Judul : A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis
Penulis : Chimamanda Ngozi Adichie
Alih bahasa : Winda A
Penerbit : Odyssee Publishing, Yogyakarta, 2019
Tebal : 79 halaman
Laki-laki dan perempuan berbeda, entah itu dalam hal hormon ataupun kemampuan biologis. Tetapi, itu semua tidak menjadi tolok ukur dalam menjalani peran di masyarakat yang mengharuskan perempuan mempunyai ranah yang sempit entah itu dalam lingkup politik, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Kita hidup di era untuk menjadi pemimpin itu tidak harus kuat fisik yang tentu saja merupakan ciri dari sebagain besar laki-laki, melainkan pengetahuan serta kecerdasan. Dan atribut-atribut tersebut tidak berasal dari hormon.
Adichie menyebutkan bahwa apabila kita melakukan sesuatu berulang-ulang kali sesuatu itu akan menjadi normal. Jika kita melihat hal yang sama berulang kali itu pun akan menjadi normal. Sebagaimana kita terus-menerus melihat laki-laki yang menjadi kepala perusahaan itu akan tampak ‘wajar’. Pedahal, di balik kewajaran tersebut tersimpan budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Dan sayangnya, masyarakat sering kali abai mengenai hal itu. .
Pernah suatu ketika, Adichie pergi ke salah satu restoran terkenal di Nigeria bersama dengan teman laki-lakinya. Para pelayan di restoran itu menyambut laki-laki yang bersamanya dan mengabaikan dirinya. Adichie tidak menyalahkan laki-laki yang bersamanya. Ia berkata bahwa para pelayan itu adalah produk dari masyarakat yang telah mengajarkan mereka bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan.
Argumen Adichie sangat jelas, melalui keresahan dan pengalaman pribadinya mengenai diskriminasi gender dari kejadian sehari-hari ia menginginkan semua manusia diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama.
Adichie pernah mempersoalkan tentang bagaimana perempuan harus selalu ‘disukai’ oleh laki-laki, dengan tidak boleh menunjukkan kemarahan, agresifitas, dan sifat keras. Sedangkan itu semua tidak berlaku sebaliknya. Laki-laki mempunyai ranah kebebasan yang lebih luas daripada perempuan.
Ia berargumen tentang kebebasan yang seharusnya dimiliki oleh perempuan “Yang bermasalah dengan gender adalah ia menentukan bagaimana kita seharusnya, bukan mengakui siapa kita sebenarnya. Bayangkan, betapa lebih bahagianya kita dan seberapa bebas diri kita sebenarnya, jika kita tidak memiliki beban ekspektasi gender,” hal tersebut sangat jelas bahwa, ketika masyarakat memandang perempuan dengan ekspektasi perempuan harus bisa memasak itu tidak memberikan kebahagiaan dan kebebasan sesungguhnya kepada perempuan. Pekerjaan semacam itu tidak harus selalu dikerjakan oleh perempuan karena bisa kita lihat juru masak yang dijuluki koki didominasi oleh laki-laki.
Di Nigeria, seorang perempuan tidak bisa datang ke hotel, bar, atau klub apabila sendirian, mereka harus ditemani oleh laki-laki. Karena asumsi disana menganggap bahwa apabila perempuan Nigeria datang sendirian pasti seorang pekerja seks.
Selain menceritakan tentang diskriminasi gender yang telah di alaminya, Adichie pun membahas tentang bagaimana kita membesarkan anak dengan konsep feminisme. Karena pada dasarnya masyarakat mempunyai “aturan khusus” dalam mendidik anak perempuan dan laki-laki. Ketika anak perempuan dididik untuk menjadi seseorang yang tidak mudah marah, agresif atau terlalu tangguh berbeda halnya dengan anak laki-laki yang dididik untuk menghindari ketakutan, kelemahan, dan kerentanan.
Inti cerita yang disajikan Adichie adalah bahwasannya anak laki-laki dididik dengan maskulinitasnya, sedangkan anak perempuan dididik untuk menjadi malu dan menutupi segala hal agar ‘disukai’. Hal itu berdasarkan budaya yang telah ada. Budaya tidak membentuk manusia, manusialah yang membentuk budaya. Tetapi kita tetap saja menganut budaya yang secara terang-terangan itu salah.
Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hirearki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Ini terlihat pada praktek masyarakat Indonesia pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang sedang bertugas di Indonesia.
Dalam hal pendidikan pun, masyarakat Indonesia terutama perempuan pada zaman dulu tidak dengan bebas mendapatkan hak pendidikannya. Karena terdapat aturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan.
Mirisnya, kejadian tersebut tidak hanya terjadi di masa lampau perempuan masa kini pun merasakan hal yang sama. Dan itu terjadi pada perempuan perdesaan, karena budaya patriarki masih sangat kental eksistensinya, mereka dipaksa untuk tidak melanjutkan pendidikan hanya karena mereka adalah perempuan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 perempuan di perkotaan yang berumur 15 tahun ke atas rata-rata bersekolah hingga kelas 1 SMA, sementara di perdesaan rata-rata bersekolah hingga kelas 6 SD atau 1 SMP.
Hal yang sama terjadi dalam pekerjaan, menurut data Badan Pusat Statistik pada 2020 menunjukkan bahwa hanya 34,65% perempuan Indonesia yang bekerja sebagai tenaga kerja formal, sedangkan pada laki-laki, tingkat ketenagakerjaan mencapai 42,71%.
Stigma yang melekat pada perempuan seperti perempuan lebih lemah dan tertinggal sebagai pekerja daripada laki-laki menjadi satu-satunya alasan mengapa pihak perusahaan lebih banyak mempekerjakan laki-laki.
Perempuan-perempuan masa kini harus bisa merasakan kemerdekaan dalam hak dan perannya dalam menjalani kehidupan. Seperti halnya Adichie, kita harus bisa dan berani dalam menghadapi ataupun memberantas paradigma yang terus langgeng keberadaanya di masyarakat.
Buku A Feminist Manifesto : Kita Semua Harus Menjadi Feminis menjadi salah satu buku yang menjabarkan konsep feminisme dengan sangat sederhana dan mudah untuk dipahami dalam waktu singkat. Selain itu, dalam buku ini, Adichie, menawarkan solusi praktis tentang apa yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti oleh pembaca.
ULFA NURAENI
Anggota Muda LPM ‘JUMPA’ Unpas