Cimahi, Jumpaonline – “Hak-hak kedaulatan untuk mereka (masyarakat Suku Bajo) tinggal pun juga bermasalah. Mereka diarahkan tinggal di darat, tapi wilayah itu tidak difasilitasi bahkan mendapat gangguan dari perluasan kebun sawit dan praktik pertambangan nikel,” ujar Meiky W. Paendong, Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat dalam gelaran nonton dan diskusi film besutan Dandhy Laksono, The Bajau. Acara yang diinisiasi oleh Swasembada Literasi tersebut dilaksanakan pada Minggu, 19 Januari 2020 bertempat di kedai SAM Kopi, Cimahi.
The Bajau sendiri berkisah tentang kehidupan Suku Bajau, komunitas adat ‘Sea Nomad’ atau pengelana laut. Seperti yang digambarkan dalam film tersebut, mereka ke daratan untuk menjual hasil tangkapan ikan, mengambil kebutuhan untuk menunjang kehidupan di laut, dan selebihnya anak-anak yang bersekolah.
“Orang Bajau tinggal di laut, biarkan kami di laut meski pun di darat punya rumah,” jelas seorang lelaki paruh baya dalam film dokumenter tersebut.
Tapi, menurut Meiky, di situlah letak permasalahan yang menimpa Suku Bajau. Hasil laut mengalami penurunan dengan dibukanya tambang nikel, atau paling tidak mereka mesti berlayar lebih jauh lagi demi mendapat hasil tangkapan ikan. Padahal, masih penuturan Meiky, Suku Bajau berbeda dengan korporasi yang sedikit banyak mengganggu kehidupan mereka. Suku Bajau berada di lautan tidak untuk mengeruk keuntungan ke dasar lautan paling dalam, mereka mencukupkan diri pada kebutuhan.
“Ada bahasa dari Suku Bajau, misalnya air menjadi keruh, lalu hasil laut menurun semenjak ada pelabuhan tambang nikel, bisa lambat laun menjadi suatu bencana ekologis,” ujar Meiky.
Meiky menjelaskan, bencana ekologis ini terjadi akibat kerusakan suatu ekosistem atau kondisi lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Rusaknya sumber daya alam atau kondisi lingkungan yang tidak lagi menunjang keberlangsungan masyarakat Suku Bajau sesuai budaya baharinya, membuka kemungkinan mereka akan terusir dari lautan atau bahkan punah.
Hak Atas Ruang Hidup
Sejarah peradaban membuktikan bahwa manusia bisa beradaptasi, ucap Meiky. Tetapi, lanjutnya, bagaimana pemerintah bisa menjamin hak-hak Suku Bajau sebagai masyarakat adat tetap dimiliki oleh mereka? Pemerintah tidak bisa memaksakan suatu pola kehidupan baru atas dasar kesejahteraan sosial atau pendidikan, misalnya.
“Harus ada konsultasi publik yang dilakukan pemerintah bersama unsur masyarakat adat, terlepas dari adanya resistensi,” tuturnya.
Menurutnya, di berbagai permasalahan konflik sumber daya alam atau suatu proyek pembangunan, apalagi pembangunan strategis nasional selalu ada resistansi atau sikap menolak dari masyarakat. Tapi resistansi itu dianggap sebagai pembangkangan, tidak dipandang sebagai suatu bagian dari hak asasi manusia.
“Tidak serta merta warga yang merasa dirugikan atas suatu proyek pembangunan, karena kepentingan pragmatisnya, lalu menolak. Ada dasar yang kuat, lahan, lingkungannya, pencahariannya, itu, kan, hilang,” ucap Meiky.
Meiky menambahkan, negara cenderung melakukan pendekatan dengan mengeluarkan regulasi yang terkesan memaksa. Padahal, harusnya ada proses dengar pendapat yang dialogis karena bertahan merupakan bagian dari hak setiap individu.
“Untuk mengatasi hambatan yang muncul dari rakyat yang resisten, ya, akhirnya dibuat satu kebijakan. Warga tidak bisa apa-apa karena sudah ada regulasi yang mengatur itu,” katanya.
Menanggapi alur diskusi tersebut, Egi Budiana, mahasiswa Universitas Pasundan menambahkan, dengan keberadaan Suku Bajau sebagai suatu komunitas yang terus terjaga, bisa menjadi pembendung eksploitasi alam, atau yang lebih jelas demi kesehatan laut itu sendiri. Menurut Egi, pemerintah terlalu berfokus pada hal-hal yang formal, tetapi lupa akan sesuatu yang lebih mendasar, yaitu hak hidup.
“Pemerintah diupayakan supaya ada jembatan agar mereka lebih terkoneksi lagi, lebih dirangkul lagi. Negara tuh fungsinya melindungi,” tambah Egi.
ANGGA PERMANA SAPUTRA