Sumber : pinterest.com

Sore itu, langit tak secerah biasanya. Seakan mengerti perasaanku setelah menerima pesan yang dikirim oleh ibu beberapa menit yang lalu. Pesan ibuku memang singkat, hanya menanyakan kabar dan keadaanku saja, selain itu ada hal yang menyangkut pamanku, paman Adi. Dengan rasa bingung yang terus melekat, aku terus menghubungi mbak sesuai permintaan ibu. Kesal, aku menjambak rambutku frustasi karena teleponku tak kunjung dijawab oleh Mbak Ajeng.

“Bu, alhamdulillah aku baik-baik saja. Ada apa bu? kalian disana baik-baik sajakan? aku sudah menelpon mbak, tapi tidak diangkat,” jawabku melalui pesan Whatsapp.

Aku terus memandang layar handphone, berharap ibu membalas dua pesan terakhir yang kukirimkan. Nihil. Ibu tak kunjung membalas pesan.  Aku  menatap kosong dinding kamar kos yang berwarna abu-abu itu, beberapa pertanyaan hinggap dalam pikiranku, seperti “Kenapa aku harus menolak telepon paman Adi? atau apa yang terjadi antara ibu dan Paman Adi?”.

Dering telepon menyadarkanku, tertera nama ‘Mbak Ajeng Cantik’ dalam layar handphone. Aku langsung menjawab telepon tersebut. “Halo, Mbak. Ada apa di sana? baik-baik saja kan?” tanyaku penasaran.

“Iya, halo Mas Gala. Tenang Mas, di sini semuanya baik-baik saja,” jawab Mbak Ajeng di kampung.

Aku mulai tenang ketika mendengar suara lembut Mbak Ajeng dan menanyakan perihal kenapa harus menolak telpon paman Adi. Ia bercerita bahwa paman Adi dan keluarganya datang ke rumah menghampiri ibu, hendak membeli sepetak tanah peninggalan bapak. Letaknya tak jauh dari rumah kami, hanya beberapa meter ke belakang saja. 

Namun ibu berkata bahwa ia tidak bisa memutuskan apa-apa, keputusan penuh berada di tanganku karena tanah itu atas nama Jenggala Karsa Lazuardi, nama yang diberikan bapak. Paman Adi berkata ia akan menelponku nanti, oleh karena itu, ibu langsung mengirimkan pesan jangan menjawab telepon paman Adi. Ibu memberikan saran agar aku tidak menjualnya, karena itu satu-satunya harta peninggalan bapak. 

Aku kembali dilanda rasa bingung, karena di satu sisi paman Adi adalah keluargaku, di sisi lain aku juga harus mempertahankan amanah bapak.

Sambungan telepon kami masih berlanjut, aku menanyakan kenapa Paman Adi ingin sekali membeli tanah itu yang berada di kampung, padahal ia bisa saja membeli tanah di kota. Mbak Ajeng pun menjawab bahwa Tio, anaknya paman Adi, akan mendirikan usaha toko sembako di sekitar kampung. Ketika mendengar itu, sontak aku tertawa terbahak-bahak. Bukannya merendahkan, tapi aku tahu betul sifat sepupuku itu. Ia sangat keras kepala, mementingkan dirinya sendiri, merasa bahwa semua hal di dunia ini bisa didapatkan dengan sekejap mata.  Aku tak heran ketika mendengar ia terlilit kasus judi ataupun narkoba, ia semacam  noda tinta hitam yang melekat pada baju berwarna putih di keluarga kami.

Di tengah perbincangan kami, Mbak Ajeng melayangkan satu pertanyaan, “Eh, tapi kenapa ya dia gak dipenjara? mbak udah berapa  kali mergokin dia ‘ngelinting’ depan rumah kosong itu.” tanya mbak Ajeng penasaran.

Aku menghela nafas ketika mendengar pertanyaan itu, “Ya, iyalah. Orang bapaknya aparat. Udah pasti amanlah!” jawabku. “Jadi aparat juga hasil dari bapak jual sawah,” sarkas Mbak Ajeng.

Aku tertawa kencang ketika mendengar sarkasan Mbak Ajeng, “Sialan. Aku tutup ya kak teleponnya, soal Paman Adi nanti aku urus pas pulang ke rumah ya,” jawabku.

Hening, kembali menatap kosong langit-langit kamar kos dan meratapi nasib. Masalah datang dari berbagai arah dan menghujamku tanpa belas kasih. Di tengah lamunan itu, aku tersentak karena melihat waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Gawat, 30 menit lagi pergantian jam kerja, bisa-bisa kena marah Lintang kalo telat.  Aku mengambil kunci motor dan bergegas pergi ke tempatku bekerja. Ya, aku memutuskan mengambil kerja paruh waktu untuk menambah biaya selama kuliah di kota. 

Aku tidak mau menyusahkan Mbak Ajeng yang sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak bapak meninggal, biar uang yang ia dapatkan selama menjadi pegawai pabrik digunakan untuk hidupnya dan ibu di kampung. Aku bekerja di salah satu kafe milik temanku yang bernama Lintang Baswara, yang tak jauh dari kampus.

Setelah sampai di kafe, aku menjalankan pekerjaan sebagai barista. Selain itu, aku juga membersihkan semua alat-alat yang telah dipakai, dilanjutkan mengelap meja, menyapu dan mengepel seluruh ruangan . Banyak sekali pelanggan yang datang hari ini, hingga tak terasa langit pun mulai gelap gulita. Ketika waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, kafe mulai sepi kemudian aku memutuskan membuang sampah, seseorang menghampiriku dan berkata ada seorang pria bertubuh tegap di luar kafe ingin bertemu denganku.

“Siapa yang mau bertemu aku malam-malam begini?” gumamku.

Aku melangkahkan kaki menuju keluar dan seketika berdiri kaku menatap pria itu. Tubuhnya sangat kukenali. Aku langsung mengenali wajahnya kala ia berbalik. Pria itu adalah Paman Adi. Ia tersenyum sumringah ketika melihat ke arahku. Berbanding terbalik denganku yang membalasnya dengan tersenyum kaku. Ia menanyakan kabarku selama berkuliah disini. Aku menjawab bahwa kabarku baik dan setiap harinya hanya pergi ke kampus ataupun pergi bekerja.

“Jadi gini, Gal, tadi paman datang  ke rumahmu. Mungkin ibumu sudah bilang bahwa paman ingin membeli sepetak tanah belakang rumahmu itu untuk Tio usaha agar ia bisa mengisi waktu luangnya. Ibumu bilang itu hak milikmu, jadi dia gak bisa ngambil keputusan apapun. Tadinya paman mau menghubungimu lewat telepon karena takut mengganggu urusan kuliahmu, jadi paman pikir lebih enak bicarain ini secara langsung,” jelas Paman Adi panjang lebar. 

Aku terdiam ketika mendengar penjelasan Paman Adi, bingung karena harus menanggapi seperti apa karena aku belum menyiapkan diri untuk masalah ini. Ia berkata, tidak apa-apa jika aku belum bisa menjawab, beliau juga mengerti bahwa masalah ini perlu waktu banyak untuk mengambil keputusan.  Sambil menatap segan, aku menjawab penjelasan Paman Adi, “Sebelumnya, Gala minta maaf karena belum bisa memutuskan sesuatu. Paman sudah jauh-jauh datang ke sini tapi malah gak dapat jawaban apapun,” jelasku kepada paman Adi.

“Gapapa, salah paman juga gak menghubungi kamu terlebih dahulu,” ujar Paman Adi. “Kayaknya, pas aku libur semester aja pulang dan ngomongin masalah ini paman,” jawabku.

“Yasudah kalau begitu, paman tunggu. Eh tapi jangan bilang ibumu kalau paman datang kesini ya? Biar jadi rahasia kita berdua,” ucap Paman Adi.

Aku heran kenapa Paman Adi harus menyembunyikan kedatangannya? apakah hal ini akan menjadi masalah? menurutku ibu juga tidak keberatan jika mengetahui hal ini. Ah, sudahlah, terserah Paman Adi. Aku  mengikuti perintahnya  saja. 

Meskipun perkataan dia sebenarnya sangat memberatkanku. Setelah bergelut dengan pikiran sendiri, aku kembali tersenyum ketika Paman Adi berpamitan dan menatap kosong mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Lamunanku tersadar ketika mendengar suara seseorang, “Bengong mulu dari tadi. Kenapa? kesambet baru tau rasa lo,” tanya bang Andre bingung.

Aku terkejut, kemudian tertawa mendengar ucapannya “Enggak bang, gapapa,” jawabku.

Ia menatapku serius kemudian kembali bertanya, “Beneran? muka lu kayak mayat hidup, noh, liat,” tanya bang Andre.

Aku terkekeh mendengar ocehan temanku itu, logat betawinya yang khas selalu membuat siapa saja tertawa.  Namun benar kata Bang Andre, wajahku seperti mayat hidup. Entahlah, sepertinya aku butuh waktu untuk istirahat. Badanku rasanya remuk sekali, apalagi ditambah dengan pikiran yang terus berkecamuk. 

