Pada puncak tahun-tahun distopia yang diramalkan George Orwell itu, di sudut utara Jakarta, darah bertumpahan. Tepat hari ini, 12 September 1984, kerusuhan yang melibatkan massa Islam kontra aparat pemerintahan Orde Baru pecah di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Peristiwa itu bermula pada Sabtu, 8 September 1984 di Musala Assa’adah Gang IV Koja. Dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) memasuki area ibadah itu tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap subversif, kejadian tersebut kemudian disusul pembakaran sepeda motor milik salah satu Babinsa, Sertu Hermanu, serta penangkapan empat orang pengurus musala, termasuk oknum pembakar sepeda motor.

Namun, perlu pula diketahui Peristiwa Tanjung Priok tidak lahir semata karena pamflet yang dianggap subversif apalagi hadir begitu saja dari ruang kosong. Insiden ini harus dikaitkan dengan konteks politik yang berkembang beberapa tahun sebelumnya tatkala pemerintahan Suharto aktif mengampanyekan slogan “Asas Tunggal Pancasila”, seperti yang dituliskan Faisal Irfani dalam Para Saksi Malam Jahanam: Korban Pembantaian Tanjung Priok Tak Kunjung Dapat Keadilan di Vice.Id hari ini.

Muasal terjadinya peristiwa tersebut, serupa terangkum dalam Ringkasan Eksekutif: Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat yang diterbitkan Komnas HAM adalah sebagai berikut, kebijaksanaan politik nasional sejak tahun 1978 dengan keluarnya Tap MPR No.IV Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sudah mendapat tanggapan dari sebagian umat Islam tertentu sebagai gejala akan mengecilkan umat Islam dan mengagamakan Pancasila. Reaksi semakin keras dengan rencana dan pengundangan Undang-Undang tentang organisasi masyarakat dan organisasi politik yang isinya termasuk penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Intinya, pemerintah berkuasa waktu itu tak ingin setiap organisasi di tanah air kita memiliki haluan ideologi selain Pancasila, semua AD/ART organisasi wajib berikrar setia padanya. Masih menurut laporan Komnas HAM tersebut, dalam menyampaikan protesnya terhadap asas tunggal Pancasila, massa tak menggunakan jalur hukum sebagaimana mestinya karena mereka nilai penggunaan jalur hukum tak akan ada gunanya sebab hukum telah digunakan sebagai alat kekuasaan.

Dua hari berselang, 10 September 1984, terjadi pertengakaran antara beberapa jamaah musala dengan kedua Babinsa yang dinilai arogan tersebut. Amir Biki, seorang tokoh masyarakat kemudian diminta perbantuan untuk merampungkan persoalan ini.

Menurut penuturan Husein Safe dalam Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan yang diterbitkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amir Biki meminta jemaah untuk tidak membesar-besarkan masalah dan ia akan mengupayakan pembebasan empat orang yang ditahan.

Namun, dalam memoar Ahmad Yaini tentang peristiwa itu, ia menuliskan, pada waktu ditanyakan kepada Kodim perihal 4 pemuda itu, orang Kodim menjawab, “Empat orang tersebut tidak ditahan di sini, coba tanyakan saja ke Danres.” Kemudian Amir Biki mencari ke Danres, tapi ternyata tidak ada juga. Akhirnya Amir Biki menyimpulkan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh petugas-petugas itu.

Kemudian Amir Biki bermusyawarah dengan para tokoh masyarakat di mana hasil dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penyelenggaran pengajian pada Rabu, 12 September 1984. Selain berupaya menghimpun suara masyarakat ihwal pembebasan keempat orang yang ditahan, pengajian akbar itu menjadi arena kritik terhadap kebijakan pemerintah yang lagi berkuasa.

Di akhir pengajian, kenang Husain Safe, setelah ceramah-ceramah usai Amir Biki naik kembali ke panggung dan berkata, “Kita tunggu sampai jam 23.00, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim!”

Namun baru saja bergerak, di depan Mapolres Jakarta Utara, hadangan aparat militer disertai bunyi peluru membuat massa tercerai, adapula yang tergeletak kena tembak. Dalam laporan investigasi KontraS ihwal peristiwa ini yang tercatat dalam Sakralisasi Ideologi Memakan Korban, setelah peluru pertama terdengar, massa berlarian menyelamatkan diri dan sebagian tiarap.

Kemudian, dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu menerjang dan melindas massa yang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan bunyi gemertak tulang-tulang yang remuk (Tirto.id, Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam).

Tak diketahui secara pasti jumlah korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun dihilangkan paksa dalam peristiwa ini. Dalam Laporan  Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat, keterangan saksi dari RSPAD Gatot Subroto serta para pejabat TNI menyatakan bahwa korban meninggal berjumlah 23 orang, luka dirawat sebanyak 36 orang, dan luka tak dirawat (ringan) sebanyak 19 orang, sehingga jumlah seluruh korban adalah 78 orang. Sementara menurut Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK), seperti yang ditulis Iswara Raditya dalam kolom Humaniora Tirto ID, menyebut korban tewas menyentuh angka 400 orang, belum termasuk yang luka dan hilang.

Tragedi Tanjung Priok menyeret masyarakat sipil ke arena kekuasaan sebagai tumbal. Di sana mereka kehilangan hidup, sementara hidup itu sendiri nampaknya nyaris luluh lantak dalam genggaman tirani Sang Jenderal yang Tersenyum. Peristiwa ini menambah catatan suram Rezim Orba ihwal pelanggaran-pelanggaran HAM serta mengingatkan kita bahwa negara belum jua hadir untuk memenuhi tanggungjawabnya.

 

ANGGA PERMANA SAPUTRA

2 thoughts on “September Hitam di Tanjung Priok”
  1. Great post but I was wondering if you could write a litte more on this topic? I’d be very grateful if you could elaborate a little bit more. Thank you!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *