Sumber: Instagram.com/0910.url

 

Judul Buku: Saksi Mata

Pengarang: Seno Gumira Ajidarma

Penerbit: Pabrik Tulisan

Terbit: 2021 (Terbitan Pabrik Tulisan)

Tebal: 158 halaman

Kategori: Kumpulan Cerita Pendek

 

Salah satu fungsi karya sastra adalah untuk merayakan kemanusiaan atau sekurang-kurangnya menjadi penanda zaman tentang memori yang membekas terhadap masalah dan konflik kemanusiaan. Dalam kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Saksi Mata, Seno menceritakan beragam kisah penderitaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat terjajah dan ditindas oleh rezim pemerintah atau rezim militer yang dikirim ke daerah terkait untuk menekan pemberontakan.

Ketika seorang saksi tiba di ruang pengadilan tanpa sepasang mata, dengan kedua lubang matanya masih mengucur darah yang membasahi pakaian, mengaliri ruang sidang, semua orang bisa dipastikan bakal lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan horor itu. Hakim mungkin tak akan sempat mengetuk palu untuk menghentikan persidangan dan petugas pengadilan mungkin bakal segera membawa saksi itu keluar. Tapi, itu tak terjadi. Pengunjung pengadilan memang gempar, namun tak berlangsung lama. Hakim segera menguasai keadaan dan melanjutkan pemeriksaan si saksi. Semua berjalan normal, seperti lazimnya persidangan. Sungguh bukan gambaran riil tentang dunia manusia!

Begitulah pilihan estetika Seno dalam cerpen ini. Dia tak sedang mengaburkan batas antar gambaran dunia nyata dan fantasi dalam fiksi. Bukan itu! Keadaan tak masuk akal itu memang digambarkan “terjadi” dalam setting dunia riil manusia; suasana persidangan. Bahkan, si saksi kemudian bersaksi bahwa kedua matanya dicongkel dengan sendok dalam mimpi oleh segerombolan orang.

Di sini, Seno menciptakan lapisan fantasi di atas fantasi. Ia melakukan itu tanpa menjelaskan mengapa semuanya bisa terhubung dengan gambaran kenyataan. Dan memang tak perlu dijelaskan karena realisme magis pilihan estetika itu menganggap apa yang tak masuk akal adalah sebuah kenormalan atau kelaziman, dan sama pentingnya dengan apa yang dianggap masuk akal.

Realisme magis yang kerap dihubungkan dengan kesusastraan di Amerika Latin, terutama dengan pengarang seperti Gabriel Garcia Marquez mengajak pembaca mencari tahu apa yang ada di balik fiksi dan fakta. Dengan pilihan estetika ini, Seno seakan ingin mengatakan kekejaman yang terjadi secara faktual bisa sama atau bahkan lebih sadis dengan gambaran fiktifnya. Atau bahwa kekejaman faktual bisa begitu lazimnya terjadi, seperti normalnya semua orang di persidangan saat melihat saksi tanpa mata itu. Perbedaannya, jika di dunia nyata coba ditutupi, kekejaman dalam fiksi tak bisa dibendung. Ia mengucur deras seperti darah yang mengaliri seluruh lantai dan jalanan di luar gedung pengadilan.

Banalitas Kekejaman

Banalitas kekejaman atau banality of evil merupakan istilah yang diciptakan Hanna Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Melalui karyanya ini, Seno juga seolah menunjukkan bahwa kemerdekaan jiwa raga itu mahal harganya diperoleh setelah melalui pengorbanan banyak nyawa bertahun-tahun lamanya. Ia juga seolah menyampaikan bahwa kita manusia punya kecenderungan untuk menjajah manusia lainnya ketika merasa lebih superior dan berkuasa atas mereka. Bahwa kita semua mewarisi sifat-sifat mengerikan manusia yang membuat kita terkadang merasa malu pada diri sendiri dan sejarah kemanusiaan kita.