Hari terus berlalu, libur semester pun tiba. Aku sudah menyiapkan perbekalan untuk pulang kampung. Setelah semuanya sudah siap, aku bergegas menuju stasiun. Kereta yang aku tumpangi sudah datang. Untungnya, keberuntungan berpihak kepadaku karena bisa duduk di kursi sebelah kanan dekat jendela. Suara gesekan antara roda kereta dengan rel terdengar jelas, hal ini menandakan kereta telah berjalan. 

Aku mendengarkan lagu berjudul “Gugatan Rakyat Semesta” dari Feast, band indie asal Indonesia. Musiknya yang keras berhasil menghipnotisku selama perjalanan hingga tak terasa aku sudah sampai di stasiun tujuan. 

Aku turun dari kereta dan menuju ke pangkalan ojek yang sudah menjadi langgananku ketika libur semester tiba. Kampungku tidak terlalu jauh dari stasiun, hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit. Setelah sampai rumah, aku mendapati ibu sudah menyiapkan segalanya. Ia masak besar hari ini karena tahu anak bujangnya akan pulang. Kita makan bersama-sama dengan tenang, sesekali aku menggoda Mbak Ajeng karena ia dikagumi oleh duda tua di kampung kami. Sayangnya, kehangatan itu hilang ketika ibu melayangkan satu pernyataan.

“Mas, kemarin pamanmu datang lagi kesini buat ngomongin masalah kemarin. Dia bilang besok pagi mau datang kesini karena tahu kamu sudah pulang,” ujar ibu.

Aku yang mendengar perkataan ibu hanya bisa tersenyum kaku kemudian menjawab, “Iya bu, nanti biar Mas aja yang ngomong, ya. Ibu tenang aja, Mas pasti mengambil keputusan yang terbaik,” 

Keesokan harinya, paman Adi tidak hanya datang seorang diri, tapi bersama istrinya dan Tio. Sebagaimana mestinya, kami menyambutnya dengan hangat. Pembahasan awal hanya diisi dengan basa-basi menanyakan kabar kesibukan dalam keseharian, deheman paman Adi membuka pembahasan utama kami, ia menanyakan bagaimana keputusanku apakah akan menjual atau tidak.

Dengan keberanian aku menjawab pertanyaan Paman Adi dengan tegas, “Sebelumnya Gala minta maaf Paman, setelah dipikirkan dengan baik, Gala tidak akan menjual tanah peninggalan bapak. Paman juga tau, kalo kami hanya punya itu saja,”

Ketika mendengar keputusanku, raut wajah Paman Adi terlihat tidak terima dan sorot matanya menatap tajam. Seakan-akan jawabanku tidak sesuai ekspektasinya. Ia juga menatap lekat wajah ibu, berspekulasi bahwa aku dipengaruhi oleh ibu. Ibu yang merasa diperhatikan pun membalas dengan tatapan dingin, ia mengerti bahwa adik iparnya itu berpikir macam-macam. Tak ada rasa takut sama sekali di dalam diri ibu. Suasana begitu mencekam, rasanya aku tak bisa menghirup oksigen seperti biasanya. Kami masih diam, menunggu balasan Paman Adi.

“Kenapa Gal? Mbak? Perasaan aku ini selalu membantu kalian. Bahkan, aku susah-susah mencarikan kos untukmu, Gal! Aku yang daftarin kamu di Universitas Swasta terbaik! Sampai sekarang kamu dapat beasiswa, itu berkat siapa?aku, Gal!” protes Paman Adi dengan nada tinggi.

Bentakan Paman Adi hanya membuatku terdiam. Aku melihat ibu sudah menahan emosinya agar tidak meledak. Sedangkan, Mbak Ajeng mengusap bahu ibu, mengisyaratkan untuk tidak mengeluarkan emosi untuk orang temperamen seperti dia. Bayangkan saja, teriakkan seorang aparat berpangkat tinggi di ruang tamu yang sempit. Aku rasa para tetangga pun tahu, dan penasaran apa yang terjadi di rumahku, tapi mereka hafal betul bagaimana sikap Paman Adi seperti apa sehingga mereka memutuskan untuk acuh.

Raut wajah Paman Adi memerah pertanda kemarahan. Ia kembali menatap nyalang ke arah ibu dan menunjuknya penuh emosi, “Keluarga apa sih ini? giliran aku yang butuh kok malah kayak gini. Kurang apa sih aku selama ini, hah? Mbak, ini pasti salah kamu kan? ngaku, mbak! pasti kamu yang hasut keponakanku,” tuduhannya yang tidak masuk akal semakin menggila.

Ibu tak terima ketika mendengar ucapan Paman Adi. Dengan tegas ibu bilang bahwa semua ini adalah seratus persen keputusanku. Ia menatap marah Paman Adi, deru nafas ibu terlihat jelas menahan amarah, “Maksudmu apa, Adi, kamu nyalahin mbak? apa yang diucapkan Gala itu keputusan dia. Buat apa aku menghasut anak ku sendiri?” tanya ibu.

Paman Adi tidak terima ketika  mendengar sanggahan dari ibu kemudian ia menaikkan nada bicara, “Gala itu anak kemarin sore, Mbak! mana mungkin dia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa hasutan dari kamu.” Aku tidak terima ketika Paman Adi membentak ibu dan merendahkanku. Aku ini sudah dua puluh satu tahun dan sudah dewasa dalam mengambil keputusan. Sungguh tak habis pikir dengan jalan pikirannya Paman Adi. 

Aku menggenggam erat tanganku, emosi yang sedari tertahan kini meluap. Aku menggebrak meja dan melemparkan semua benda dan meluapkan emosiku di depan paman Adi dan istrinya , Tio, ibu, dan  mbak Ajeng. Mereka terkejut karena aku jarang sekali mengekspresikan kemarahan. Aku tidak suka dengan sikap arogan Paman Adi. Seakan-akan seluruh dunia harus selalu tunduk dan patuh kepadanya. Tidak semua orang takut kepada aparat seperti Paman Adi, kan? aku menatap tajam dia sebagai bentuk perlawananku. Berani-beraninya ia merendahkan dan membentak ibu.

Tiba-tiba aku terkekeh geli, “Oh, jadi mau adu siapa paling baik, nih, ceritanya?” tanyaku menantang.

Sejenak aku memalingkan wajah ke arah Mbak Ajeng yang sedang menatapku penuh arti,  kemudian aku kembali menatap wajah tua Paman Adi. Dengan penuh emosi aku menunjuk Paman Adi, “Seharusnya paman malu, yang jadiin paman kayak gini itu bapakku!” Aku menghela napas dengan keras. “Bapak sampai jual semua sawah yang ia punya hanya demi Paman menjadi aparat! Sekarang dengan seenak jidat kamu mau membeli satu-satunya harta yang kami punya? aparat bajingan kamu!” sambungku dengan nada tinggi. 

Suasana kembali hening, Paman Adi terkejut mendengar pembelaan dariku. Kebingungan kenapa aku bisa mengetahuinya, padahal waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti. Aku tahu semua ini bukan dari ibu ataupun Mbak Ajeng, tapi karena membaca buku harian bapak. Bagaimana usaha bapak agar Paman Adi bisa mencapai cita-citanya itu, tapi sayangnya ia malah menjadi aparat yang arogan. Paman adi menatapku benci, ia masih saja dengan sikapnya yang keras kepala karena tetap bersikukuh ingin membeli tanah di belakang rumahku itu. 

Dengan nada datar, Paman Adi berkata, “Ya sudah kalau begitu, aku terima. Tapi maaf, jika ada apa-apa aku tidak bisa membantu kalian lagi,”

Setelah mengucapkan hal tersebut, Paman Adi yang diliputi rasa kemarahan membanting pintu rumah kami dan pergi begitu saja, disusul oleh istrinya dan Tio. Aku, ibu dan Mbak Ajeng terkejut dengan kepergian Paman Adi. Kami saling pandang dan terkekeh geli, karena baru kali ini menemukan manusia seperti Paman Adi. Aku berkata kepada ibu dan Mbak Ajeng tidak perlu takut kepada orang seperti itu, aku percaya semesta tak akan diam saja melihat semua ini. 

Setelah kejadian itu, Paman Adi benar-benar memutuskan silaturahmi dengan kami. Tiada pesan yang menanyakan kabar lagi. Akupun sudah kembali menggeluti dunia perkuliahan seperti biasanya. Bedanya sekarang aku tinggal di tempat kos yang baru yang lebih murah. Sekarang, jauh terasa lebih nyaman karena aku tidak lagi tinggal di kos pilihan Paman Adi. 

Aku berharap agar pemikirannya bisa jauh lebih terbuka. Tidak semua hal bisa ia dapatkan dengan mudah. Apalagi jika mengandalkan jabatan untuk mempermudah urusannya. Aku juga akan membuktikan, bahwa aku dan keluarga juga bisa hidup tanpa bantuan dari paman Adi yang tak lain juga seorang aparat yang berperilaku sewenang-wenang.

 

IRMA SRI RAHAYU

Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: PRITA STANIA AGUSTINA

One thought on “Sepetak Tanah”
  1. Just as much as I did, I relished what you accomplished here. Your language is elegant and the drawing is enticing, yet you appear rushed to get to the next thing you should be providing. If you keep this walk safe, I’ll come back more often.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *