Akun-akun cabul beberapa universitas (sumber: pikiran-rakyat.com)

Berbicara soal kekerasan seksual memang tak ada habisnya. Fenomena gunung es yang menyertainya dan penindakan yang seringkali tidak memuaskan banyak pihak, terutama pihak korban,  menjadi faktor utama yang berkontribusi langsung pada langgengnya tindak kekerasan seksual di berbagai settings, termasuk institusi pendidikan.

Berdasarkan data yang dikutip dari laman berita voaindonesia.com yang berjudul Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Paling Tinggi di Universitas yang diterbitkan pada 12 April 2022, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk raihan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2015-2021. Fakta semacam ini mengkhawatirkan, sebab institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi insan penuntut ilmu malah menjadi sarang predator seksual.

Di sisi lain, generasi muda sebagai digital natives juga mengembangkan suatu sistem kontrol sosial terbaru untuk menanggapi suatu isu. Cancel culture dan shaming pelaku kekerasan seksual melalui kemunculan akun Instagram kampus cabul digadang-gadang menjadi mekanisme yang efektif untuk memberikan sanksi sosial terhadap pelaku, meskipun pada akhirnya fenomena ini melahirkan pertanyaan lanjutan, sejauh mana akun semacam ini membantu korban?

Jalan Panjang Keadilan

Tahun 2018 menjadi titik awal bagi maraknya publikasi kasus kekerasan seksual setelah terbitnya pemberitaan Balairung Press yang bertajuk Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan. Satu per satu kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus mulai terungkap dan mendapatkan atensi publik secara luas. Kolaborasi  #NamaBaikKampus pada tahun 2019, yang diusung oleh Tirto, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post berhasil mengumpulkan 174 testimoni atas kasus kekerasan seksual yang berasal dari 79 kampus yang tersebar di 29 kota. Di antara banyaknya penyintas, hanya 29 orang yang melapor.

Kemendikbudristek pun melakukan survei lanjutan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan di PTN serta PTS yang tersebar di wilayah barat, timur dan tengah Indonesia. Hasilnya, 77% responden menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di institusi pendidikan tempatnya bernaung dan sebanyak 63% responden tidak melaporkan kasus yang terjadi.

Nadiem Makarim, Mendikbudristek, menyebut kondisi ini sebagai pandemi kekerasan seksual. Sebagai respons reaktif terhadap fenomena yang terjadi, Kemendikbudristek menetapkan Permendikbudristek No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang selanjutnya akrab disebut sebagai Permendikbud PPKS, pada 31 Agustus 2021. Tiga poin utama peraturan ini terdiri atas langkah preventif, mekanisme penanganan, dan ketidakberulangan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang dilaksanakan melalui pembentukkan satgas non ad-hoc.

Dalam perjalannya, Permendikbud Ristek PPKS mendulang sejumlah kontroversi. Aturan ini dianggap melazimkan perzinahan. Publik ramai membicarakan soal consent yang ditengarai tidak sesuai dengan norma kesusilaan yang berlaku di Indonesia.

Adapun, realisasi pembentukkan satgas PPKS masih sangat jauh dari harapan. Pada tahun 2022, seluruh kampus ditargetkan untuk merampungkan pembentukkan satgas PPKS. Nyatanya, per 17 Maret 2022, berdasarkan keterangan Plt. Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek yang dikutip dari laman berita Tirto.id bertajuk “Kemendikbud: Satgas PPKS Baru Terbentuk di 5 Kampus”, baru lima kampus yang telah membentuk satgas PPKS. Minimnya implementasi dari aturan ini disebut-sebut disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai panitia seleksi satgas dan anggota satgas itu sendiri.

Cancel Culture: Sanksi Sosial untuk Predator Seksual

Secara sederhana, cancel culture dapat diartikan sebagai upaya pemboikotan massal terhadap pihak-pihak yang dianggap problematik dan apapun yang terkait dengannya. Cancel culture berakar dari Woke Culture yang awalnya tumbuh di Amerika Serikat sebagai suatu alat pengendalian sosial. Dewasa ini, cancel culture terjadi secara masif di media sosial dengan mekanisme call-out. Kemunculannya berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan proses demokratisasi di media yang akhirnya melahirkan konsepsi bahwa berbicara adalah resistansi. Media sosial kini telah menjadi ruang alternatif bagi kaum marginal untuk berkumpul dan memperjuangkan kepentingannya. Media sosial mengakomodasi kebutuhan mereka untuk saling terhubung dalam hal pembentukkan narasi kontra dan aktivisme.

Call-out terhadap terduga pelaku dan pelaku kekerasan seksual sudah marak terjadi, yang paling terkenal adalah gerakan #MeToo di Twitter. Gerakan ini diprakarsai oleh Alyssa Milano, artis berkebangsaan Amerika Serikat, yang mengajak para pengikutnya untuk berbagi kisah kekerasan seksual yang dialami. Dari Hollywood, #MeToo menyebar cepat ke seluruh dunia. Di Indonesia, call-out di media sosial seringkali dipandang efektif untuk mengawal kasus kekerasan seksual. Hal ini dapat terlihat pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Ibrahim Malik. Cancel culture berhasil mengambil titel mahasiswa berprestasi dari Universitas Islam Indonesia yang disandangnya pada tahun 2015 akibat kekuatan warganet di media sosial.

Akun Cabul Universitas, Membantukah?

Kemunculan akun Instagram yang khusus ditujukan untuk melakukan shaming terhadap pelaku kekerasan seksual telah menjadi sorotan publik beberapa waktu ke belakang. Akun @ugm.cabul menjadi pionir yang menciptakan efek domino pembentukkan akun serupa di sejumlah perguruan tinggi. Banyak pihak yang mengapresiasi kehadirannya, namun tidak sedikit juga yang kontra.

Pihak yang pro menganggap langkah ini sebagai upaya efektif untuk memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Mengingat, pelaku kerap kali lolos dari jeratan hukum dan masih bisa melanjutkan kehidupannya. Sedangkan, korban sering kali mengalami trauma dan reviktimisasi. Pihak yang kontra mempertanyakan intensi pembuatan akun karena dianggap tidak mengedepankan upaya pemulihan terhadap korban dan malah sibuk menggembar-gemborkan cancel culture di media sosial.

Sejatinya, kemunculan akun-akun semacam ini dapat berarti satu hal, yakni tidak tersedianya ruang aman bagi korban kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan oleh rendahnya partisipasi perguruan tinggi dalam upaya pembentukkan satgas PPKS, sehingga korban kebingungan untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya. Pasalnya, satgas PPKS yang ditujukan untuk tujuan tersebut saja belum terbentuk. Sebelum terbentuknya satgas, penanganan atas laporan kekerasan seksual dilakukan oleh kampus dan dalam praktiknya ditemukan banyak masalah. Penindakan yang berjalan lambat, penjatuhan sanksi yang tidak adil, pengabaian laporan dan tindakan menyalahkan korban oleh otoritas kampus adalah serentetan rintangan korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan. Akibatnya, cancel culture lewat media sosial dianggap lebih mudah, cepat dan terjangkau.

Namun, pelaksanaan cancel culture di media sosial bukan berarti berjalan tanpa resiko. Publikasi tindakan kekerasan seksual oleh korban dan para pendukungnya berpotensi menghadapkan mereka pada persoalan hukum. Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan celah bagi para pelaku untuk menuntut balik korban dan pendukungnya dengan delik pencemaran nama baik. Pola semacam ini sempat terjadi pada kasus Baiq Nuril, seorang tenaga honorer di SMAN 7 Mataram yang mendapatkan pelecehan seksual dari kepala sekolah di tempatnya bekerja. Sebagai korban, Baiq malah dikriminalisasi dan dinyatakan bersalah karena telah merekam percakapan mesum kepala sekolah tanpa consent. Ia divonis enam bulan penjara dan denda sebesar 500 juta. Hakim menilai Baiq melakukan tindak pidana mendistribusikan konten kesusilaan sebagaimana tercantum dalam pasal 27 UU ITE.  Padahal, apa yang dilakukan Baiq semata-mata ditujukan untuk menghadirkan bukti atas tindakan tidak senonoh kepala sekolah terhadap dirinya.

Selain itu, cancel culture juga berpotensi mereviktimisasi korban. Fakta ini tidak bisa ditampik sebab tendensi menyalahkan korban telah mengakar kuat dalam rape culture di Indonesia. Akan selalu ada warganet yang menginvalidasi trauma korban dengan menyebut korban sebagai pencari perhatian, pembual, dan bahkan menganggap korban sebagai orang yang pantas untuk menerima kekerasan seksual.

Tindakan call-out dalam cancel culture terhadap pelaku kekerasan seksual tidak bisa dilaksanakan tanpa menyiapkan infrastruktur keamanan yang mumpuni. Pemulihan korban harus menjadi fokus utama penanganan. Ini artinya, akun Instagram cabul universitas juga harus dapat menyediakan layanan advokasi untuk menghubungkan korban kekerasan seksual dengan sistem sumber yang diperlukan. Belum lagi, pihak yang terlibat di belakangnya juga harus mengantisipasi ancaman terhadap korban, mulai dari ancaman doxing hingga intimidasi dari pelaku kekerasan seksual.

Lantas, apakah kehadiran akun cabul kampus dapat didayagunakan? Ya, tentu saja. Namun, diperlukan sejumlah strategi khusus untuk mengoptimalkan kehadirannya.

Pertama, akun cabul kampus harus senantiasa bertindak atas consent dari korban. Perlindungan identitas korban menjadi poin utama yang harus diperhatikan. Kedua, publikasi pelaku kekerasan seksual harus didasarkan atas kronologi dan bukti yang lengkap untuk menghindari potensi hukum. Lebih baik lagi jika akun kampus cabul mempublikasikan tindak kekerasan seksual yang telah diproses seperti yang dilakukan oleh @unpadcabul yang turut menyertakan surat keterangan resmi sejumlah lembaga kemahasiswaan yang membeberkan tindakan pelaku. Ketiga, setidaknya pihak yang berada di balik akun harus memiliki pemahaman yang kuat atas kasus-kasus kekerasan seksual, terutama dalam hal penggalian informasi, supaya tidak menimbulkan trigger bagi trauma korban.

Akhir kata, cancel culture boleh jadi efektif ketika ruang aman bagi korban belum tersedia. Asalkan, dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Jangan sampai korban malah mendapatkan beban tambahan.

RIZKY RAHMALITA

Editor: R.SABILA FAZA RIANA

 

Referensi:

Kemendikbud: Satgas PPKS Baru Terbentuk di 5 Kampus. (17 Maret 2022). tirto.id. https://tirto.id/kemendikbud-satgas-ppks-baru-terbentuk-di-5-kampus-gpZ6\

Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, Paling Tinggi di Universitas. (12 April 2022). voaindonesia.com. https://www.voaindonesia.com/a/komnas-perempuan-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan-paling-tinggi-di-universitas/6525659.html

Nisa, Y. E. J. (2022, Juni). Cancel Culture Kasus Kekerasan Seksual di Kalangan Followers Autobase Twitter @Areajulid. Journal Civic and Social Studies, Vol. 6(1), 37-43. https://doi.org/10.31980/civicos.v6i1.1614

Shaming’ Pelaku Kekerasan Seksual: Bisa Efektif Tapi Berisiko bagi Korban. (14 Oktober 2020). magdalene.co.

https://magdalene.co/story/shaming-pelaku-kekerasan-seksual-bisa-efektif-tapi-berisiko-bagi-korban

Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota. (23 April 2019). tirto.id. https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW

29 thoughts on “Akun Cabul Universitas: Berguna atau Berbahaya?”
  1. Simply want to say your article is as surprising. The clearness on your publish is simply spectacular and i can think you are knowledgeable in this subject. Well with your permission allow me to seize your RSS feed to stay up to date with forthcoming post. Thank you one million and please keep up the gratifying work.

  2. Hey There. I found your blog using msn. This is a very well written article. I will be sure to bookmark it and come back to read more of your useful information. Thanks for the post. I will definitely comeback.

  3. I am curious to find out what blog system you are utilizing? I’m experiencing some minor security problems with my latest site and I would like to find something more risk-free. Do you have any suggestions?

  4. I think this is one of the so much significant information for me. And i’m satisfied reading your article. However want to statement on few basic things, The site taste is ideal, the articles is really excellent : D. Good activity, cheers

  5. I don’t even know how I ended up here, but I thought this post was good. I don’t know who you are but definitely you are going to a famous blogger if you are not already 😉 Cheers!

  6. Im not that much of a online reader to be honest but your blogs really nice, keep it up! I’ll go ahead and bookmark your site to come back down the road. All the best

  7. Fascinating blog! Is your theme custom made or did you download it from somewhere? A design like yours with a few simple adjustements would really make my blog shine. Please let me know where you got your design. With thanks

  8. When someone writes an article he/she keeps the plan of a user in his/her mind that how a user can understand it. So that’s why this piece of writing is great. Thanks!

  9. I used to be recommended this blog by means of my cousin. I am now not positive whether this publish is written by way of him as no one else understand such exact approximately my problem. You are amazing! Thank you!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *