(www.gizanherbal.wordpress.com)
(www.gizanherbal.wordpress.com)

Aku ingin teriak dan melepaskannya…

Arghhhh… sesak sekali rasanya nafas ini, apa yang dia telah lakukan terhadapku? Dia membuat  dadaku berguncang begitu hebat, jantung  semakin berdegup kencang seakan mau copot dari sarangnya. Kenapa semua ini terjadi? Sesuatu yang tak pernah kuinginkan,  sesuatu yang selalu kujaga sekarang sirna. Aku ingin berontak dan melepaskannya, tapi ternyata semakin lama aku semakin menikmatinya. Kemudian larut dalam perang tak bermedan. Aku hanyut dalam pertikaian tanpa suara. Deru nafasnya dapat kurasakan menggelora di dadaku. Alhasil, perbuatanku ini membuat setan-setan tertawa bahagia.

“Maaf ya Nha,” bisik  Gilang dengan suara selembut beledu, menusuk selaput gendang  telinga. Laki-laki inilah yang selama setahun terakhir hadir dalam mimpi indahku. Seorang lelaki yang mampu membuatku semangat berkutat di kampus. Tak ada bahasa yang mampu kukeluarkan dari bibirku, saat dia berbisik demikian. Mulut ini seakan terkunci rapat, dadaku bergejolak sangat keras. Masih dengan perasaan menyesal yang menyelimuti seluruh jiwa.

“Nha kamu tidak bisa maapin aku? Nha, sunguh aku tak bermaksud menyakitimu,” bisiknya lagi, kali ini membuat kudukku merinding. Aku tidak bisa menghindari tatapan bola matanya yang bening. Ahhh, mata sipit  itu begitu indah, mata yang selalu meluluhkan hatiku, dan aku tak pernah mampu untuk balas menatapnya. Aku masih terduduk beku di atas kasur mini kamar kostannya, mulutku semakin terkunci rapat, dan hatiku semakin hancur.

“Nha aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu, sungguh..” dia meyakinkanku dengan nada rayu, aku terlempar dalam kawah persoalan yang tak kumengerti. Aku semakin terdiam dan tertunduk. Air mata adalah jawaban persoalanku.

”Kamu jangan diam dong Nha, jangan buat aku bingung seperti ini,” suaranya semakin menggema di kuping, kulit tangannya hangat mengusap-usap telapak tanganku. Dan aku semakin teriris, seluruh ketakutan menyergapku tiba-tiba. Takut yang cukup beralasan bagi naluri seorang pecinta.

Kamu yang lebih membuat aku bingung Gilang, apa yang kamu lakukan itu sungguh membuatku merasa tersiksa. Apakah rasa sayang harus dibuktikan dengan ciuman sensual? Seandainya aku bisa memutarbalikan waktu, aku tak akan membuat ini terjadi. Sesalku dalam hati.

“Nha kamu benar-benar marah sama aku??” Gilang terus bertanya, menunjukan rasa bersalahnya. Dan lagi-lagi mata sipit itu memberi aroma menakjubkan di permukaan kulit tubuhku. Aku terhempas pada sebuah rasa sakit yang menggembirakan, bahagia tapi menggoreskan luka tak terperi.

“Gak Lang, aku cuma shock. Ini baru pertama aku lakukan.” Lirihku jujur.

Kenapa hanya itu yang aku katakana padahal bukan itu, akh apa karena matanya yang indah itu sampai aku tak mampu mengatakan apa yang ingin sekali aku katakana? Aku mengutuk diriku sendiri, ini jelas bukan semata kesalahannya. Tapi kesalahanku juga yang tak mampu menepisnya dari pelukan.

Gilang laki-laki yang mempunyai tinggi 175 cm telah lama kukagumi. Mata sipitnya selalu membuat dadaku berdegup kencang saat  saling beradu pandang, bahkan aku tak pernah mampu untuk menatap matanya. Dia juga mempunyai hidung yang mancung, dan kulit putih seperti kebanyakan keturunan Tionghoa pada umumnya. Lelaki yang selalu kubanggakan dan kurindukan dari jauh itu kini hadir di hadapanku, menorehkan kenangan manis yang menghinakan.

“Aku harus pulang Lang, sudah larut malam,” aku bergegas meninggalkannya. Kamar bernuansa biru ini seperti sebuah neraka baru bagiku.

“Ghina, tunggu.” Dia berdiri tepat di hadapanku, menghalangi langkahku. “Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendirian.” Lagi-lagi aku tak bisa menolak keinginannya, aku diantar pulang ke kostanku pukul 22.00 malam.

Gebrukkk…. Kututup gerbang dengan kasar.

“Ghina, kita masih bisa ketemu lagi kan?” teriaknya diantara sayup-sayup keremangan malam. Aku tak memedulikannya, terus saja aku berlari memasuki pelabuhanku. Mungkin dia merasa menang. Biarlah dia berpikiran apapun tentang aku.

Aku melempar tubuh ke sebuah ranjang besi, lalu berteduh di bawah boneka bear kecil. Satu-satunya boneka yang kupunya, itupun hadiah dari ayah saat ulang tahunku yang ke-17. Di dalam kamar berukuran 3×4 meter yang berdinding pink itu lagi-lagi pikiranku terjebak pada ingatan kejadian tadi.

Aku tak mengerti akan diriku sendiri, aku benar-benar khilaf, sepertinya setan telah merasuk ke dalam jiwaku. Seandainya aku tak pernah mencintai dan mengagumi Gilang, mungkin semuanya tak akan terjadi. Kenapa harus ada cinta??? Apakah cinta alasan dari perbuatan bodohku?

Malam semakin larut, udara semakin menusuk, dan rasa sedih serta kecewaku terkalahkan oleh rasa kantuk yang menyerang. Aku telah terlelap terbawa ke alam mimpi.

***

Seruan untuk menemui sang kholik sayup-sayup terdengar dari sebuah musola yang jaraknya 30 meter dari rumahku.

“Ginha, bangun nak udah adzan…!!” teriakan seorang perempuan dengan suara cempreng yang selalu aku panggil mama itu semakin tak pelak membuatku terbangun.

Aku segera beranjak mengambil air wudhu, kemudian kami sekeluarga menjalankan rutinas sholat berjamaah. Di ruangan yang tak begitu luas dan kami sering menyebutnya mushola  telah menumggu seorang laki-laki paruh baya, matanya yang besar dan sangat berbinar seolah-olah mencerminkan ketegasannya. Raut mukanya yang  sangar seperti menyimpan sifat arogan dan egois. Di balik mukanya yang sangar itu tersimpan hati yang lembut dan bijaksana. Dialah orang yang selalu aku panggil ayah. Setelah melihat semua anggota keluarga berkumpul dia segera memimpin solat.

“Anak-anakku syukur alhamdulililah kita semua masih di beri rahmat oleh Allah SWT karena pagi ini kita masih di pertemukan kembali.” Itu pembuka kultum ayah setelah selesai solat, sebelum memulai nasihat-nasihatnya di pagi hari. Tiap pagi, ayah selau memberikan kata-kata bijak sebelum kami semua melakukan aktivitas, itu semua ayah lakukan agar kami tak terjerumus pada lubang yang membawa kami ke api neraka.

“Nak, ayah bersyukur Allah telah mempunyai putri-putri yang cantik, tapi kalian hanya titipan Allah. Ayah harus sungguh-sunguh menjaga kalian agar saat ayah menghadap Allah, ayah tak takut, karena ayah telah mendidik kalian dengan agama Allah. Anak-anakku, pandai-pandailah kalian menjaga diri, jangan sampai kalian membiarkan sembarangan kumbang menghisap madu kalian dengan seenaknya. Seoarang perempuan yang  tidak bisa menjaga dirinya, ia adalah perempuan yang terhina dan tak punya kehormatan lagi.”

Sebuah nasihat bijaksana dan cukup mencambuk ulu hati, membuat air mata tumpah ruah dari persembunyianku. Sungguh aku tak mampu untuk menahan tangis ini. Tangisku pecah bersamamaan dengan datangnya ketakutan yang amat sangat.  Ingatanku bersama Gilang tentang kejadian tadi malam menghantarkanku pada sebuah lubang gelap. Aku tahu ini kesalahan terbesar dalam hidupku, jika ayah mengetahuinya, akan tamatlah riwayatku. Saat ini aku merasa makhluk paling berdosa di muka bumi.

Kembali aku teringat akan sebuah nasihat seorang ustadz di sebuah majelis tatkala pengajian. Katanya,  jika seorang perempuan di sentuh oleh laki-laki yang bukan mukhrimnya, maka ia seperti melempar sebuah api yang panas kepada orang tuanya. Mengingat itu, air mata semakin menganak sungai di pipi.

***

Hari ini rasanya aku malas pergi ke kampus, apa lagi setelah menerima  sebuah pesan singkat dari Gilang. Dia ingin menemuiku, tapi aku  masih teringat kejadian tadi malam, aku tak mau jika pertemuanku dengannya kembali membuat mahluk-mahluk Allah dari api kembali tertawa bahagia. Ingin sekali rasanya aku mencurahakan beban ini tapi pada siapa?? Mama?? Akh, sepertinya tak tepat. Aku takut perempuan yang berwajah lembut dan berhati mulia itu kecewa dan hatinya terluka. Terus pada siapa aku menumpahkan beban ini? Aku tak sanggup memendamnya sendirian.

Mbak Tri? Ya, seseorang yang aku kenal saat bedah buku di sebuah kampus itu sangat murah hati. Dia selalu menampung semua keluh kesahku, kata-katanya seperti angin sepoi-sepoi yang menyejukan. Aku segera mengambil HP-ku dan mengirim pesan singkat padanya.

 

Mbak Tri mau menemuiku, kami janjian di sebuah kafe sederhana tempat biasa kami  bertemu. Ketika aku baru sampai di tempat yang dijanjikan,  mbak Tri telah duduk manis di sana. Kafe itu tak ramai seperti biasanya, hanya ada sekitar delapan pengunjung, padahal biasanya kafe itu selalu penuh. Dekorasinya  sederhana namun terlihat elegant, sangat menarik hati. Apalagi di depan kafe itu di tumbuhi banyak pohon-pohon rindang, serta bunga-bunga nan cantik. Sebuah kolam ikan kecil  melengkapi keindahan taman kecil kafe itu. Tapi hatiku tak seindah itu.

“Assalammualaikum… Mbak, maaf lama menunggu ya…” Sapaku sambil menjabat tanganya lalu dilanjutkan dengan ritual  ciuman pipi kiri dan kanan. Hari ini Mbak Tri terlihat anggun dengan balutan jilbab biru.

“Gak kok dek mba jga bru datang bahkan belum sempat pesan minum”jawabnya sambil tersenyum manis,,dan senyuman itu akan membuat semua orang yang melihatnya terpesona.

“Oh syukur, gak enak rasanya membuat Mbak yang cantik ini lama-lama menunggu,” kataku berbasa-basi.

“Bisa aja kamu, tumben ada apa ni kok tiba-tiba inget sama Mbak?”

“Bisa aja Mbak, bukannya gak inget, cuma takut ganggu mbak yang super sibuk ini.”

“Bisa aja kamu,” jawabnya sambil tersenyum simpul. “Pasti ada yang ingin adek ceritainkan ya,” selidiknya.

“Ya.” jawabku singkat.

“Ada apa? Mungkin Mbak bisa membantu,  setidaknya mengurangi beban adek.” Tawaran Mbak Tri membuatku terbuka.

“Mbak, ade ingin cerita. Adek rasa mabak pasti akan mengerti.”

“Silahkan saja, Mbak akan selalu mendengar apapun yang ingin adek ceritakan.” Ujarnya mantap. Aku tersenyum.

“Mbak, adek telah melakukan hal yang sangat berdosa, adek khilaf…”

“Kenapa adek??” kening Mbak Tri mengerut.

“Mbak, ade telah berciuman dengan seseorang.” Jelasku.

“Maksud adek, dengan seseorang yang bukan mukhrim adek?” tanyanya kaget.

Aku hanya mampu menunduk dan terdiam. Rasa sesal menghampiriku lagi,  lama air mataku berlinang.

“Kenapa adek melakukan itu? Padahal adek tahu itu salah, dan Allah sangat murka.”

“Adek sangat mencintai dia Mbak.” Sanggahku dengan terisak.

“Dek, terkadang cinta itu sebuah nafsu yang  membawa kita kepada hal yang dibenci Allah dan menjerumuskan kita ke api neraka. Jika kita tak mampu menahannya, bukannya Mbak melarang adek untuk jatuh cinta, karena cinta sebuah perasaan yang tumbuh dari hati dan tak akan ada orang yang mampu menahannya. Tapi menurut Mbak, sekarang lebih baik adek memendam perasaan itu, karena rasanya perasaan cinta yang adek rasakan sekarang tidak tepat.”

Aku diam dan aku sadar lebih baik sekarang aku pergi dari kehidupan Gilang. Aku takut jika terlalu lama bersama Gilang, aku tak bisa mengendalikan diri, terutama hawa nafsu. Aku yakin jika dia orang yang dikirim Tuhan untukku, Tuhan akan mempertemukan kami kembali. Harapku dalam cemas.

One thought on “Merah Jambu”
  1. Thanks for every other wonderful article. The place else could anyone get that type of information in such an ideal manner of writing? I have a presentation next week, and I am at the search for such information.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *