Menyelami trauma antargenerasi melalui Everything Everywhere All at Once

Judul: Everything everywhere all at once

Genre: Science fiction, action, comedy

Sutradara: Daniel Kwan dan Daniel Scheinert

Durasi: 140 menit

Rilis: 22 Juni 2022

“Daughters are fixated on their mothers for good reason. They’re oracles for us, a peek into the future but also a vision of the past.” 

Kutipan dari Scaachi Koul dalam artikel “I Made My Mom See Everything Everywhere All At Once And We Both Cried”

Everything everywhere all at once adalah film garapan A24 yang di sutradarai oleh The Daniels: Daniel Kwan dan Daniel Scheinert. Film ini mendominasi Academy Awards ke-95 atau Piala Oscar 2023 dan berhasil membawa pulang penghargaan terbanyak dengan tujuh piala dari total 11 nominasi, termasuk best picture yang menjadi kategori paling prestise.

Film ini mengisahkan tentang seorang ibu imigran asal Cina bernama Evelyn yang menemukan dirinya berada di tengah-tengah konflik multiversal dan harus menyesuaikan diri sebagai seorang pahlawan super dalam menyelamatkan dimensi multiversal tersebut dari kekuatan destruktif. Di tengah-tengah konflik itu Evelyn juga harus menghadapi realita pahit yang tak ada habisnya. Bisnis binatunya di ambang kehancuran, begitu pula dengan pernikahannya. Dia pun harus berjuang untuk membenahi hubungan dengan putri semata wayangnya, Joy. 

Namun di balik plot yang kompleks, film ini juga berhasil menyentuh tema trauma antargenerasi yang diwariskan dari generasi ke generasi lainnya yang terjadi di keluarga Asia. Hal tersebut disuguhkan pertama kali lewat potret bagaimana Evelyn tumbuh di keluarga dengan norma dan tradisi patriarkal yang keras. Ia kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, semua pencapaian yang ia raih semasa hidupnya tidak pernah diapresiasi oleh orang-orang sekitarnya. Segala sesuatu yang ia tuai ketika ia beranjak dewasa, ia tanam dalam pola asuhnya terhadap Joy. Secara tidak langsung, norma dan tradisi yang dipelajari Evelyn dari orang tuanya sendiri berdampak pula pada hubungan Evelyn dengan Joy. 

Joy, menurut Evelyn adalah seorang pembangkang. Ia tak pernah menuruti semua perkataan Evelyn, tak pernah menghubunginya, dan hanya pulang ke rumah ketika ia butuh sesuatu yang bersifat material. Joy sendiri pun memiliki seorang pacar perempuan yang kemudian ditentang habis-habisan oleh Evelyn, karena menurutnya itu menyalahi norma yang keluarga mereka bawa sejak dulu.

Alih-alih berusaha memperbaiki hubungan tidak sehat dengan Joy, Evelyn malah terus menurus menyalahkan Joy atas semua perilaku buruknya. Ia juga tak segan-segan mengatai bentuk fisik Joy dan bagaimana Joy berpenampilan. Tak pernah Evelyn sadari bahwa akar permasalahan sebenarnya dari hubungannya dengan Joy adalah trauma yang ia bawa sejak kecil. Ia memproyeksikan hal-hal yang ia benci ketika ia tumbuh dewasa kepada Joy.

Di intervensi teori terapi keluarga oleh Virginia Satir, dalam hubungan antara orang tua dan anaknya, kesadaran diri dan pandangan individu tentang dunia berasal dari keluarga asal. Dengan kata lain, pandangan orang tua Evelyn akan diturunkan kepada Evelyn, kemudian turun pada Joy, dan seterusnya. Saat Evelyn beranjak dewasa, ia secara tidak sadar mengulangi pola interaksi orang tuanya yang berdampak buruk pada dirinya. Evelyn tidak dapat mengabaikan pengaruh keluarga terhadap perkembangan pribadinya. 

Evelyn menganggap bahwa pola asuhnya tidak salah karena memang begitulah cara dia dibesarkan. Lagipula, dia merasa bahwa ia tumbuh baik-baik saja ketika dewasa. Inilah alasan mengapa Evelyn sepertinya tidak bisa memahami rasa sakit yang dia timbulkan pada Joy. Di sisi lain, ini juga yang menyebabkan Joy memiliki perasaan kelam, marah, dan sakit hati terhadap ibunya meskipun dia tahu bagaimana Evelyn dibesarkan. Dari perspektif ini, ketika hubungan orang tua-anak terganggu, maka faktor utamanya adalah masa kecil orang tua atau pengalaman dari keluarga sebelumnya.

Dalam film ini, kita dihadapkan dengan dua karakter utama yang berjuang untuk mengatasi trauma masa lalu mereka, yang akan berdampak pada generasi berikutnya. Dengan pendekatan emosional dan sentuhan kreativitas yang cerdas, film ini berhasil menggambarkan bagaimana trauma antargenerasi berdampak pada hubungan keluarga. Film ini juga mempertunjukan bagaimana karakter seorang ibu dan anaknya berjuang untuk memahami dan mengatasi trauma yang diwariskan dari generasi sebelumnya.

Beberapa adegan Everything Everywhere All at Once berhasil menangkap esensi dari dampak trauma antargenerasi secara mendalam dan terperinci. Ketika Evelyn dan Joy merenungkan kenangan-kenangan lama, terlihat dengan jelas betapa sulitnya untuk melepaskan diri dari beban masa lalu dan bagaimana trauma itu mempengaruhi hubungan mereka.

Di akhir film, kita ditunjukan bagaimana rekonsiliasi konflik antara Evelyn dan Joy mulai terbentuk. Evelyn sadar bahwa Joy adalah entitas lain dengan otonomi dan pemikiran pribadinya sendiri. Ia tidak sepenuhnya punya andil atas semua pilihan hidup Joy. Walaupun begitu, Joy tetap membutuhkan Evelyn sebagai figur ibu di hidupnya. Evelyn akhirnya menyadari kesalahan yang dia lakukan pada Joy dengan tidak melihat Joy apa adanya. Joy sendiri mulai belajar untuk memahami kondisi dan trauma yang Evelyn bawa sejak kecil. Dengan semua upaya mereka, mereka berharap dapat memutus rantai trauma antargenerasi tersebut.

Melalui adegan-adegan yang menarik dan dialog-dialog yang tajam, Everything Everywhere All at Once berhasil menunjukkan bahwa trauma antargenerasi bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan mudah, tetapi merupakan proses yang membutuhkan pemahaman dari semua pihak, kerja keras, juga kesabaran. Film ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya pengertian, dukungan keluarga, dan cinta dalam mengatasi trauma antargenerasi dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan generasi berikutnya. Secara keseluruhan, Everything Everywhere All at Once adalah sebuah karya yang menggugah dan memikat, dengan pesan penting yang diungkapkan dengan cara yang unik dan penuh kreativitas. 

ALISYA NUR FACHRIZA

Referensi: 

CNN Indonesia. 2023. Raih 7 Piala, Everything Everywhere All at Once Juara Umum Oscar 2023. Diakses dari laman CNN Indonesia pada 19 Maret 2023 pukul 21.00 WIB.

Scaachi Koul. 2022. I Made My Mom See “Everything Everywhere All At Once” And We Both Cried. Diakses dari Buzzfeed.News pada 18 Maret 2023 pukul 22.30 WIB.

Ziru Xian, dkk. (2022) The Application of Satir’s Iceberg Theory in Family Therapy: Evidence from the film text, dialogue and Evelyn’s Characteristic in Everything Everywhere All at Once as an example. Proceedings of the 2022 5th International Conference on Humanities Education and Social Sciences (ICHESS 2022)