Tangkapan layar Angga Saputra (kiri atas) selaku moderator, Poppy R. Dihardjo (kanan atas), penggagas komunitas Perempuan Tanpa Stigma, Iwan Awaluddin (kiri bawah), Dosen Ilmu Komunikasi UII, dan Nani Afrida (kiri bawah), Koordinator Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI, saat berlangsungnya Diskusi Publik bertajuk Benarkah Perempuan Diobjektifikasi oleh Media? pada Minggu, 30 Mei 2021 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan melalui aplikasi Zoom. (Isny Febriyanti Saputri/JUMPAONLINE)

Kampusiana, Jumpaonline – Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan selenggarakan Diskusi Publik dalam rangka memperingati hari jadinya yang ke-26. Diskusi yang mengambil tajuk “Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan Diobjektifikasi oleh Media?” tersebut digelar melalui aplikasi Zoom pada Minggu, 30 Mei 2021. Diskusi yang menghadirkan Poppy Dihardjo, founder Perempuan Tanpa Stigma, Iwan Awaluddin, Dosen Ilmu Komunikasi UII, serta Nani Afrida, Koordinator Bidang Anak, Perempuan dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Indonesia ini mendedahkan bagaimana media menampilkan perempuan.

Poppy Dihardjo mengatakan, perempuan seringkali mendapat larangan namun hampir minim pembekalan otonomi tubuh. Otonomi tubuh, menurut Poppy, berhubungan erat dengan integritas ketubuhan, di mana setiap manusia berhak hidup bebas dari tindakan yang diluar kemauan mereka tanpa takut untuk dilecehkan atau menjadi korban kekerasan seksual.

“Otonomi tubuh adalah kuasa dan kendali untuk menentukan pilihan atas tubuh dan masa depan diri kita, gak ada kekerasan tanpa kekerasan atau pemaksaan. Kalau kita membahas perempuan berpakaian yang memancing pelecehan, kita bisa membalikan ke kontrol diri masing-masing,” ujarnya.

Sementara itu, Iwan Awaluddin memaparkan, ada tuntutan bagaimana kebijakan, regulasi, dan nilai-nilai yang ada disekitar kita itu mempengaruhi cara media menampilkan perempuan. Menurutnya, hal ini bertalian dengan kepahaman pekerja media tentang isu-isu gender.

“Hal ini sangat penting, jangan sampai korban yang seharusnya dilindungi malah dijadikan sebagai objek, hiburan, sehingga ia menjadi korban dua kali. Korban oleh pelaku kemudian korban oleh media,” ujarnya.

Seiras dengan kedua pembicara lainnya, Nani Afrida, Koordinator Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen mengungkapkan, pada dasarnya wartawan memang melakukan hal seperti yang sudah dipaparkan oleh Poppy dan Iwan, karena itu memang terjadi di media. Namun, tutur Nani, untuk mengubah persepsi, media tidak bisa bergerak sendirian.

“Jadi, tidak bisa seratus persen media yang salah. Konsumen media juga harus diberi literasi, pembaca juga harus punya literasi untuk menyadari bahwa yang selama ini mereka ketahui gak semuanya benar,” pungkas Nani.

 

ISNY FEBRIYANTI SAPUTRI

Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *