Tulisan ini aku susun untuk memperingati Hari Puisi Nasional sebagai reminisensi atas kepulangan-menuju-tiada Si Binatang Jalang. Hari ini, 28 April, tujuh puluh empat tahun silam, Chairil Anwar gagal menunaikan azam untuk hidup seribu tahun lagi dalam pengembaraannya di negeri asing. Ia dikoyak sepi tak tertanggungkan dan dijemput maut secara tragis, seperti yang dijelaskan Hasan Aspahani dalam wawancara dengan Kumparan empat tahun silam, ”Nggak punya alamat, miskin, komplikasi, dan lain-lain”.
Muskil memang untuk menghadirkan Chairil dalam pembicaraan tanpa menyebut totalitas dan kepeloporannya tentang bahasa dan sastra Indonesia. Hal itu pula yang dijadikan landasan deklarasi dan penetapan Hari Puisi Indonesia saban 26 Juli – yang jua tak merentang barang setengkang mata dari hidup Chairil, yakni tanggal kelahirannya – di Pekanbaru, 22 November 2012 lalu.
Begitulah: seperti pertautan antara Chairil dan kepenyairannya, hal serupa juga hadir dalam pembicaraan puisi sebagai medium pelepasan gairah berpikir dan pengembaraan batin, seperti ditulis Wishu Muhammad sewaktu mengulas puisi-puisi Edwar Maulana.
Dalam kata lain, puisi adalah semacam arena interpretasi terhadap hidup, sebab gairah berpikir serta safari batiniah tersebut tak menyeruak dari kekosongan belaka. Sedemikian itu, puisi, dalam buku Kajian Puisi yang disusun Prof. Ade Hikmat, dkk., tidak benar-benar memuat fragmen faktual dari suatu peristiwa, sebab cuplikan peristiwa itu sendiri terlebih dahulu dioplos dengan berbagai alegori, paradoks, hiperbola demi mencapai bentuk yang sublim sebelum disajikan sebagai “puisi”.
Namun, bagaimana jadinya bila pantulan realitas tersebut justru tampil dalam sebuah formasi buat memotivasi? Suatu hal yang dimuat redaksi buletin Sarasa – media terbitan yang diasuh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pasundan – pada edisinya yang keenam.. Simaklah salinan teks fungsi puisi yang mereka tulis berikut:
“Kehidupan manusia tentu seperti roda yang berputar. Ada waktu di bawah dan kadang di atas. Ketika seseorang turun dimana seseorang membutuhkan motivasi dalam posisi ini. Sekarang kita dapat menggunakan puisi untuk memotivasi orang lain dan diri kita sendiri. Karena itu tidak jarang bagi kita untuk bertemu orang dan bahkan diri kita sendiri yang terkadang sangat membutuhkan motivasi tetapi biasanya diam.”
Hal tersebut memang tak mungkin dinafikan. Abram (David Lodge, 1972: 5 – 21) yang disitir Panji Hermoyo dalam jurnal Didaktis, menyebut salah satu orientasi sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada penyimaknya.
Amsal sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo yang dengan subtil menyeruakkan hal paling esensial hingga remeh temeh atas apa yang nyalar bertalian dengan kedirian manusia. Ia mengekspos eksistensi manusia yang rentan, amburadul, begitu rapuh dan papa, namun memberi kepastian akan ketiadaan dan bagaimana seseorang bergelut memaknainya.
Dalam tuturan-tuturan Subagio, term mati, di mana manusia berkelindan di dalamnya, diletakkan bukan sebagai hal yang eksotis lagi. Kematian bukan lagi sesuatu yang seolah tak termasuk ke dalam dunia kita sehingga pembicaraan tentangnya begitu asing bagi telinga manusia. Ia justru menjadikannya sedemikian akrab, untuk tak takut menghadapi kehidupan; siap kehilangan apapun, atau setidaknya, tidak lagi mengharap apa-apa dari hidup selain memaknainya. Dan darinya, penjelasan atas apa yang absolut bagi manusia itu, kematian, terdefinisikan.
Syahdan, bukankah Subagio juga berupaya menggugah kesadaran manusia tentang hidup yang dititinya, yang diingatkan G.K Chesterton untuk menerobos horor pesimisme yang merundung sejarah kita?
Tapi sastra, di mana puisi menjadi bagiannya, adalah upaya seseorang membongkar nilai yang telah dimapankan, sedangkan motivasi mempertegas kemapanan dengan tidak mempedulikan esensi hidup, kata Zulfikli Ashwom di laman Indonesiasastra.org. Pada titik ini perkataan Saut Situmorang tatkala membahas puisi-puisi Agus Sarjono boleh jadi benar adanya. Ia menulis, “Alasannya menulis… ingin belajar dan bukan mengajar, ingin bertanya dan bukan menjawab, dan sesekali menangis atau berduka bersama orang-orang pinggiran di berbagai pelosok negeri[nya] yang tidak punya massa, tidak punya kekuasaan, tidak punya harta, tidak punya partai, dan terus-menerus dibisukan”.
Mari kita buka-bukaan: hal tersebut betapa sulit dijumpai pada teks-teks motivasi yang justru menjebak audiensnya ke dalam “ruang simbolis”. Dalam ruang simbolis, tulis Laksmi Wardani, dosen Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra, manusia tak berurusan dengan benda fisik atau objek perseptual [red. objek yang diterima seseorang dari sesuatu melalui pancainderanya]. Sebab yang dipelajari manusia adalah relasi parsial untuk menyatakannya dengan simbol adekuat.
Sementara itu, kita pun tak akan menyangkal bahwa bahaya selalu membayang pada sebuah sistem tatanan. Dan, suatu kerangka tanda-tanda yang tak mendua, masih kata Laksmi, akan menjadi tujuan dalam diri untuk dipaksakan secara keras dan dijaga agar tak menyimpang. Ini menandaskan bahwa motivasi adalah sarana yang bengis, yang mengasingkan manusia dari hasrat besarnya di mana individu dipaksa mengenakan seragam tertentu untuk melecut diri. Tak berlebihan menyebutnya sebagai suatu ironi, khitah mulia yang semula diusung justru bertabrakan dalam perjalanannya.
Lagi pula, motivasi, aku pikir dan bagiku, tak lebih dari omong besar tipikal seorang tua yang kesepian setelah ditinggalkan pergi zamannya, atau meminjam perkataan Arif Bagus, terhanyut dalam aliran waktu yang bergerak begitu cepat, tanpa sempat merasakan gerak waktu itu sendiri.
Sungguh pun fungsionalisasi puisi dimaksudkan sebagai “motivasi” dengan anggapan bahwa ia bertian nilai yang mampu menjadi stimulan, apakah nilai-nilai tersebut tampil seterang mentari di terik siang? Bukankah justru puisi-puisi yang sublim seringkali malu-malu menyingkap apa yang disembunyikan penulisnya, sehingga pembaca sendirilah yang mesti menggali melalui tafsir atas kompleksitas kelindan bentuk dan substansi karya bersangkutan?
Tengoklah puisi bertajuk “Sajak” milik Subagio, yang disebut oleh kritikus sastra, Zen Hae, dalam jurnal Poetika sebagai medan ironi antara puisi dan penyair atau puisi dengan khalayak. Lantas, dengan cara apa puisi “memotivasi” penderitaan harian yang terangkum dalam rentetan ini: anak yang semalam batuk-batuk, keluh istri karena gaji tekor buat bayar dokter, bujang, dan makan sehari, pantalon sobek, hidup yang makin mengikat dan mengurung?
Bukankah yang Subagio coba tampilkan adalah sebuah frustasi atas kepelikan hidup? Bagaimana puisi yang putus asa, yang menyiratkan bahwa hidup terjalin berkelindan dengan kedukaan, dapat menggugah spirit khalayak? Keputusasaan jelas bukan sesuatu yang elok buat diberikan kepada mereka yang putus asa, ketika seseorang turun dimana seseorang membutuhkan motivasi dalam posisi ini, seperti dituliskan dalam buletin tersebut.
Lalu sahabat super sekalian barangkali akan menggugat sembari menuntaskan penggalan puisi Subagio itu. Tapi: “Sajak ini/ mengingatkan aku kepada langit dan mega/ sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian/ sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali// sajak ini melupakan kepada bunuh diri”.
Tak apa.
Selain kepada polisi, aku tak akan percaya kepada puisi, juga motivasi. Tersebab Subagio sendiri barangkali menyangkalnya lewat penggalan sajak Mata Penyair yang terbit di majalah Horison Juli 1993 ini: “Rakyat yang putus asa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tetapi pasir yang tercecer tidak jadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu”.
ANGGA PERMANA SAPUTRA