Itulah yang digambarkan Seno dalam Saksi Mata. Sepanjang buku, Seno melukiskan kengerian demi kegerian. Selain mata yang dicongkel (Saksi Mata) dan telinga yang dipotong (Telinga), ada wajah yang tak lagi berbentuk setelah didera penyiksaan hebat (Maria), mayat yang diseret kuda di atas jalan berdebu (Salvador), dan kepala yang ditancapkan di pagar rumah (Kepala di Pagar Da Silva).

Seluruh cerita pendek dalam buku ini mewakili pelbagai pengalaman kesedihan dan derita atas perjuangan yang dapat dialami oleh siapa pun. Sebagai penulis yang telah lama dan banyak menghasilkan karya-karya yang mengagumkan, Seno membuktikan bahwa Saksi Mata dapat menyentuh nurani kita sebagai pembacanya.

Perih, sakit, dan sadis yang kurasakan ketika membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, seolah nyawa manusia tak ada harganya. Pembantaian demi pembantaian tersaji jelas disetiap cerita-ceritanya. Kehilangan demi kehilangan, pertanyaan demi pertanyaan, dimanakah keluargaku, anakku, ayah ibuku, masihkah mereka hidup? Semua diceritakan dengan acuh tak acuh; dingin. Ketika membaca buku ini, aku benar-benar larut dalam ceritanya. Aku tak mampu membayangkan jika hidup pada zaman tersebut. Terlalu sulit untuk dibayangkan, terlalu sadis hidup kala itu, menyedihkan.

Teori Hegemoni Dalam Saksi Mata

Ada beberapa hal dalam cerpen Saksi Mata yang dapat diketengahkan sebagai bahan kajian berdasarkan teori hegemoni. Seno selain sebagai pengarang cerpen, ia juga seorang wartawan. Untuk itu, tentunya tidak terlalu jauh jika cerpen-cerpennya dikaitkan dengan usahanya dalam menyebarluaskan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat, dan juga pembelaannya terhadap kaum tertindas.

Hal ini tampak sekali kalau dihubungkan dengan perlawanannya terhadap hegemoni penguasa (dalam cerpen tidak eksplisit disebut penguasa, hanya ditampilkan sebagai hakim; hakim ini dianalogikan dengan penguasa atau pihak yang berada pada kelompok penguasa). Dalam hal ini, Seno sebagai pengarang dapat dianggap sebagai penentang hegemoni yang mewakili rakyat kecil tertindas atau terabaikan hak kemanusiaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Cerpen ini dilatarbelakangi oleh fakta sosial, yaitu insiden Dili 12 November 1991 di Dili, Timor Timur.

Sebagai wartawan, Seno merasa tidak dapat menyuarakan fakta dan kebenaran yang terjadi di masyarakat. Karena tidak dapat melaporkan peristiwa Insiden Dili secara objektif, maka ia memilih media lain sebagai alat penyampaiannya yaitu sastra, lebih khusus lagi cerpen. Karena melalui karya sastra atau cerpen tersebut, Seno merasa lebih bebas dan leluasa dalam menyampaikan fakta yang didapatkannya dari lapangan.

Sebagai seorang wartawan, Seno ingin menyampaikan laporannya tentang berbagai peristiwa yang berhubungan dengan insiden 12 November 1991 di Timor Timur. Namun demikian, sebagai wartawan yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta Jakarta, ia harus menelan pil pahit. Akibat pemberitaannya tersebut, ia dan dua kawannya—Redaktur Pelaksana dan Redaktur Dalam Negeri—dipindahkan ke tabloid lain.

Seno dan kawan-kawan digambarkan sebagai wakil dari kelompok yang tersubordinasi dan penguasa atau pemerintah sebagai agen hegemoni yang ditampilkan sebagai hakim, berusaha memengaruhi saksi mata yang memberikan kesaksiannya dalam pengadilan. “Saksi Mata” dalam cerpen tersebut dapat dianalogikan dengan pengarang sebagai seorang wartawan yang mengetahui fakta sebenarnya di lapangan, tetapi tidak diberi kesempatan untuk melaporkan fakta yang diperoleh.

Penutup

Sastra itu membebaskan. Barangkali itu yang ingin dikatakan Seno lewat kumpulan cerpen bertajuk Saksi Mata. Pada 1992, Seno dilepaskan dari tugasnya sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Jakarta Jakarta karena pemberitaan terkait insiden Dili. Hal itu mendorong penulisan sejumlah cerita tentang insiden tersebut, barangkali sebagai pengalihan dari ketakutan dan kemarahannya. Insan pers pada masa itu memang terpasung tirani. Ambruknya harapan, rusaknya kemanusiaan, kesepian yang mencekam, kemarahan, dan darah dilukiskan oleh Seno lewat kata-kata dalam kanvas buku setebal 158 halaman. Hati-hati dengan sepi, rindu, dan dendam bisa jadi sedemikian mengerikan.

Tanpa Majalah Jakarta Jakarta pun, ia tak kehabisan cara mencerita peristiwa Dili yang masih begitu dekat di mata dan ingatannya. Dan lewat Saksi Mata, Seno melakukannya dengan jalan sastra. Saksi Mata memang bukan buku tentang kewartawanan, namun sedikit banyak buku ini menggambarkan dunia seorang wartawan pada masa Orde Baru di mana penulisan berita begitu dibatasi.

Sebagian nama tokoh dalam cerpen-cerpen Seno dalam buku itu menggunakan nama Timur Leste—Timur-Timor—sebelum hilang. Karena memang disitulah ujung tombak cerita gambaran konflik Dili dalam sastra. Sebuah jalan lain seorang wartawan untuk bercerita, menyamarkan berita dibalik berita tentang apa yang tak seluruhnya termuat di media.

Melalui karya sastra ini, maestro sastra kita, Seno mengabadikan situasi konflik Timor Leste di masa jurnalisme dibungkam. Jika konteks Insiden Dili dan Orde Baru dilepaskan, masihkah Saksi Mata bermakna? Seno sendiri mencatat, “Cerpen-cerpen tersebut tetap mempertanggungjawabkan dirinya sebagai cerpen”. Tiga dekade setelah peristiwa berdarah itu, selama kekerasan negara dibenarkan, bolehlah diuji apakah Saksi Mata tetap relevan.

Saksi Mata mencampurkan konflik, jurnalisme, dan sastra, lalu diracik seperti minuman keras  

 

RIZAL FAUZAN

Editor: R.SABILA FAZA RIANA

Sumber:

Hartono. (n.d.). Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma Sebuah Analisis Dengan Teori Hegemoni. Jurnal diksi Fakultas Bahasa dan Seni UNY , 102-103 .

Nugraha, R. B. (2019). Konsep banalitas kejahatan menurut Hannah Arendt. Undergraduate thesis. Undergraduate thesis Widya Mandala Catholic University Surabaya, 48.

Nurhadi. (2008). Aspek Kekerasan Pelanggaran HAM di Eks-Timor Timur dalam Antologi Cerpen Saksi Mata sebagai Refleksi/Konstruksi Kondisi Sosial Politik. jurnal penelitian UNY, 15.

28 thoughts on “Tentang Catatan Kelam Dili 1991”
  1. When I originally commented I clicked the “Notify me when new comments are added” checkbox and now each time a comment is added I get four emails with the same comment. Is there any way you can remove me from that service? Thank you!

  2. I think this is one of the most significant information for me. And i’m glad reading your article. But wanna remark on few general things, The website style is great, the articles is really excellent : D. Good job, cheers

  3. Please let me know if you’re looking for a author for your weblog. You have some really great posts and I believe I would be a good asset. If you ever want to take some of the load off, I’d really like to write some articles for your blog in exchange for a link back to mine. Please blast me an e-mail if interested. Thank you!

  4. Hey there! I could have sworn I’ve been to this blog before but after browsing through some of the post I realized it’s new to me. Anyways, I’m definitely happy I found it and I’ll be bookmarking and checking back often!

  5. Pretty component of content. I simply stumbled upon your website and in accession capital to say that I acquire in fact enjoyed account your blog posts. Any way I’ll be subscribing in your augment or even I achievement you get right of entry to persistently rapidly.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *