Tangkapan layar moderator acara (bawah kiri), Agung Wardana (bawah kanan) selaku staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Eko Prasetyo (atas kanan), founder Social Movement Institute saat menjadi pembicara kegiatan diskusi bertajuk Manufakturisasi Kurikulum dan Depolitisasi Gerakan Mahasiswa yang diselenggarakan oleh MAP Corner Klub MKP Universitas Gadjah Mada secara daring melalui  telekonferensi Zoom Metting pada Selasa, 2 Maret 2021. (Ismi Eldriyah/JUMPAONLINE)

Sumedang – Jumpaonline – MAP Corner Klub MKP Universitas Gadjah Mada menggelar diskusi bertajuk Manufakturisasi Kurikulum dan Depolitisasi Gerakan Mahasiswa secara daring melalui telekonferensi Zoom Meeting pada Selasa, 2 Maret 2021. Kegiatan ini diisi oleh Eko Prasetyo, founder Social Movement Institute dan Agung Wardana, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sebagai pembicara. Diskusi ini membahas dinamika gerakan mahasiswa kiwari.

Agung menjelaskan, bahwa gerakan mahasiswa hari ini hidup dalam situasi sosial yang mengalami berbagai perubahan besar. Berada dalam tekanan internal yang dilematik memungkinkan hadirnya model baru gerakan dengan tetap mempertahankan ide gerakan mahasiswa sebagai kekuatan progresif. Terlebih, tutur Agung, terjadi beberapa konflik antar gerakan mahasiswa dan kampus seperti, pelucutan legitimasi gerakan mahasiswa baik sebagai organ mahasiswa yang kritis maupun sebagai perluasan pengalaman kuliah.

“Contohnya seperti pembubaran atau pemberedelan pers mahasiswa hingga sanksi DO pada aktivis,” tambah Agung.  

Sementara itu, Eko Prasetyo menambahkan, titik perubahan gerakan mahasiswa menyadari bahwa politik pembebasan tidak lagi didasarkan pada isu seputar suksesi sebagaimana gerakan mahasiswa sebelumnya. Menurut Eko, mahasiswa harus bisa memahami struktur kelembagaan kampus mulai didasarkan pada tata kelola yang berpusat pada mekanisme pasar dengan menempatkan mahasiswa sebagai konsumen.

“Struktur kekuasaan baik di wilayah wali amanah, ikatan alumni hingga pemilihan rektor banyak melibatkan peran kekuasaan. Kampus juga menekan gerakan mobilisasi tenaga akademik untuk penempatan di lingkungan kekuasaan,” kata Eko Prasetyo.

Selain hal tersebut, Eko menambahkan, bahwa ekspresi politik yang makin alternatif menawarkan bentuk perlawanan kreatif, populer dan bisa melibatkan semua kalangan untuk terlibat. Pengoptimalan media sosial perlu dilakukan sebagai sarana propaganda untuk tetap melindungi kebebasan akademik dan protes atas kekerasan yang dilakukan pada aktivis mahasiswa.

 

ISMI ELDRIYAH

Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *