Judul : The Orange Girl (Gadis Jeruk)
Penulis : Jostein Gaarder
Alih Bahasa : Yuliani Liputo
Halaman : 256
Penerbit : Mizan Pustaka
Tahun Terbit : Edisi Ketiga, Januari 2016
Jika saja Jan Olav tinggal di Indonesia atau setidaknya pernah membaca puisi Derai-Derai Cemara kepunyaan Chairil Anwar, mungkin ia akan mengutip penggalan puisi itu di baris-baris terakhir suratnya, “hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Tapi ia hidup di Norwegia dan mungkin tak pernah membaca sajak itu. Tapi di sanalah dirinya bertemu gadis dengan sekantong kertas jeruk.
***
Georg Røed berusia lima belas tahun dan baru pulang les musik ketika menerima surat itu. Dan bayangkan seperti apa perasaannya membaca kalimat demi kalimat dari masa lalu – yang diketik ayahnya sebelum undur diri dari kehidupan sebelas tahun lalu? Itulah yang coba dijelaskan Jostein Gaarder lewat buku ini.
Surat itu berisi kisah cinta Jan Olav dengan gadis misterius yang ia temui pertama kali di sebuah kereta. Pertemuan mereka selanjutnya selalu berakhir singkat, tak banyak kata terucap. Dan itu menjadi nilai tersendiri bagi sebuah cerita. Gaarder mengajak pembacanya untuk ikut hidup dalam pencarian seorang perempuan dari Kota Oslo hingga ke Sevilla, atau menemaninya dalam penantian yang lama dan menerka-nerka apa yang akan terjadi setelahnya.
Dalam bahasa yang puitis, Jan Olav mungkin akan mengutip kalimat Seno Gumira, “aku tak keberatan menunggu siapa pun, seberapa lama apa pun, selama aku mencintainya”. Tapi Gaarder tak menekankan alur cerita pada romantisme Jan Olav dan sang Gadis Jeruk.
Karenanya pada bagian lain cerita, pembaca juga akan dilibatkan untuk berpikir dan mempertanyakan secara filosofis kehidupan yang tak akan pernah satu manusia pun menangkan. Meski nampak berat membayangkan anak setara kelas sembilan terlibat dalam pembahasan hidup yang tak berkesudahan. Tapi di satu sisi, Gaarder mematahkan gugatan khayali itu lewat pembenaran Mario Vargas Llosa – lewat daya komunikatif sebuah cerita, yang dinarasikan Gaarder melalui dialog lintas waktu seorang anak dan ayahnya itu.
Dalam buku ini pula, Gaarder berusaha mengusik jalannya kehidupan lewat surat yang diketik Jan Olav untuk Georg, seperti “Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya punya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.” (hal. 212)
Meski pertanyaan itu nampak akan sulit terjawab oleh seorang anak SMP, tapi membela Gaarder bukan sebuah cela. Karena, ya, suatu hari ketika orang tua kita bersenang-senang, yang terlempar ke dunia dengan segala ketidakpastiannya ini adalah mereka yang kalah didesak sperma lain. Lalu ketika jatuh detik pertama, bayi-bayi menangis. Dan hidup begitu sulit tapi setelahnya kita mati. Dalam kata lain, Gaarder mengajak pembacanya menertawakan absurditas hidup ini.
Jika saja Jan Olav tinggal di Indonesia atau setidaknya pernah membaca sajak Derai-Derai Cemara kepunyaan Chairil Anwar, mungkin ia akan mengutip penggalan puisi itu, “hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Tapi Jan Olav hidup di Norwegia dan mungkin tak pernah membaca sajak itu. Tapi di sanalah dirinya bertemu Gadis dengan sekantong kertas jeruk.
ANGGA PERMANA SAPUTRA