Kaia Areulla, seorang gadis berparas manis yang tumbuh di sebuah desa pesisir pantai bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Kaia memiliki kecintaan yang sangat besar kepada alam. Ia selalu terbuai dengan lembutnya pasir yang menyentuh permukaan kulitnya, hembusan angin yang membuat rambutnya menari-nari, deburan ombak yang menenangkan, jernihnya air laut yang membuatnya bisa melihat berbagai jenis terumbu karang dan ikan-ikan dengan mata telanjang, serta air laut yang berkilauan jika terkena pantulan cahaya matahari di siang hari atau rembulan di malam hari. Saking senangnya terhadap pantai, ibunya membuatkan Kaia jepit rambut yang berasal dari cangkang kerang dan setiap hari digunakan olehnya.
Namun, suatu hari ia terusik, karena ada sekelompok pemuda yang berasal dari luar desa melakukan tindakan pengambilan terumbu karang secara ilegal. Kelompok itu disebut sebagai “Perompak Koral” oleh masyarakat setempat. Beberapa kali mereka sudah ditegur oleh masyarakat setempat lalu ada yang sempat melaporkan mereka ke pihak berwajib, tetapi mereka lolos dan melakukan tindakan tersebut dengan alasan menjadikan terumbu karang sebagai dekorasi. Nyatanya terumbu karang tersebut sengaja dijual dengan harga jual yang tinggi.. Kaia merasa khawatir dan cemas jika tindakan pengambilan terumbu karang itu terus menerus terjadi lalu menyebabkan berbagai dampak buruk terhadap pantai tercintanya itu.
Kaia pun akhirnya memutuskan untuk mengambil sebuah tindakan. Ia mengajak teman- temannya dan masyarakat setempat, untuk membentuk sebuah organisasi yang melakukan advokasi lingkungan yang bernama “Usik”. Mereka memiliki tujuan untuk melindungi keindahan dan keanekaragaman hayati yang ada di pantai mereka.
Usik melakukan berbagai macam kegiatan kesadaran alam, seperti kegiatan pembersihan sampah di pantai bersama, melakukan penyuluhan tentang bahayanya pengambilan terumbu karang secara berlebihan, mengajak masyarakat untuk berhenti merusak ekosistem yang ada di sekitar. Kaia juga berusaha untuk menjalin hubungan dengan ketua kelompok Perompak Koral tersebut, yaitu Naratama. Kaia berusaha membujuk Naratama agar berhenti melakukan tindakan pengambilan terumbu karang secara ilegal yang merusak keseimbangan ekosistem alam.
Namun, perjalanan Kaia melakukan upaya-upaya tersebut tidak selalu berjalan mulus. Naratama selalu menutup akses komunikasi dengan Kaia bahkan anggotanya hanya menganggap hal tersebut sebagai hal yang sepele. Beberapa masyarakat setempat yang masuk ke dalam komunitasnya tidak mengerti urgensi perlindungan lingkungan dan berpikir bahwa pengambilan terumbu karang ilegal hanya untuk kebutuhan dekorasi dan akan membawa keuntungan ekonomi. Kaia berhadapan dengan berbagai tantangan dalam meyakinkan mereka bahwa menjaga kelestarian alam jauh lebih berharga daripada mendapatkan keuntungan finansial sesaat.
Dalam perjalanan perjuangannya, Kaia dan Usik berhasil mendapatkan perhatian media dan dukungan dari beberapa organisasi lingkungan besar. Informasi mengenai keindahan pantai dan ancaman yang dihadapinya disebarkan secara luas melalui kampanye secara daring (dalam jaringan) melalui media sosial. Banyak orang yang mulai peduli dan bergabung dengan Usik, mulai dari masyarakat di desa dan masyarakat kota yang berkunjung, termasuk beberapa anggota Perompak Koral yang mulai menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.
Namun, Naratama masih saja menutup mata dan telinganya. Bahkan, dalam seminggu ini saja Naratama masih melakukan pengambilan terumbu karang ilegal setiap dua hari sekali. Ia belum menyadari tindakan yang dilakukan itu dapat menyebabkan dampak yang sangat amat buruk. Kaia terus melakukan negosiasi dengan Naratama. Setiap hari, setiap pagi hingga malam, mereka selalu meributkan perihal pengambilan terumbu karang secara ilegal. Hingga mulut Kaia berbusa pun, Naratama tidak akan pernah menggubris tindakan Kaia.
Suatu hari, kesabaran Kaia benar-benar sudah habis. Ia pun langsung menghampiri tempat perkumpulan kelompok milik Naratama. Tanpa basa-basi Kaia memasuki bangunan yang tidak begitu luas tersebut menuju ke arah Naratama yang sedang bersenda-gurau bersama beberapa anggotanya yang masih setia di komunitas tersebut.
Kaia menggebrak meja, “Hei, Naratama! Apakah kamu tidak bosan meributkan hal-hal yang itu-itu saja bersamaku? Apa tidak ada kesadaran untuk berhenti melakukan tindakan bodoh dari hatimu itu walaupun hanya sedikit?”.
Naratama yang sedang bergurau langsung tersentak, ia memberikan tatapan yang setajam silet kepada Kaia. “Apakah kamu tidak memiliki sopan santun, sehingga menyelonong masuk ke dalam sini?” ucapnya dengan nada tinggi.
Kaia merasa emosinya semakin memuncak, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. “Maaf jika kedatanganku di sini terasa tiba-tiba, tapi aku sudah cukup lelah dengan sikapmu selama ini, Naratama,” ucap Kaia dengan suara yang sedikit terguncang.
Anggota Perompak Koral yang hadir mulai merasakan suasana tegang yang tercipta. Mereka melihat pertengkaran Kaia dan Naratama semakin memanas. Beberapa dari mereka mencoba menenangkan situasi, berusaha mengajak mereka berbincang dengan tenang.
“Sudahlah, mari kita membicarakan masalah ini dengan kepala yang dingin,” ucap salah satu anggota kelompok Perompak Koral, berusaha meredakan ketegangan.
Namun, Kaia dan Naratama terus saling memandang dengan tatapan yang penuh ketegangan. Kaia merasa sangat kesal dengan sikap dan tindakan Naratama yang telah membuatnya merasa direndahkan dan tidak dihargai selama ini. Dia ingin menyampaikan ketidakpuasannya dengan harapan Naratama bisa paham bahwa tindakannya selama ini salah.
Meskipun atmosfer di ruangan terasa tegang, Kaia mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang memuncak.
“Sudah cukup dengan sikapmu selama ini yang tidak pernah mau mendengarkan ajakanku dan masyarakat setempat untuk berhenti mengambil terumbu karang secara liar. Kamu tidak pernah mengerti apa yang akan terjadi suatu hari nanti jika kamu terus mengambilnya. Kamu hanya melakukan itu untuk memperkaya dirimu yang sudah kaya,” ucap Kaia tegas.
Naratama belum merespons ucapan Kaia. “Naratama, kamu harus mengerti bahwa pantai ini adalah harta milik semua orang. Pantai ini sangat berharga untuk masyarakat setempat yang tumbuh dewasa di desa. Sangat banyak kenangan-kenangan yang mereka ukir bertahun-tahun lamanya di pantai ini. Bagaimana perasaan mereka jika akhirnya pantai ini rusak, hanya karena ulahmu, Naratama?” ucap Kaia berusaha membuat Naratama memahaminya. “Bahkan untuk membayangkannya saja aku sudah tidak sanggup, Naratama,” lanjut Kaia dengan getir.
Naratama yang awalnya masih sedikit marah, melihat ekspresi Kaia yang sedih. Ia menyadari betapa seriusnya dampak yang akan terjadi karena ulahnya sendiri. Perlahan ekspresi wajahnya mulai berubah menjadi serius.
“Kaia, aku… aku minta maaf, karena selalu mengabaikan usahamu agar aku berhenti” ucap Naratama dengan suara yang penuh penyesalan. “Selama ini aku tidak menyadari bahwa tindakanku sangat amat berbahaya di masa depan. Aku berjanji akan membantumu merehabilitasi terumbu karang yang sudah aku curi. Aku juga akan menyerahkan diriku kepada pihak berwajib dan bertanggung jawab atas semua hal yang aku lakukan.” lanjut Naratama meyakinkan.
Melihat perubahan sikap Naratama, membuat Kaia merasa sangat amat lega. Ternyata masih ada harapan bahwa manusia egois seperti Naratama bisa berubah menjadi lebih baik. Ia mengetahui bahwa proses rehabilitasi akan memakan waktu yang tidak singkat, tetapi setidaknya ada kesadaran dan komitmen darinya untuk berubah.
“Naratama, aku menghargai permintaan maafmu itu,” ucap Kaia dengan nada lembut. “Apa yang diriku dan Usik inginkan hanya kesadaran dan tanggung jawabmu itu. Berjanjilah, Naratama. Berjanjilah, kamu akan memegang komitmen yang kamu ucapkan tadi. Mulai sekarang aku, kamu, Usik, dan Perompak Koral berdamai. Ayo kita saling bekerja sama untuk melestarikan lingkungan alam ini.” ucap Kaia sembari mengulurkan tangan sebagai tanda perdamaian.
Naratama tersenyum, menjabat tangan Kaia dengan tulus, “Baiklah. Terima kasih banyak Kaia. Aku berjanji untuk selalu menjaga komitmen yang telah aku ucapkan. Aku senang bisa memulai bekerja sama dengan Usik, terutama denganmu Kaia.”
Keesokan harinya, Perompak Koral memenuhi janjinya. Mereka membantu merehabilitasi terumbu karang dengan cara transplantasi bibit karang. Naratama dan anggotanya pun akhirnya menyerahkan diri ke pihak berwajib. Keadaan desa menjadi lebih tenang. Kaia yang awalnya terusik, sekarang semakin mencintai tempat lahirnya itu.
Namun, hal itu tidak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian, anggota Usik melihat Naratama dan anggotanya bebas dan berkeliaran di pantai. Perompak Koral kembali, menimbulkan malapetaka bagi masyarakat setempat. Naratama melanggar komitmen yang ia ucapkan. Ia kembali lagi merusak kekayaan milik penduduk desa.
Anggota Usik pun akhirnya mengadu kepada Kaia. Kaia tidak mempercayai apa yang sudah ia dengar. Rasa kecewa dan amarah membuncah di dalam hatinya. Tanpa ragu, Kaia memutuskan untuk menghadapi Naratama dan anggotanya sekali lagi. Ia merasa harus menghentikan kekejaman mereka dan melindungi kelestarian lingkungan desanya.
Kaia mempersiapkan batin dan fisiknya. Ia berenang menuju tempat yang sering didatangi Naratama, dengan harapan bisa menghentikan tindakannya. Namun, Kaia tidak menyadari seberapa bahaya dan licinnya terumbu karang yang ada di sekitarnya.
Saat Kaia mencapai lokasi, betapa terkejut dan sakitnya melihat kelompok Perompak Koral sedang merusak terumbu karang. Dalam keputusasaan, Kaia berusaha untuk memberhentikan mereka, tetapi di saat yang sama, ia tergelincir dan terjatuh ke dalam lubang yang dalam di tengah terumbu karang besar.
Upaya Kaia untuk berenang kembali ke permukaan terhalang oleh kerapatan terumbu karang dan gelombang air laut yang kuat. Ia berjuang sekuat tenaga untuk menggapai udara, tetapi semakin lemah dan terhimpit oleh keadaan.
Kaia berteriak sekencang mungkin meminta tolong, berharap ada yang mendengarnya. Sayup-sayup, Naratama mendengar suara Kaia, tetapi ia mengabaikannya, mengira salah dengar. Naratama pun lanjut mengambil terumbu karang dengan perasaan tak bersalah. Akhirnya, napas Kaia terhenti dan tubuhnya tenggelam.
Ketika Naratama dan kelompoknya menuju perjalanan pulang, ia menyadari sesuatu yang ganjal di dekat terumbu karang. Ada jepit rambut berbentuk kerang yang mengapung di atas air laut. Seingatnya, jepit itu selalu digunakan oleh Kaia. Naratama panik, tanpa pikir panjang ia masuk ke dalam lubang di tengah terumbu karang itu.
“TOLONG, KAIA TENGGELAM!” Naratama berusaha meminta bantuan kepada anggotanya. Mereka semua panik, Naratama tertatih-tatih membawa tubuh Kaia ke pinggir pantai. Naratama berusaha memberikan pertolongan pertama, tetapi semuanya sudah terlambat, Kaia sudah tak tertolong.
Naratama menyangkal kematian Kaia, rasa penyesalan merasuki hatinya. Dia baru menyadari bahwa tindakan egoisnya dapat menyebabkan kematian Kaia, seseorang yang berjuang untuk kebaikan, melindungi lingkungan.
Penduduk desa berduka atas kepergian Kaia, keberanian dan semangatnya akan selalu dikenang, tetapi kehancuran dan duka merajalela di antara penduduk desa. Naratama harus hidup dengan penyesalan dan rasa bersalah yang akan membayanginya seumur hidup. Akhirnya Naratama dan anggotanya benar-benar menyerahkan dirinya ke pihak yang berwajib, menebus penyesalan karena membuat Kaia pergi selama-lamanya, secara tidak langsung.
AISYAH MAZAYA ADIBRATA
SMA Negeri 16 Bandung
Great tremendous issues here. I am very glad to look your article. Thanks so much and i’m looking forward to contact you. Will you please drop me a mail?
Its like you read my mind! You appear to know so much about this, like you wrote the book in it or something. I think that you can do with some pics to drive the message home a little bit, but other than that, this is wonderful blog. A great read. I’ll definitely be back.
Terimakasih Aisyah karena tidak membenci karya sastra, semoga terwujud kuliah mengambil jurusan Sastra Indonesia nya. Saya selalu dukung kamu nomor 1 di sini, ya. Tetap semangat! ❤️