Sumber: Pexels.com (Elisa Giaccaglia)

Sebuah Gereja tua di Kota G mulai habis dimakan api. Kebakaran ini merupakan yang ketiga kalinya dalam satu bulan terakhir secara berturut turut. Dengan ekspresi yang datar, Amin, seorang petugas Pemadam Kebakaran muda, sedang menuju lokasi untuk melakukan pemadaman. 

Sesampainya di lokasi, ia dan petugas lainnya bergegas untuk melakukan pemadaman di gereja yang sudah setengah hangus itu. Pertarungan antara Pemadam dengan si jago merah berlangsung lama, menghabiskan hampir 9 jam lamanya sampai api benar benar padam. 

Di jam ke-7 saat proses pemadaman, Amin, melakukan tindakan nekat dengan merangsek masuk dan menerobos ke dalam kepungan api untuk menyelamatkan seorang Biarawati. Setelah pemadaman dan upaya penyelamatan selesai, Amin dipanggil ke ruang Pak Syam, atasannya. Di sana ia diberi teguran halus karena tindakannya yang sembrono.

“Saya tahu niat kamu baik, tapi nyawamu bisa hilang loh… kamu kan tahu kita ini kekurangan personil? Sementara kebakaran lagi marak terjadi,” ucap Syam.

Dengan ringan Amin menjawab, “bukannya kita memang dibayar untuk mati ya pak?” Balasnya.

“Lagi pula, kenapa kita, sebagai pemadam kebakaran tidak ada upaya untuk membuat mitigasi? Sudah tiga kali terjadi kejadian serupa dalam satu bulan ini Pak!” Tambahnya dengan nada tinggi.

Mendengar jawaban Amin, Syam mencondongkan badannya ke arah Amin sambil berbisik ke telinganya, “Saya sudah coba ajukan ke Pemkot… tapi, Walikota Ramli menolak. Entah mengapa alasannya,” ucap Syam berbisik pelan.

“Tapi tumben sekali Min kamu berkomentar, biasanya diam saja. Bukannya dulu kamu kerja di sini agar bisa nabung aja? Apa kamu mulai betah mau seterusnya di sini?” Tanya Syam heran.

Amin hanya terdiam, tak membalas sepatah kata pun dan pergi meninggalkan ruangan Syam. 

Sepulangnya dari kantor, saat malam hari di kontrakannya, Amin dihantui oleh pertanyaan Syam tentang bagaimana ia terlihat mulai meninggalkan tujuan awalnya sebagai Pemadam Kebakaran.

Sejak awal, menjadi Pemadam bukanlah profesi yang ia inginkan. Sedari kecil, Amin sangat terobsesi dengan dunia penerbangan, ia bahkan mengoleksi pesawat mainan dan kerap kali membaca buku mengenai pesawat terbang. 

Tapi nasib berkata lain, kedua orang tuanya merupakan pekerja kasar di kebun jeruk milik Walikota Ramli, Naasnya mereka tewas dimakan api saat kebun itu terbakar 9 tahun yang lalu. Amin kecil pun mencoba mencari pekerjaan dengan harapan dapat hidup lebih layak dan bisa menggapai impiannya. 

Ia merasa tidak masalah untuk melakukan pekerjaan apa pun atau di mana pun selama ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebetulan hanya kantor Pemadam Kebakaran inilah yang mau menerima dan memberinya pekerjaan. Dipaksa oleh keadaan, ia bekerja menjadi seorang Pemadam sedari usia yang masih tergolong sangat muda. 

7 tahun sudah Amin menjadi seorang Pemadam. Sampai sekarang, setiap bulannya ia menyisihkan uang dari gajinya yang tak seberapa itu, mengejar ambisinya bersekolah Pilot. Tapi seiring berjalannya waktu, Amin mulai menyadari jika usahanya akan sia-sia dan mimpinya tidak akan pernah tercapai.

Sekarang ia merasa kelelahan dikerjai oleh api yang selalu muncul secara tiba-tiba di waktu yang berdekatan, memakan bangunan dan juga korban. Amin yang nir empati, tidak peduli dengan alasan Walikota menolak pembuatan mitigasi kebakaran atau berapa banyak orang yang akan menjadi korban, dia hanya tidak ingin pekerjaannya menjadi lebih berat tiga kali lipat. 

3 bulan berlalu, total ada 13 kebakaran yang membumi hanguskan belasan bangunan di kota G. Anehnya, semua kejadian itu terjadi di bagian ujung kota yang berbatasan langsung dengan perkebunan jeruk. 

Kota kecil yang butuh waktu 17 jam perjalanan darat atau 9 jam perjalanan udara menggunakan pesawat perintis untuk sampai ke kota terdekat lainnya ini sudah dipimpin oleh Ramli selama 9 tahun.

Sebagian warga berteori bahwa Ramli bertanggungjawab atas wabah kebakaran yang terjadi di kota G, warga menduga bahwa Ramli melakukan konspirasi untuk meratakan bangunan-bangunan di ujung kota untuk dijadikan perkebunan jeruk olehnya.

Teori liar ini tidak sepenuhnya liar, faktanya tidak ada aksi nyata oleh Ramli untuk mengantisipasi atau menanggulangi wabah api yang terjadi. Bahkan, tanah-tanah bekas kebakaran pun tidak dibangun kembali, hanya dibersihkan dan dibiarkan kosong olehnya.

Ini juga yang terlintas di kepala Amin, pikirannya membawa untuk mempertanyakan hal ini ke atasannya. Bukan karena hatinya tergerak atau datang sebagai pahlawan mencari keadilan, tapi karena ia sudah muak harus bekerja lebih lelah dari biasanya. Sesampainya di ruang atasannya, Syam menyambut Amin dengan memberinya kabar gembira.

“Min, saya ada kabar baik… Walikota sudah beli pesawat pemadam, minggu depan akan sampai. Kamu suka pesawat kan? Ini pasti sangat membantu kita mempermudah proses pemadaman!” Seru Syam. 

“Serius Pak?! Lalu untuk Pilotnya bagaimana?” Tanya Amin.

“Ada… ditugaskan dari Kota S untuk bantu kita.” Jawab Syam.

Mendengar kabar ini, Amin mengurungkan niatnya untuk mempertanyakan kabar burung soal Ramli dan pergi meninggalkan ruangan Syam.

Seminggu berlalu, pesawat pemadam pesanan Walikota pun tiba bersama Pilotnya, Jasri. Pesawat itu berjenis Water Bomber buatan PZL-Mielec. Amin mengenali pesawat itu, dia pernah membaca mengenai komponen hingga kegunaan pesawat itu secara lengkap dari majalah Aviasi yang dibelikan ayahnya saat ia masih kecil.

Di kantor, Amin dan Jasri sempat berbincang mengenai dunia penerbangan. Yang mulanya merasa iri dan rendah hati kepada Jasri, Amin jadi berbinar seperti anak kecil yang bertemu superhero idolanya. Sejak saat itu keduanya saling menghargai dan menjadi rekan kerja yang baik. 

11 hari sejak pesawat itu tiba, api mengamuk dari ujung utara kota, kali ini sebuah sekolah yang jadi lalapan api. Meskipun kobaran api sama besarnya dengan yang sudah-sudah, tapi kali ini pemadaman lebih mudah berkat bantuan pesawat yang diberi oleh Walikota.

Jasri yang bermanuver menyiramkan air ke pusaran api dengan akurat di atas langit membuat Amin terpukau, ia hanya bisa memandang dari tanah yang penuh abu dengan sedikit rasa iri.

Seiring berjalannya waktu, sekeliling ujung kota sudah rata dengan tanah. Tanpa ada kejelasan, masyarakat mengungsi sudah 7 bulan lamanya ke rumah-rumah warga yang tak terdampak si jago merah sampai waktu yang belum ditentukan.

Ramli yang sedikit lagi habis masa jabatannya, mengumumkan bahwa tanah-tanah bekas kebakaran yang belum dibangun kembali itu akan dijadikan lahan perkebunan jeruk dengan dalih demi memulihkan kondisi perekonomian Kota G yang rugi akibat tragedi kebakaran setengah tahun terakhir.

Keputusan ini membakar emosi masyarakat meluap karena sedari dulu mereka diam saja akan hal ini. Sebagian besar dari mereka akhirnya bersatu untuk menjalankan aksi unjuk rasa. Di depan kantor Walikota, massa dihadang oleh sekumpulan aparat. Akibatnya, puluhan orang menjadi korban kekerasan aparat, belasan orang hilang dan tiga orang meninggal dunia.

Sejak saat itu, Ramli menunjukkan wajah aslinya. Banyak orang yang ditangkap, hilang, bahkan mati dibuat olehnya. Tarya, seorang orator saat aksi protes, hangus terbakar bersama rumahnya. Amin bersama pemadam lainnya saat itu tidak ditugaskan untuk melakukan pemadaman yang menimpa Tarya. Bahkan Jasri, baru diberi perintah 35 menit setelah api membakar habis rumah Tarya.

Tak hanya satu, beberapa rumah warga yang ikut protes saat unjuk rasa juga terbakar secara tiba-tiba. Kebakaran ini berlangsung dan terjadi setiap hari, membuat pemandangan kota tertutup asap hitam pekat. Tapi perintah pemadaman selalu dihambat.

Dengan kekacauan yang terjadi, Amin yang tak punya timbang rasa atau kepentingan apa pun hanya menuruti perintah dan menjalankan tugas sesuai arahan atasannya. Sementara Jasri mempunya moralitas yang tinggi, ia tidak ingin namanya tercoreng dengan darah. Ia memutuskan untuk angkat kaki meninggalkan Kota G dengan segala kericuhannya.

Sebelum pergi, Jasri berpesan pada Amin, “Min, saya gak bisa tinggal di kota ini lagi… saya titip pesawat ke kamu, karena saya tau kamu ngerti dan bisa jaga pesawat ini,” ucapnya.

Tanpa mempertanyakan apa pun Amin menjawab, “baik mas kalau begitu. Hati hati dijalan,” balas Amin.

Di tengah kekacauan dan kepergian Jasri, pikiran intrusive Amin menyeruak, mengajaknya masuk kedalam kokpit pesawat. Dengan wajah sumringah, tangan kasarnya meraba semua komponen yang ada di dalam pesawat. Tangannya berpindah mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen yang ada di kantong celananya, ia mengubahnya menjadi sepucuk surat.

Kota G sudah seperti lautan api, rumah-rumah terbakar. Bagaikan semut yang mengerubungi remehan biskuit, massa bergerombol dan mengepung kantor Walikota. Setidaknya itulah yang dilihat Amin dari langit kota. Ya benar, berbekal ilmu dari majalah dan kecintaannya untuk menjadi Pilot, Amin menerbangkan pesawat itu dengan nekat.

Meskipun tidak stabil, pesawat itu terbang ke sana kemari menyusuri langit kota yang saat itu tak lagi biru. Dengan senyuman lebar, Amin sangat berapi-api dan bergembira karena impiannya dapat terwujud. Ditengah keriangannya itu, tiba-tiba masuk suara bising melalui radio, ternyata Syam yang sudah naik pitam mengetahui Amin membawa pesawat pemadam itu.

“AMIN! CEPAT MENDARAT! APA-APAAN KAMU ITU!!! SAYA TAU KAMU DENGAR, AMIN!!!” Bentaknya dengan amarah.

Amin yang tak terusik hanya menjawab dengan nada tawa yang menggelegar

“GAK BAHAYA TA???” Seru Amin.

“AAAMEEENNN!!!” Teriak Syam kesal.

Setelah radio diputus oleh Amin, Syam membuka surat yang ditinggalkan oleh Amin di ruangannya. Dalam surat itu tertulis:

 

Untuk semuanya.

Terimakasih sudah menerima saya selama 7 tahun terakhir ini. Sekarang saya tidak perlu lagi menabung untuk mendaftar sekolah Pilot. Lagi pula mimpi saya bukan untuk menua di udara sebagai pilot. Saya hanya ingin menerbangkan pesawat, itu saja. Mungkin ini terdengar egois tapi saya hanya memanfaatkan momen ini untuk mewujudkan mimpi saya, tidak terafiliasi dengan pihak manapun. Dengan ini, biarkan saya terbang dengan bebas di angkasa meski hanya sebentar, membakar semangat dan mimpi yang telah redup. Sebagai pemadam, akhirnya saya menyadari kalau ada api yang harus dibiarkan menyala.

Tertulis Amin.

 

Setelah Syam membaca surat itu, ia hanya tersenyum tipis lalu memerintahkan anak buahnya untuk kembali berjaga. 

Setelah sekitar 3 menit meliar di udara, Amin menjalankan tugasnya sebagai seorang pemadam untuk yang terakhir kali. Dia terbang menuju ke arah kobaran api, melewatinya sambil menumpahkan 2.500 liter air dari badan pesawat. Memadamkan api, membias cahaya, dan menciptakan pelangi.

Menyajikan keindahan di tengah kekacauan, Amin yang mulai kesulitan untuk mengambil kendali, terbang rendah menuju gedung Walikota, mendarat paksa sembari menghantam gerbang yang tinggi hingga roboh. Pesawat itu terhenti dengan keadaan hancur dan terbakar di halaman gedung kantor Walikota.

Amin yang dimakan api dengan perlahan tidak mencoba merangkak keluar dan hanya terduduk lemas bersimba darah. Merasa sudah puas dengan hidupnya, ia menghembuskan nafas terakhirnya dari balik kokpit, dengan senyuman penuh kegembiraan. Amin mati, tanpa penyesalan.

 

WYMANTIO NURPRADIPTA

Calon Anggota Muda LPM “Jumpa’ Unpas

Editor: DONI SETIAWAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *