Menyikapi Aksi Peringatan Darurat: Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat Selenggarakan Konferensi Pers 
Potret konferensi pers oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat “Menyikapi Aksi Peringatan Darurat”. Dari kiri Fauzan (AJI Bandung), Heri (LBH Bandung), Iqbal (AJI Bandung), Ramdan (BEM Unisba), dan Nabil (Sekjen FKPMB) pada Sabtu, 24 Agustus 2024 di Student Center Universitas Islam Bandung, Bandung, Jawa Barat (Alya Natasya/JUMPAONLINE)

Bandung, Jumpaonline – Sabtu pagi tanggal 24 Agustus 2024 pada pukul 10.00 WIB, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat menjadwalkan forum konferensi pers sebagai wadah penyampaian fakta dan data yang terjadi pada aksi demonstrasi 22 hingga 23 agustus lalu di Gedung DPRD Jawa Barat terkait RUU Pilkada yang hendak direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai pers mahasiswa dari setiap universitas di Bandung serta media arus utama lainnya turut menghadiri konferensi yang bertempat di Student Center Universitas Islam Bandung (Unisba). Data menyampaikan banyaknya korban yang terdampak akibat aksi demonstrasi kian parah, hal ini menjadi laporan utama yang disampaikan pada forum. 

Menyikapi aksi peringatan darurat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unisba memberikan laporan sekaligus pernyataan sikap atas peristiwa ini. Hal ini menjadi fokus utama yang sedang mereka tangani, berbagai laporan yang masuk memberikan fakta bahwa telah terjadi kondisi penyempitan ruang demokrasi di Indonesia sehingga memperburuk situasi yang terjadi saat ini. 

Laporan Korban Kepada LBH Bandung

Pada tanggal 22 hingga 23 Agustus 2024, tercatat sebanyak 138 orang menjadi korban dari represifitas yang dilakukan oleh aparat. Hingga kini data tersebut memiliki kemungkinan bertambah karena LBH sendiri masih membuka hotline pelaporan bagi masyarakat hingga hari senin nanti.

“Kami mencatat 22 Agustus terdapat 7 orang ditangkap oleh kepolisian, 25 orang mengalami luka-luka dan juga perusakan kendaraan. Untuk orang yang ditangkap, pada keesokan subuhnya sudah dilepas kembali,” ungkap Heri selaku perwakilan dari LBH Bandung. 

Laporan masih terus tercatat, hingga pada tanggal 23 Agustus 2024 justru mengalami peningkatan korban. Terdapat 104 orang yang telah didata oleh LBH Bandung, 88 diantaranya  mengalami luka-luka hingga satu orang dilarikan ke rumah sakit dan sebanyak 16 orang kembali ditangkap oleh kepolisian. Heri menyoroti bahwa yang sangat disayangkan dari peningkatan di sini adalah bertambahnya jumlah korban luka-luka akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepada massa aksi, sedangkan korban yang ditangkap baru dilepaskan kembali pada keesokan harinya yaitu tanggal 24 Agustus. 

“Sepertinya masih akan terus bertambah, yang kami catat hanya beberapa yang kami (amankan-red). Ada juga tindakan-tindakan lain (yang dialami korban-red) seperti perusakan barang, kehilangan kendaraan, dan salah tangkap. Hal paling parah pun dialami oleh mahasiswa Unibba (Universitas Bale Bandung-red), menyebabkan cacat mata,” ujar Heri. 

Pembatasan ruang gerak masyarakat sipil pun terjadi pada hari jumat, LBH Bandung mendapatkan kabar bahwa adanya sweeping yang menyebabkan masyarakat sama sekali tidak boleh memasuki kawasan DPRD Jawa Barat, seperti setiap orang yang memasuki kawasan tersebut akan dilakukan verifikasi identitas. Heri merasa bahwa hal ini menjadi tanda pembatasan akses terhadap kebebasan masyarakat untuk bersuara. 

“Siapapun orang yang dibuat resah dengan dibuatnya kebijakan, mereka punya hak,” pungkasnya.

Represifitas Terhadap Jurnalis Bandung 

“Laporan yang kami dapat ada sekitar 6 jurnalis yang mendapatkan intimidasi dan pemukulan dari aparat negara, pertama pemukulan pada jurnalis Pikiran Rakyat oleh 5 orang pada saat pulang liputan dari DPRD dan diminta hapus semua file. Padahal dia sudah menunjukkan identitas sebagai wartawan,” kata Iqbal selaku ketua AJI Bandung.

Iqbal menjelaskan bahwa aparat berbaju sipil tersebut tidak menggubris identitas pers yang telah ditunjukan oleh jurnalis. Hal ini dianggap menjadi salah satu penodaan terhadap kebebasan pers. Padahal, dalam undang-undang pers ketika wartawan melakukan tugasnya dilarang untuk dihalang-halangi apalagi sampai mendapatkan kekerasan. Dapat dikatakan bahwa aparat negara pun melakukan pembangkangan terhadap undang-undang pers.  

File dalam handphone wartawan tersebut dihapus secara paksa, 16 wartawan pun mendapat penindasan. Mereka diintimidasi dengan kata-kata yang mengancam,” ujar Iqbal. 

Ia mengatakan bahwa hal-hal seperti ini pun sudah terjadi selama masa pemerintahan Jokowi. Aksi-aksi besar sebelumnya juga memiliki pola yang sama, ia juga menegaskan bahwa ini merupakan masa presiden yang sangat buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Hampir di seluruh titik-titik aksi di Indonesia, wartawan mendapatkan hal yang serupa. 

“Dengan tindakan ini kami sangat mengecam terhadap Polri, mungkin ini menjadi satu pola bagi Polisi untuk mengamankan aksi demonstrasi. Kami sekali lagi mengecam dan mengutuk aksi-aksi yang menyosor kebebasan pers karena menodai demokrasi itu sendiri,” pungkasnya. 

Represifitas Terhadap Pers Mahasiswa Bandung

“Kami mencatat selama dua hari demonstrasi terdapat 10 jurnalis kampus yang terkena represi, pada tanggal 22 Agustus salah satu reporter dari Isola Pos terkena gas air mata tepat di depan matanya sekitar Taman Radio pukul 19.15 WIB,” ungkap Nabil selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) FKPMB. 

Sedangkan keesokan harinya pada tanggal 23 agustus sebanyak 4 reporter dari Aksara Universitas Telkom mendapatkan pemukulan di sekitar wilayah kantor DPRD. Mereka telah menunjukkan kartu pers sebagai bentuk identitasnya, namun ketika berbalik salah satu dari mereka dipukul dengan sebatang kayu. Ia juga menambahkan bahwa reporter dari pers lain pun dipukul menggunakan rotan. 

“Bahkan sampai memberikan bekas luka dibagian pipi yang lainnya pun tidak terhindar dari pukulan. Salah satu reporter melihat ada tiga orang membawa pipa PVC, kayu, serta batu. Orang yang melihatnya pun dikejar dan dipukul terkena bagian belakang kepala,” jelas Nabil. 

Selain itu reporter Jurnal Pos Media mendapatkan intimidasi dan dipaksa untuk menghapus dokumentasi dalam handphone sekitar pukul 20.20 WIB, namun untuk dokumentasi dalam kamera tetap aman. Tindakan represifitas pun juga terjadi di jalan Trunojoyo, tiga reporter Keluarga Mahasiswa Jurnalistik Unisba dilempari batu kemudian dipukul setelah ditarik. 

“Terakhir dialami oleh reporter Daun Jati ISBI sekitar pukul 20.00 ketika massa aksi mundur ke arah Trunojoyo di sekitar hotel, ia sedang melakukan live streaming di Instagram dan menyorot Polisi yang sedang memukuli massa aksi. Ia kemudian diintimidasi oleh seseorang yang tidak menggunakan seragam, HP-nya direbut dan dibanting,” ungkap Nabil. 

Nabil menjelaskan bahwa semua hal ini merupakan bentuk nyata pemberangusan bagi kebebasan pers. Padahal menurutnya, aktivitas pers merupakan bagian dari kerja-kerja jurnalistik juga kerja-kerja publik. 

“Kami mengecam dan mengutuk keras segala tindak brutalitas pada kejadian kemarin,” pungkasnya.

Apa Kata BEM Unisba? 

“Kami dari Unisba (memandang-red) bahwa permasalahan ini bukan ketika tidak adanya negara, tapi karena adanya negara yang membuat permasalahan ini semakin kacau,” ujar Ramdan selaku Ketua BEM Unisba. 

Ia mengatakan terkait represifitas yang dilakukan aparat ini memakan banyak korban bahkan paling parah dialami oleh mahasiswa Unibba yang menyebabkan matanya harus diambil. Menurutnya, hal ini merupakan pembungkaman terhadap masyarakat sipil, padahal Indonesia merupakan negara demokrasi. 

“Yang kami inginkan dari konteks demokrasi di sini adalah ngobrol dengan pemimpin. Kita ingin ngobrol dengan seluruh pimpinan di sini, namun nampaknya sampai pukul 6, pukul 7, mereka tidak keluar-keluar,” ujar Ramdan. 

Ramdan pun berulangkali menegaskan bahwa mereka hanya ingin mengobrol dengan para pejabat, karena pada dasarnya semua seharusnya sama rata. Ia pun berasumsi bahwa ternyata banyak kepentingan yang dilakukan hanya demi satu keluarga saja dan mengerahkan aparat-aparat untuk dibenturkan dengan masyarakat.

“Seharusnya aparat itu melindungi rakyat, tapi dipakai untuk menghabisi masyarakat sipil. Bahkan ibu-ibu pun dipukul belakang lehernya, medis juga terkena. Hal ini sudah lebih parah,” pungkasnya. 

Pernyataan Sikap oleh Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat

“Penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian adalah tindakan pelanggaran hukum. Setiap kekerasan, represi, dan brutalitas aparat merupakan perusakan pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, sekaligus ancaman yang begitu nyata terhadap kebebasan masyarakat sipil,” tegas Heri. 

Melalui siaran konferensi pers ini, Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat mengutuk tindakan brutalitas aparat terhadap masyarakat sipil, diantaranya.

  1. Mengecam segala bentuk represifitas aparat;
  2. mendesak kepolisian untuk melakukan evaluasi mengenai perilaku dan tindakan brutal;
  3. mendesak semua pihak terutama kepolisian untuk menghormati kerja-kerja jurnalis termasuk pers mahasiswa sesuai dengan undang-undang pers;
  4. mendesak seluruh kepolisian untuk menjaga keselamatan medis dan para pembela aksi;
  5. mendesak para pihak kepolisian secara serius untuk menghargai kebebasan berpendapat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.



ALYA NATASYA

Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas 

Editor: ADINDA MALIKA T



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *