Sumber: homecare24.id

Sejatinya kita hampir melupakan identitas bangsa kita sendiri. Mayoritas dari bangsa kita terlanjur jatuh cinta pada budaya asing. Sayangnya, cinta tersebut rupanya buta. Budaya asing diambil tanpa disaring terlebih dahulu, menyusup ke dalam budaya kita, hingga akhirnya mengambil rupa sebagai identitas palsu bangsa kita sendiri, sementara mayoritas kita masih tidak sadar dan tidak juga peduli.

Bahasa, sebagai salah satu unsur inti kebudayaan tentu memiliki peranan yang cukup krusial dalam proses terbentuknya identitas suatu bangsa. Bisa dikatakan, bahwa kebudayaan manusia tidak akan terbentuk tanpa adanya bahasa, karena bahasa adalah salah satu faktor penentu terbentuknya kebudayaan. Ringkas kata, kebudayaan dan bahasa adalah dua hal yang sangat berkaitan erat.

Memang, masuknya bahasa asing ke Nusantara bukanlah hal yang baru. Bangsa kita telah mengenal beberapa bahasa lain selain bahasa kita sendiri di masa lampau. (Ulfa, 2019: 198). Bahasa Belanda dan bahasa Jepang adalah salah satu contohnya. Beberapa kosakata bahkan ada yang diserap dari kedua bahasa tersebut, seperti kata kulkas dan tsunami.

Namun, infiltrasi budaya asing di masa sekarang ini, khususnya dalam aspek bahasa, berlangsung secara massif. Bila hal tersebut disajikan bersama fakta terkait kurangnya kecintaan bangsa kita terhadap tanah air sendiri, dan juga kecintaannya terhadap tanah air orang lain, maka lengkaplah hidangan bertemakan krisis identitas, yang akan menjadi santapan kita sehari-hari di masa mendatang.

Kita lebih condong menggunakan kata “gadget” ketimbang “gawai”. Kita lebih menyukai kata “selfi” daripada “swafoto”. Kata “saltik/salah ketik” pun dianaktirikan, masyarakat cenderung memakai kata “typo”. Penggunaan kata “online” dan “offline” juga lebih marak digunakan daripada kata “daring” dan “luring”. Dari hal-hal kecil semacam ini, kita bisa mendapat gambaran, sudah sampai sejauh mana infiltrasi bahasa asing berdampak ke bahasa nasional negara kita.

Itu baru dampak ke bahasa nasional tanah air kita, lalu bagaimana dampak infiltrasi bahasa asing ke bahasa daerah? Pertama-tama kita perlu membuka mata terlebih dahulu, lihat sekeliling kita, berapa banyak orang tua yang mengajarkan bahasa daerah ke anak-anaknya? Lalu, berapa banyak lembaga-lembaga pendidikan yang masih mengajarkan bahasa daerah ke anak didiknya? Terakhir, seberapa sering bahasa daerah dipakai dalam percakapan sehari-hari atau situasi non-formal? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu bisa kita pakai untuk merefleksikan seberapa tinggi kita menghargai budaya negeri kita sendiri.

Kenyataannya, kini tembok yang membatasi antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mulai retak. Bahasa daerah yang seharusnya digunakan dalam situasi nonformal, malah digantikan perannya oleh bahasa Indonesia. Contohnya, sekarang ini banyak keluarga muda suku jawa yang berbicara kepada anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Tidak sedikit juga sekolah yang sebenarnya bukan sekolah internasional, namun lebih menekankan bahasa Inggris untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, ataupun dalam percakapan sehari-hari dalam lingkup sekolah itu sendiri. (Listiyorini, 2013: 3-5).

Mengutip istilah yang dipakai Mariam Ulfa dalam jurnalnya yang bertajuk Eksistensi Bahasa Daerah di Era Disrupsi, kita sedang berada di era disrupsi. Apa itu? Mariam menjelaskan, jika merujuk ke KBBI, disrupsi artinya yang tercabut dari akarnya. Hal itu berarti banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya,  jika menilik dari fenomena zaman sekarang.

Ia melanjutkan, era disrupsi di masa ini sangat mempengaruhi berbagai aspek dari kehidupan masyarakat. Dari yang sebelumnya manual menjadi serba otomatis. Dari yang awalnya memerlukan banyak tahap dalam memproses segala sesuatu menjadi serba instan. Konsep itulah yang mendasari pola pikir generasi milenial sekarang ini.

Lantas, apa hubungannya dengan bahasa daerah? Ini seperti efek domino, generasi Z menjadi sangat jarang menggunakan bahasa daerahnya dalam situasi sehari-hari, bahkan mulai menyelipkan kosakata asing dalam praktiknya. Jika dirunut, hal itu terjadi karena efek globalisasi, ditambah situasi pandemi pada beberapa waktu lalu, menuntut generasi Z berinteraksi dengan gawai yang sarat akan kosakata asing alih-alih media lain yang cenderung bernuansa lokal seperti buku, majalah, dialog antar teman dan lain sebagainya. Realita ini tentu menyimpang dari yang seharusnya terjadi di zaman ini, bukan?

Anomali budaya, sebuah istilah yang menarik di dalam artikel jurnal bertajuk Anomali Bahasa dan Budaya di Era Pandemi Covid-19, karya Farida Maricar dan Nurfani. Anomali, menurut KBBI, berarti penyimpangan dari yang sudah ada. Anomali budaya, dalam artikel tersebut, secara khusus mengangkat isu tentang kehidupan masyarakat Ternate yang menyimpang dari kebiasaan mereka sehari-hari di masa pandemi. Anomali budaya yang pertama disebutkan dalam artikel itu adalah imbauan kepada masyarakat yang cenderung menggunakan bahasa Inggris, padahal mereka memiliki bahasa Indonesia, bahasa Ternate, dan bahasa Melayu Ternate. Di sini, penggunaan bahasa Inggris menjadi anomali karena tidak selaras dengan media komunikasi yang biasa digunakan masyarakat sehari-hari. Ini adalah salah satu contoh kecil anomali yang terjadi di Ternate, ibarat fenomena gunung es, ini yang baru tampak di permukaan, sedangkan jika kita hendak melihat ke bawah permukaan, tentu masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

Setelah mengetahui semua itu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita, sebagai warga negara Indonesia, harus mempertahankan identitas bangsa kita? Atau sebenarnya kita tidak perlu menaruh kepedulian dengan apa yang terjadi pada bangsa kita? atau mungkin, kita masih terjajah dengan modernisasi bangsa asing? Di dalam buku berjudul Gara-gara Indonesia karya Agung Pribadi, ada sebuah kalimat yang menggelitik dari remaja bangsa kita, “Coba aja kita masih dijajah Belanda sama Jepang, pasti kita nggak perlu lagi susah-susah belajar bahasa luar negeri, kan.” Sebuah statement yang sangat mengiris hati pejuang-pejuang kemerdekaan.

Maka dari itu, demi menjaga nyala api perjuangan bangsa kita, kita perlu menegaskan kembali identitas bangsa kita. Dalam konteks berbahasa, kita perlu konsisten dalam mempertahankan bahasa daerah dan nasional kita, sebagai media komunikasi antar makhluk sosial di dalam lingkup daerah dan negara, disamping itu juga sebagai salah satu unsur inti pembentuk budaya.

Ada banyak cara untuk merealisasikan hal tersebut. Di dalam lingkup pemerintahan, misalnya, kita bisa mengadakan kampanye pelestarian bahasa daerah.  Di dalam lingkup masyarakat modern, kita bisa menampilkan berita, artikel, siniar atau sejenisnya dengan acara budaya yang berbahasa daerah tertentu. Di dalam lingkup masyarakat non-modern, bisa memakai media cetak seperti koran, buku, dan sejenisnya, ataupun memakai media lain seperti radio dan TV. Dalam lingkup pendidikan, kita bisa mewajibkan penggunaan bahasa daerah di hari-hari tertentu selama pembelajaran berlangsung.

Ada banyak cara untuk melestarikan budaya kita sendiri, sisanya tergantung tingkat kemampuan dan kemauan yang kita miliki. Sekarang setelah kita mengetahui sudah sejauh mana budaya asing masuk ke kehidupan kita, serta seberapa penting budaya bangsa kita, masihkah kita mau melupakan identitas bangsa kita sendiri?

HAIDAR ALI

Editor : DONI SETIAWAN

Referensi : 

Ulfa, M. (2019). Eksistensi bahasa daerah di era disrupsi. Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 12(2), 197-207.

Listiyorini, A. (2013). Eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai Alat komunikasi dalam Persaingan global. Universitas Negeri Yogyakarta.

Maricar, F., & Nurfani, N. (2021). Anomali Bahasa dan Budaya di Era Pandemi Covid-19. Sang Pencerah: Jurnal Ilmiah Universitas Muhammadiyah Buton, 7(1), 120-132.

Pribadi, A. (2013). Gara-gara Indonesia: dari sejarah kita belajar masa lalu untuk masa depan. AsmaNadia Publishing House.

13 Kosakata Serapan Bahasa Indonesia dari Bahasa Belanda. (2017, July 6). IDN Times. from https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/muhammad-ridwan-3/kata-serapan-bahasa-indonesia-dari-bahasa-belanda-c1c2?page=all

Daftar kata serapan dari bahasa Jepang dalam bahasa Indonesia. (n.d.). Wikiwand. from https://www.wikiwand.com/id/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Jepang_dalam_bahasa_Indonesia#T

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *