Ilustrasi : Ferly Arliansyah

Anila menyibakkan rambutku. Aku merapikan rambutku yang menutupi wajah, kemudian mengikatnya dengan gaya ponytail sembari berlari menuju halte angkutan umum. Tepat ketika kakiku menginjak koridor angkutan umum, rintik rintik hujan kian membasahi aspal. Sekilas kulirik para pejalan kaki tampak berlarian mencari tempat untuk berteduh. Pada bulan Oktober ini, cuaca memang kurang memadai. Sebetulnya, kurasa hal ini berkaitan dengan aktivitas manusia yang kurang memperhatikan lingkungan.

Tak lama kemudian, angkutan umum ini melaju. Tepat di depan gerbang SMANSA, aku turun dan berusaha melindungi seragamku menggunakan ransel, agar tak basah kuyup terkena rintik hujan.

Sesampainya di kelas, aku melirik arloji di lenganku. Jarum jam menunjukkan pukul 06.30 WIB. Karena masih ada waktu 30 menit hingga bel masuk berbunyi, aku berniat untuk pergi ke ruang OSIS terlebih dahulu. Terlihat beberapa anak OSIS sedang berada di sana. Mataku menangkap Kak Sastra, sang Ketua OSIS yang kini tengah sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya. Sedangkan Kak Bima dan Kak Ryan terlihat sedang berdebat. Entah hal apalagi yang mereka debatkan, selalu saja berdebat perihal suatu hal. Sedangkan Izzy dan Leia tengah asyik mengobrol.

Di tengah keheningan, Kak Sastra mulai membuka suara, “By the way menurut UNICEF, Indonesia termasuk ke dalam lima puluh negara yang berpontensi terdampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan anak-anak. Apakah kalian sadar? Suatu saat, kita akan mengalami mitigasi dan krisis iklim, jika saja manusia di muka bumi ini tak peka terhadap lingkungan.”

“Gue heran sama manusia. Ke lingkungan gak peka, giliran ke doi aja peka,” celetuk Kak Bima.

“Bener tuh,” sambar Kak Ryan.

“Saya sadar Kak, jika krisis iklim ini diabaikan, akan berdampak buruk. Salah satu cara untuk mencegah dan menguranginya, yaitu dengan aksi generasi iklim. Yang mana nantinya, kita dapat mengumpulkan anak-anak maupun orang muda yang memiliki visi dan misi yang sama dalam perubahan iklim. Peran kita sebagai orang muda, yaitu membuat sebuah kegiatan ataupun aksi nyata yang dapat menjadikan perubahan dalam lifestyle ramah lingkungan,” ucapku.

“Ide kamu sangat bagus, Kay!”

“Tunggu. Aku gak setuju. Ini benar-benar di luar program kerja dan tanggung jawab kita sebagai OSIS. Kak, kita ini hanya OSIS yang berarti pengabdian kita hanya kepada sekolah,” bantah Izzy.

“Ini bukan perihal tanggung jawab OSIS atau bukan, tetapi ini perihal kesadaran. Lagipula, menjaga dan menyelamatkan bumi termasuk tanggung jawab semua manusia. Di era saat ini, peran kita sangatlah dibutuhkan. Kamu bayangkan saja, jika generasi muda berpendapat dan bersikap acuh terhadap lingkungan, maka akan menjadi apa bumi kita di masa yang akan datang? Love the earth, then the earth will take care of you.

“5 Menit lagi bel berbunyi, kalian boleh kembali ke ruang kelas masing-masing. Saat pulang sekolah, saya tunggu kembali di ruang OSIS!” perintah Kak Sastra.

“Baik Kak,” jawab kami serentak.

Sebelum melangkahkan kaki menuju kelas, kulirik sekitar taman, hujan sudah reda dan hanya menyuguhkan sisa rintik yang berjatuhan dari atas pohon rindang dan mengukir alunan melodi sendu pada bangku tua di bawahnya. SMANSA selepas hujan memanglah indah, hingga nayanika ini tak mampu berkutik.

***

Bel pulang sekolah pun telah tiba. Seluruh siswa siswi SMANSA bersorak gembira. Sesuai dengan perintah Kak Sastra, seluruh pengurus OSIS berkumpul di ruangan OSIS. Seperti biasa, Kak Sastra tampak sibuk dengan laptop di hadapannya.

Jam kini menunjukkan pukul 14.30 WIB, rapat pengurus OSIS pun kini berlangsung.

Kak Sastra mulai membuka suara, “Baiklah. Jadi, tujuan saya mengumpulkan kalian di sini, yaitu untuk membahas sedikitnya mengenai krisis iklim yang sedang terjadi. Mungkin beberapa rekan kita yang tadi pagi berada di ruang OSIS sudah mengetahui mengenai pembahasan ini.”

“Seperti yang kalian lihat, saat ini kita sedang mengalami krisis iklim yang di mana krisis iklim ini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan kita sebagai manusia, terutama anak-anak. Ketika krisis iklim terjadi, maka suhu udara akan semakin naik dan kualitas udara akan semakin buruk. Hal itu dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, apalagi terhadap anak-anak yang memiliki imunitas lemah. Ketika semua hal itu terjadi, krisis iklim dapat diartikan juga krisis hak anak. Maka dari itu, saya ingin kita semua sebagai generasi muda mempersiapkan aksi nyata ataupun kegiatan yang lebih konkrit melibatkan masyarakat, terutama melibatkan anak-anak sebagai agent of change dan pemangku kepentingan yang setara, dalam mengatasi dan mencegah krisis iklim berkelanjutan,” lanjut Kak Sastra.

“Dan satu lagi, mungkin sebagian besar dari kalian berpikir bahwa hal ini di luar tanggung jawab kita sebagai OSIS. Ya, itu benar. Namun, ini adalah tanggung jawab kita sebagai manusia dalam upaya menyelamatkan bumi. Karena, jika bukan kita, maka siapa lagi? Saat ini banyak generasi muda yang terbuai dengan era modern, hingga melupakan bumi kita yang saat ini sedang membutuhkan perlindungan. Saya harap, kalian dapat berpikir kritis mengenai hal ini. Untuk itu, saya menerima segala masukan ataupun kritik yang membangun dari rekan-rekan sekalian.”

Aku mengangkat sebelah tanganku, “Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak, karena Kak Sastra telah mengajak, serta menyadarkan kami terkait dampak dari krisis iklim. Setelah mendengarkan gagasan yang telah disampaikan oleh Kakak, maka saya ingin mengusulkan saran, yaitu kita dapat membentuk platform yang ramah anak. Di mana kita dapat memfasilitasi mereka terkait advokasi. Salah satu hal yang terpikir di dalam benak saya, yaitu mengadakan film dokumenter yang akan dilakukan oleh perwakilan anak-anak.”

“Ide bagus! Terima kasih Kayshilla, untuk masukan yang telah kamu berikan. Bagaimana teman-teman?”

“Setuju!!” jawab mereka serentak.

“Terkait film dokumenter ini, bagaimana jika kita mengusung latar pertanian dan nantinya kita akan melibatkan anak-anak petani di desa,” usul Leia.

“Kenapa kamu mengusung latar itu Lei?” tanya Kak Sastra.

“Karena, menurut aku pribadi, dampak dari krisis iklim ini sangat berpengaruh kepada masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Seperti yang kita ketahui, krisis iklim akan menghadirkan suhu udara yang buruk dan juga risiko terjadinya kekeringan. Hal tersebut mungkin akan menyebabkan gagal panen. Ketika itu, ekonomi menjadi terhambat dan kesejahteraan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani menjadi tidak terpenuhi.”

***

Terik matahari menyilaukan nayanika, aku mengusap peluh di dahiku. Sudah satu bulan ini, kami mempersiapkan rencana program kerja kami secara matang. Kini seperti biasa, kami tengah berkumpul di ruang OSIS.

“Kay, aku mau bicara sama kamu,” ucap Izzy. “Boleh, memangnya kamu mau bicara apa?”

Izzy bergegas menarik pergelangan tanganku dan menatapku lekat-lekat, dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kay, dana yang udah kita kumpulin hilang semua.” “Kamu serius?” tanyaku, terkejut.

“Iya Kay, aku takut.”

“Terakhir, kamu simpan di mana?” “Di laci meja belajarku, Kay.”

“Aku coba bicarakan dengan teman-teman ya, agar kita bisa cari jalan keluarnya bersama,” kataku yang mencoba menenangkan Izzy.

“Apa? Dana untuk program kerja kita hilang? Kok lo gak hati-hati banget? Atau karena lo sengaja hilangin uangnya? Karena dari awal, lo udah gak setuju sama program kerja ini,” sambar Kak Ryan yang tak sengaja mendengar perbincangan kami.

“Kak, aku awalnya memang kurang setuju, tapi aku sadar program kerja ini justru sangat penting. Gak mungkin aku sengaja menghilangkan uang itu.”

“Itu cuma alasan lo doang kan?” tuduh Kak Ryan.

Kak Sastra yang datang mencoba melerai, “Cukup. Masalah ini tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan kalian saling menyalahkan.”

“Kak Sastra benar,” kataku, menambahkan.

“Karena aku bisa memasak, bagaimana jika kita berjualan makanan saja. Hasil dari penjualannya, bisa kita gunakan untuk dana,” kataku.

“Kita bantu ya, Kay!” ucap mereka serentak, dengan penuh semangat.

***

Jejak matahari masih memberikan bayangan tubuhku yang kering. Kereta kembali bergerak, setelah menurunkan tujuh orang dari tiga gerbong yang berbeda, termasuk diriku beserta teman-teman yang berniat melaksanakan program kerja di salah satu desa. Kutatap ekornya yang perlahan menjauh dan hanya menyisakan decit kesakitan besi-besi tua yang menjadi bantalan puluhan roda.

Aku menghela napas dalam-dalam, menikmati udara desa yang bebas dari polutan.

“Oke, baik. Karena kita sudah sampai di tempat tujuan, saya ingin mengkonfirmasi persiapan kepada para panitia,” ucap Kak Sastra yang mulai memberikan intruksi.

Setelah dirasa semuanya sudah siap, kami mulai memasuki area desa dan telah mengatur janji dengan Pak Amir, pemilik ladang cabai.

Pandanganku tertuju kepada Kak Bima yang tengah sibuk dengan kameranya.

“Saya menanam cabai tergantung dari cuaca, sementara cuaca sekarang tidak menentu. Terkadang panas dan terkadang hujan. Dari cuaca yang tidak menentu, bisa menjadikan akar cabai tidak menjalar. Alhasil, tidak tumbuh besar dan tanaman cabai menjadi mati.”

Terdengar sayup-sayup suara Pak Amir yang tengah berbicara pada kamera. Setelah lebih dari satu jam kami melangsungkan perekaman film dokumenter, kami juga sempat berbincang- bincang dengan para anak petani terkait apa yang mereka rasakan dari dampak krisis iklim.

Harapan kami kedepannya, akan lebih banyak edukasi untuk mereka, karena mereka bercerita, tidak mendapat edukasi mengenai krisis iklim, sehingga mereka tidak tahu apa itu krisis iklim. Padahal, mereka-lah yang akan terdampak di masa depan.

 ***

Bumantara hari ini sedang bergembira, menampakkan langit nan adiwarna. Tepatnya pada hari ini, tanggal 1 Mei, sekolah kami mendapat penghargaan dari Bapak Bupati sebagai bentuk apresiasi, atas upaya aksi generasi iklim, serta advokasi terhadap masyarakat yang telah kami lakukan.

“Teman-teman, sebetulnya aku yang mengambil uang pendanaan dari laci meja belajar Izzy, saat aku bermain ke rumahnya. Izzy sama sekali tidak menghilangkan uang itu. Maaf, aku terpaksa, karena harus membayar biaya operasi Ibuku.”

“Ini uangnya aku kembalikan,” ucap Leia, sembari menyodorkan amplop berwarna kuning.

Leia melanjutkan ucapannya, “Aku benar-benar menyesal. Walau aku tahu, kesalahanku bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimaafkan. Sekali lagi maafkan aku, terutama untuk Izzy dan aku berniat untuk keluar dari OSIS.”

Kak Sastra tersenyum tulus, “Uangnya kamu simpan saja. Saya senang kamu sudah berani untuk mengakui kesalahan dan untuk kedepannya, jika kalian mempunyai masalah, kalian sangat diperbolehkan untuk bercerita. Jadikan OSIS sebagai second home untuk pulang.”

Kami pun saling merangkul satu sama lain dan merayakan keberhasilan kami. Sungguh masa putih abu yang indah. Bagiku, sekolah tak hanya perihal nilai akademik saja. Namun, memiliki kecerdasan interpersonal juga adalah sesuatu yang penting. Bagaimana cara kami menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan, ataupun peran yang kami berikan terhadap masyarakat dan bagaimana cara kami berkontribusi terhadap isu global yang ada.

Kami berharap, dengan upaya aksi generasi iklim dan advokasi yang telah dilakukan, masyarakat setempat mulai menyadari dampak krisis iklim, serta mulai memperhatikan lingkungan setempat. Karena jika tidak, krisis iklim berkelanjutan akan terjadi.

 

NAISYA SILVANA PUTRI

SMAN 1 Baleendah

2 thoughts on “The Agent of Change on Earth”
  1. I discovered your blog site on google and check a few of your early posts. Continue to keep up the very good operate. I just additional up your RSS feed to my MSN News Reader. Seeking forward to reading more from you later on!…

  2. Can I just say what a relief to find someone who actually knows what theyre talking about on the internet. You definitely know how to bring an issue to light and make it important. More people need to read this and understand this side of the story. I cant believe youre not more popular because you definitely have the gift.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *