mbok yo tenang Marni, jangan emosi, minum dulu jamunya nih, keburu jadi buahnya, ntar berabe,” Sri memberikan botol berwarna coklat berisi minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi di mulut Marni. Marni meminum jamu tersebut dan meletakkan botolnya di samping tempat tidur.
Marni meluapkan semua keluh kesahnya yang selama ini merasa hidupnya jauh lebih menderita dari tikus yang selalu berkeliaran di bawah tempat tidurnya. Setidaknya tikus ini selalu bisa mencari jalan keluar seberapa rapatnya pintu kamar dikunci.
Selama ini Marni terpenjara dalam pelukan Broto yang berselimutkan birahi. Tak tahan dengan ini semua, terbesit sebuah pikiran dibenaknya untuk keluar dari penjara ini.
“Gimana mau tenang, setiap kali dia datang pasti selalu aku ingetin, dan setiap datang juga pasti dia lupa. Kalo aku bininya sih nggak masalah. Pokoknya bulan depan, kalau hutang kita sudah lunas, kita harus langsung cabut dari tempat ini,” Marni mengutarakan pikirannya kepada Sri.
“Terus nanti kita mau tinggal di mana? Sudah untung di sini kita nggak perlu bayar kontrakan, makan juga disedian, nggak perlu keluar duit, yang ada malah kita yang dikasih duit,” balas Sri yang tidak habis pikir dengan ucapan rekannya yang seolah tidak bertanggung jawab.
“Ya memang benar kita dapat duit, tapi mau sampai kapan kita kerja kaya gini?” tampik Marni.
“Heh, memang kamu kira cari kerja di luar itu gampang? Kalau berpendidikan sih mending bisa jadi guru, kalau bisa masak bisa buka warung, kalau bisa bersih-bersih bisa jadi pembantu, kalau kamu kan nggak punya semua, ya jadi pakailah badan kamu itu,” Sri menceramahi Marni.
Sri meragukan keputusan rekannya yang ingin keluar, walaupun ia sama menderitanya dengan Marni, namun ia berpikir jauh lebih realistis. Menurutnya perempuan yang tidak memiliki pendidikan, keahlian dan uang sepertinya tidak akan bertahan di luar sana. Satu-satunya yang ia punya saat ini hanyalah tubuhnya, jadi inilah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup.
“Benar sih kalau nggak punya apa-apa, mau gak mau harus pakai badan. Tapi kenapa kita harus jadi pelayan gairah? Laki-laki pakai badannya di pasar tapi kenapa perempuan pakai badannya di kamar? Lagian selain dada dan selangkangan, kita kan sama,” emosi Marni kembali meluap.
Ia tak bisa menerima diskriminasi yang didapat hanya karena menjadi seorang perempuan. Bagaimana bisa perempuan hanya boleh menggunakan tubuhnya sekaligus membentuk kehidupan baru di dalam kamar? Membentuknya memang berdua, tapi saat menyambut kehidupan baru, hanya perempuan yang terkapar sendirian di atas ranjang.
Marni berpikir mungkin akan lebih baik jika ia hidup sebagai kuda laut. Sehingga nanti laki-laki yang harus melahirkan dan ia bisa bebas melakukan kehidupannya.
“Ya mana ku tahu. Mungkin memang kehendak tuhan,” jawab Sri.
“Mana ada yang kaya gitu? Kehendak tuan kali!” balas Marni.
“Benar sih, kita kan nggak kenal yang namanya tuhan. Kita kenalnya tuan. Soalnya rezeki kita yang kasih tuan, tempat tinggal kita juga yang kasih tuan. Aduh kiamat deh kalau kaya gini, sudah berapa lama kita nggak ingat tuhan,” pungkas Sri.
Sri jadi teringat tentang keberadaan tuhan yang telah lama ia lupakan. Wajar saja menurutnya, selama ini ia hanya melakukan zina, tapi mau bagaimana lagi? Ia juga harus melanjutkan kehidupannya, walau sebenarnya ia pun tidak merasa hidup di tempat ini.
“Makanya aku ajak kamu buat cepat-cepat keluar dari tempat ini. Ingat kita ini makhluk tuhan, bukan makhluk tuan,” Marni mengingatkan Sri.
“Kalau memang mau keluar, ya kita buat rencana dulu lah. Kita mau kerja dimana, tinggal dimana, makan apa, kalau semuanya sudah jelas baru kita keluar. Kalau kita keluar tanpa persiapan, sama saja bunuh diri kita,” Sri yang memang sama menderitanya mulai tertarik dengan gagasan yang dibuat Marni.
“Siapa bilang aku nggak punya rencana? Nanti begitu di luar aku bakal cari tempat kursus buat jadi arsitek, terus aku bangun istana buat perempuan-perempuan yang bernasib sama kaya kita,” bual Marni.
Marni mengungkapkan impiannya yang selama ini terpendam. Ia memimpikan bagaimana membuat sebuah istana di mana perempuan-perempuan yang bernasib sama dengannya bisa hidup bebas dan memberi keamanan untuk mereka semua.
“Marni … Marni. Kamu mau cari kursus jadi arsitek, biayanya dari mana? Sok-sokan jadi arsitek, udah lah kamu nggak perlu punya cita-cita yang tinggi-tinggi. Lebih baik cari lelaki mapan, kawin, terus hidup tenang jaga anak di rumah. Nggak perlu repot ini itu, biar suamimu saja yang cari duit,” Sri meragukan rencana yang dibuat Marni.
Bagaimana mereka bisa membiayai kursus padahal untuk makan sehari-hari pun mereka masih kesusahan. Ia berpikir lebih baik menjadi istri sah seorang pria mapan setelah keluar dari tempat ini. Setidaknya ia tidak perlu menjadi simpanan si Broto yang tidak tentu masa depannya seperti sekarang ini.
“Aduh Sri, kalau kaya gitu, apa bedanya dengan kita tinggal di sini. Sama-sama jadi makhluk tuan yang kerjanya di kamar. Lagi pula, memang cuma lelaki yang bisa kerja? Memang cuma lelaki yang boleh punya cita-cita yang tinggi? Kita perempuan juga bisa. Aku kan sudah bilang, selain dada dan selangkangan, kita itu sama. Kalau mereka bisa kerja, kita juga bisa. Kalau mereka bisa punya cita-cita, kita juga bisa!” cerocos Marni.
Pemikiran Sri tidak bisa diterima oleh Marni. Pemikiran itu sama saja seperti keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya pikirnya. Ujung-ujungnya mereka pasti sama saja akan dibuatkan penjara tempat pemuas birahi.
“Terus kalau kamu sudah jadi arsitek, pasti nanti juga butuh lelaki kan buat membangun istananya,” Sri mempertanyakan keyakinan Marni yang sedari tadi menyatakan perempuan dan laki-laki itu sama, kecuali anggota tubuh tertentu.
“Aku kan nggak bilang kalau tidak butuh lelaki, aku bilangnya kita ini punya hak yang sama. Kita ini bukan makhluk tuan, tapi makhluk tuhan” Marni mencoba mengklarifikasi ucapannya pada Sri.
Marni tidak pernah berpikir bahwa ia tidak membutuhkan laki-laki, ia hanya meminta hak yang sama dengan apa yang dimiliki laki-laki. Apalagi ia juga menekankan bahwa perempuan adalah manusia merdeka yang diciptakan oleh tuhan, sama seperti laki-laki. Tapi mengapa hidupnya selama ini selalu saja hanya menjadi budak milik laki-laki. Ia bahkan sering dilema dengan keberadaanya sebagai manusia, apa ia diciptakan oleh tuhan untuk menyembahnya, atau ia diciptakan untuk menyembah laki-laki?
“Aku juga kan cuma mengingatkan, kenyataannya kita sebagai perempuan itu hanya makhluk tuan. Lihat saja kita sekarang, cuma bisanya ngemut dan goyang mengikuti apa kata tuan, kalau kita melawan, bonyok wajah kita, terus kita cuma bisa bilang mohon maaf tuan. Berarti kan benar kita ini makhluk tuan, tadi saja kamu diam waktu si Broto keluarin di dalam. Benar kan kamu juga makhluk tuan,” Sri menjabarkan kenyataan pahit yang mereka alami. Hidup sebagai perempuan simpanan tuan.
Penjabaran Sri membuat amarah Marni kembali meluap. Diingatkan tentang kejadian yang baru saja terjadi membuatnya semakin terpacu untuk meninggalkan penjara ini.
Ini terakhir kali aku diperalat si Broto, setelah ini kalau dia keluar di dalam lagi, langsung bakal aku tendang itu burungnya. Bodo amat mau dia bunuh aku sekalipun, aku sudah muak sama perlakuannya, pikir Marni dalam hatinya.
“Terserahlah, aku sudah ingatkan kamu. Kalau kamu bersikeras silahkan saja, kalau aku sih masih mau tetap di sini” ucap Sri yang belum siap untuk keluar.
Sri tidak ingin mengambil keputusan yang tidak jelas arahnya. Mereka mungkin bisa saja jauh lebih menderita diluar sana ketimbang di tempat ini.
“Kamu tenang saja, nanti setelah aku berhasil di luar sana, aku keluarkan kamu dan perempuan lainnya. Akan aku bawa kalian ke tempat suci supaya kalian ingat kalau kita, perempuan, itu makhluk tuhan,” Marni memberikan janji kepada Sri yang ia pun tahu akan sulit menepatinya.
“Iya, iya, aku tunggu. Sudah ya, aku sudah ditunggu sang tuan,” Sri keluar ruangan meninggalkan Marni.
Marni dipenuhi perang batin. Ia sudah sangat menderita hidup sebagai perempuan simpanan Broto. Tapi ia juga merasa tidak yakin untuk keluar meninggalkan penjara ini.
Tuhan, berikanlah aku jawaban dengan apa yang harus aku lakukan. Mohon maaf aku telah melupakanmu selama ini, namun kali ini aku benar-benar ingin kembali menjadi makhluk suci yang telah kau ciptakan.
Tidak lama kemudian Marni mendengar suara gelas pecah, lalu terdengar suara bantingan benda keras ke dinding yang dibarengi teriakan dari Sri.
“Mohon maaf tuan, saya tidak sengaja. Aaakkk, saya mohon maaf tuan,” teriak Sri.
Marni yang kaget mendengar tangisan Sri langsung mengambil botol jamu yang ada di samping tempat tidur dan keluar ruangan menghampiri Sri.
Tuhan tolong maafkan juga temanku ini. Tolong selamatkan dia dari jeratan Tuan ini.
CANDRA OKTA AHMADI
Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: DONI SETIAWAN