(Narita Aurelia /JUMPAONLINE)

Di tahun pemilu ini, siapa yang tidak lelah ketika melihat perseteruan setiap kubu dalam mempertahankan setiap calon-calonnya. Setiap hari selalu saja dibenturkan dengan cuitan-cuitan yang melelahkan untuk ditelan. Entah itu tuduhan bahwa calon lainnya adalah pelanggar HAM, entah itu cuitan bahwa calon lainnya hanya banyak omdo. Belum lagi benturan-benturan fakta simpang siur yang membuat kepala ingin meledak.  Jadi siapa yang benar, siapa yang salah? Pemerintah tak ingin tahu, karena kebenaran harus datang dari mereka.

Bukan hal aneh, bila semakin hari banyak orang yang memutuskan untuk golput. Bagi warga kampung Bayam, menjadi golput merupakan sebuah sikap. Ya, sikap! Karena selama ini, memangnya pemerintah mana yang memihak kepada mereka? Nasib mereka terombang-ambing, menanti realisasi janji manis pemerintah yang tak kunjung datang. Siapapun yang memimpin, jelas tidak ada jaminan bahwa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Bahkan ketika Presiden Jokowi berjanji untuk mengusahakan permasalahan agraria melalui kebijakan reforma agraria, namun nyatanya kasus-kasus persengketaan dan kekerasan terhadap para petani malah semakin meningkat dan kompleks.

Warga kampung Bayam hanyalah satu di antara belahan negeri Indonesia. Di Bandung ada Dago Elos, di Purworejo ada Wadas, di Banyuwangi ada Pakel, dan masih banyak lagi desa atau kelompok warga bahkan masyarakat adat yang masih berjuang untuk bebas dari belenggu tirani. Mereka semua membuktikan bahwa kekuatan rakyat adalah kekuatan yang nyata. Selama ini mereka berjuang dengan jerih payah sendiri untuk bertahan dari segala ketidakadilan. Di kala aparat melakukan kekerasan pada warga, memang pemerintah mana yang membuka telinga.

Dalam konteks negara demokrasi, golput merupakan hal yang kontroversial dan memiliki banyak permasalahan. Namun, golput adalah satu bukti bahwa pemerintah gagal menjaga integritas dalam setiap kontestasi pemilihan. Entah itu wakil rakyat yang ternyata terbukti melakukan pelecehan tetapi masih bisa ikut dilantik. Cawe-cawe seorang bapak yang mengubah syarat umur agar anaknya dapat ikut kontes. Entah permasalahan teknis dalam pemilu yang terbukti janggal. Pada akhirnya, pemerintah patut disalahkan atas segala ketidakpercayaan publik terhadap kontes pemilihan pemimpin. Jadi, pantaskah kita menyalahkan mereka yang golput?

Jangan Lupakan Apa yang Pemerintah Lakukan Kepadamu?

Golput hanyalah salah satu dari fenomena kegagalan pemerintah Indonesia dalam memastikan penyelenggaraan bernegara berjalan dengan semestinya. Seringkali kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkan merupakan hasil dari dinamika politik yang amburadul. Yang katanya demi rakyat, ternyata hanyalah bualan-bualan belaka, padahal rakyat pun tidak semuanya bodoh. Langgengnya UU ITE telah menjerat banyak korban di negeri yang bebas mengemukakan suara. UU Cipta kerja yang memangkas hak-hak para buruh. RUU Pilkada yang sempat menyulut amarah rakyat. RUU Perampasan Aset yang entah ke mana sekarang larinya. Beberapa pasal RUU TNI yang berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI seperti masa orde baru. Masih banyak lagi kebijakan-kebijakan aneh pemerintah yang sebetulnya membuat kualitas hidup kita memburuk, dan ngerinya diam-diam dapat disahkan.

Saat ini kita harus membuka mata bahwa Indonesia dalam keadaan darurat. Lihatlah dirimu, apakah sedang baik-baik saja? Jika ya, lihatlah teman-temanmu, apakah mereka baik-baik saja? Jika dirimu dan teman-temanmu memang baik-baik saja, bukalah matamu dan lihat bahwa rakyat sebetulnya sedang tidak baik-baik saja. Harga beras semakin melonjak, kemiskinan semakin marak, pengangguran meningkat, yang kurang gizi makin banyak, dan yang tidak terdidik semakin meningkat. Bahkan permasalahan kemiskinan struktural sangat mengikat rakyat Indonesia, karena tidak pernah dituntaskan secara mengakar oleh pemerintah.

Jangan heran bila banyak sekali masyarakat Indonesia yang stres bahkan sampai mengidap gejala depresi. Kenyataannya, hidup di Indonesia menguji kemampuan bertahan hidup kita secara ekstrim. Dengan harga pangan melonjak, tentunya kita perlu bekerja guna mendapatkan uang. Namun, syarat untuk bekerja ketat, belum lagi masalah lapangan kerja yang terbatas. Di sisi lain, ada kenyataan bahwa seringkali buruh dieksploitasi, sehingga kesehatan mental mereka selalu menjadi taruhannya. Berpendidikan setinggi-tingginya juga untuk apa? Toh, kesuksesan kalian akan kalah dengan yang punya uang dan relasi dengan para penguasa. Kerja keras sudah tidak lagi punya harga diri.

Berikan sedikit waktu kepada seseorang yang sering marah untuk menenangkan diri seusai bekerja. Karena kerja 8 jam per hari sangatlah melelahkan dan memuakkan. Belum lagi ketika pulang, mereka harus menghadapi kemacetan. Kemacetan ini sangat melelahkan bagi mereka yang membawa kendaraan pribadi, ataupun bagi pengguna transportasi umum. Faktanya, kemacetan memiliki hubungan dengan tingkat stres seseorang. Akses transportasi umum yang merata dan memadai jelas dapat menjadi solusi untuk memberantas kemacetan, karena dapat memobilisasi masyarakat lebih banyak, serta lebih ramah untuk lingkungan sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi. Sayangnya, pemerintah masih gagal untuk memenuhi hak rakyatnya dalam menyediakan transportasi umum yang layak. Alih-alih meningkatkan mutu transportasi umum, pemerintah malah fokus menggenjot penggunaan kendaraan listrik pribadi. 

Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk memanjakan diri dan bersenang-senang setelah bekerja 8 jam sehari. Namun, jangan heran jika bos tiba-tiba meneleponmu di hari libur. Memangnya, siapa yang peduli? Cuan harus tetap diutamakan. Kalaupun mau berlibur, memang bisa pergi ke mana? Pergi ke mal, harga-harga semakin mahal. Mau nonton konser, tiket sering diborong calo dengan harga berlipat ganda. Ingin berlibur ke alam, tetapi pungli ada di mana-mana, sama saja mahalnya. Pergi ke pantai, tapi penuh sampah. Jalan-jalan ke taman? Memangnya ada taman di daerahmu? Kalau pun ada, polusi udara sudah sangat menyesakkan. Percuma mencari tempat rekreasi, tak ada ruang publik yang terjangkau untuk melepas penat.

“Kita harus berhenti menyalahkan masyarakat kita sendiri, sebab, semua ini selalu karena pemerintah.”

Jangan salahkan temanmu bila ia malas datang ke kampus, sebab pemerintah gagal untuk menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan. Jangan salahkan gurumu karena mereka tidak dapat menyampaikan materi dengan baik, karena pemerintah malas menyejahterakan para tenaga pendidik. Jangan salahkan orang-orang miskin kalau mereka bodoh, sebab pemerintah tidak mau menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau dan merata. Jangan salahkan mereka yang memilih untuk bekerja daripada meneruskan pendidikan, lantaran pemerintah gagal dalam mengurusi kesejahteraan pangan. Jangan menyalahkan petani atau nelayan bila harga pangan naik, karena pemerintah tutup mata dalam memastikan rantai distribusi pangan dapat berjalan dengan adil.

Kita harus belajar dari Peringatan Indonesia Darurat, bahwa gerakan rakyat harus kembali diperkuat. Kita harus menyadari bahwa sebenarnya kita tidak baik-baik saja. Kita harus ingat apa yang telah pemerintah lakukan kepada rakyat. Patut dipertanyakan keberpihakan pemerintah selama ini. Sebetulnya rakyat mana yang mereka bela, rakyat kelas atas yang sedang memperkaya para penguasa atau rakyat yang betul-betul tertindas. Jangan sampai kita lengah ketika masyarakat melulu yang disalahkan. Padahal, nyatanya masyarakat tidak selalu salah. Pemerintah punya andil besar dalam menyejahterakan kita, tetapi kenyataannya pemerintah telah gagal, atau bahkan mungkin tidak benar-benar merasa peduli.

Untuk selalu menyuarakan, kita tidak boleh terlalu mengandalkan gerakan mahasiswa karena pada dasarnya gerakan rakyat tidak dapat diwakili hanya oleh segelintir golongan. Jika kamu adalah seorang mahasiswa, maka turunlah ke jalan sebagai rakyat biasa. Semuanya harus turun dan rakyat harus semakin progresif. Meski yang progresif masih sedikit, perlahan-lahan akan menjadi bukit. Hal tersebut akan terasa maksimal asalkan dibarengi dengan setiap gerakan yang nyata, serta kesadaran bahwa ketidakadilan harus selalu diperjuangkan. Hanya ada satu kata terhadap ketidakadilan, yaitu LAWAN!

 

RIZKI ANUGRAH KUSUMAH

Editor: NIPA RIANTI  NUR RIZKI DEWI

 

Referensi

Grahadyarini, B. L. (2022, July 12). Pemerintah Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik. kompas.id.

https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/07/12/pemerintah-dorong-penggunaan-kendaraan-listri 

Herdiana, I. (2023, September 26). Catatan Ylbhi: Proyek Strategis Nasional Mengorbankan Wong Cilik Dan Petani. BandungBergerak.id.

https://bandungbergerak.id/article/detail/158846/catatan-ylbhi-proyek-strategis-nasional-mengorbankan-wong-cilik-dan-petan

Linda Lestari. (2024, September 23). Warga Kampung Bayam akan Golput Dalam pilkada Jakarta 2024. Tempo.

https://nasional.tempo.co/read/1919664/warga-kampung-bayam-akan-golput-dalam-pilkada-jakarta-2024?utm_source=Twitter&utm_medium=dlvr.it

Togatorop, D. (2023, Mei 3). Ini Hubungan Antara Macet Dan stres, Menumpuk Bisa Menjadi Depresi – Semua Halaman. Grid Health.

https://health.grid.id/read/353774790/ini-hubungan-antara-macet-dan-stres-menumpuk-bisa-menjadi-depresi?page=al 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *