Sumber: bisnis.com
Sumber: bisnis.com

Pekerja Rumah Tangga atau yang biasa dikenal dengan PRT adalah orang yang bekerja pada seseorang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan seperti mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci baju dan pekerjaan rumah tangga lainnya yang diberikan oleh majikan. Keberadaan PRT sudah tidak asing keberadaannya di Indonesia baik di kota maupun di desa. PRT yang telah melakukan tugasnya akan diberikan imbalan, imbalan yang diberikan sebesar yang telah disepakati oleh PRT dan majikan. Ada PRT yang selesai melaksanakan tugasnya langsung diberikan imbalan, dan adapula PRT yang menginap di tempat majikan dan akan diberikan imbalan pada tanggal yang telah disepakati. PRT yang menginap di tempat majikan akan diberikan fasilitas kamar, makan, sabun, sesuai dengan kesepakatan antara PRT dan majikan. Pada sektor ketenagakerjaan, eksistensi PRT tidak dimasukkan kategori pekerjaan pada instansi-instansi pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu PRT dimasukkan ke dalam ruang lingkup informal. Sektor informal yang diisi oleh jenis kerja domestik seperti PRT rentan terhadap berbagai tindak kekerasan dan tentunya membutuhkan perlindungan ekstra dari negara.

Dalam Pasal 27 ayat (2) menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu juga pada Pasal 28 G ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia” dan “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Namun dalam kenyataannya di Indonesia banyak sekali PRT yang menjadi korban tindak pidana kekerasan. Kekerasan merupakan masalah yang serius yang harus ditanggapi oleh Pemerintah. Kekerasan dalam. PRT masuk ke dalam ruang lingkup rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berisi “Lingkup Rumah Tangga dalam Undang-Undang” meliputi:

  1. Suami, istri, anak;
  2. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan atau;
  3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Kekerasan harus dipahami dalam pengertian yang luas, karena pada dasarnya masyarakat memahami kekerasan hanya berupa fisik saja yaitu pemukulan terhadap seseorang. Kekerasan ada juga yang non fisik yaitu tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan perjanjian atau tidak mendapatkan upah setelah beberapa bulan ia bekerja. Menyangkut pada fakta yang terjadi di Indonesia perlindungan hak korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya PRT belum terealisasikan sebagaimana seharusnya. Di Indonesia kekerasan terhadap PRT sering kali terjadi. Kekerasan terhadap PRT meliputi melingkupi kekerasan multijenis, kekerasan fisik, ekonomi, hingga seksual yang diberikan terhadap PRT.

Estimasi International Labour Organization (ILO) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa saat ini, di Indonesia terdapat 2,5 juta orang yang menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan dari jumlah itu, 90 persennya adalah PRT perempuan. Laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia menunjukan bahwa kondisi PRT saat ini di Indonesia masuk dalam kelompok rentan dan marjinal: Perempuan, dengan usia belum dewasa atau terlampau sepuh, dalam kondisi buruk, upah rendah, tanpa batas waktu kerja, serta mengalami kekerasan dan penghambaan (domestic slavery).

Nasib PRT perempuan hampir tidak pernah berubah dari masa ke masa. Kompleksnya masalah yang dialami para PRT diantaranya karena pekerjaan ini tersembunyi, tidak terlihat, dan terabaikan. sehingga banyak kasus kekerasan dan pelanggaran hak sebagai warga negara, pekerja dan perempuan tidak dapat dideteksi secara cepat. Hal lain yang menyebabkan maraknya pelanggaran dan kekerasan yang dialami PRT karena anggapan bahwa PRT adalah properti milik majikan, akibatnya mereka sering diperlakukan sewenang-wenang dan tidak manusiawi.

Alasan lainnya karena PRT yang berada di ranah domestik dianggap bukan pekerjaan yang produktif sehingga tidak ada penghargaan dan kurang bernilainya profesi ini. Sifat pekerjaan PRT yang informal menyebabkan tidak terlindunginya PRT dari hukum sehingga kekerasan demi kekerasan terus terjadi dan keadilan seakan tidak berpihak pada mereka. Keadaan ini diperparah dengan tingkah para penyalur PRT baik resmi maupun tidak resmi yang seringkali menjadikan PRT sebagai objek ekonomi. Mereka dianggap sebagai komoditi dan “dijual” kepada majikan dengan harga yang mahal demi keuntungan penyalur yaitu sebesar 350.000 rupiah per orang. Akibatnya banyak majikan yang memotong gaji PRT di bulan pertama sampai ketiga dengan alasan sebagai kompensasinya.

Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap PRT

Ancaman kekerasan juga membayangi PRT di tempat dia bekerja. Beberapa rumah majikan bukan merupakan tempat kerja yang aman. Apabila PRT membuat salah sedikit pun dalam tugasnya akan mendapatkan penilaian yang buruk. Yang lebih kejam dan tidak manusiawi, majikan tega melakukan penganiyaan terhadap PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upahnya yang tidak segera dibayarkan, kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik dan kekerasan seksual.

Masalah yang dialami para PRT sangat kompleks dan dapat mengancam kehidupan mereka. Kenyataan ini dapat dilihat dari jumlah dan efek dari kasus kekerasan yang menimpa PRT. Menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sebanyak 65 persen adalah multikasus, mulai dari pemukulan dengan benda tumpul atau tajam, penganiayaan, disiram dengan air panas, diseterika, pelecehan seksual, penyekapan, dan tidak diberi upah. Sementara 35 persennya lagi adalah kasus perdagangan manusia (human trafficking) di mana pelakunya adalah majikan dan agen penyalur PRT. Bahkan ada juga kekerasan terhadap PRT yang berujung pada kematian. Menurut data dari JALA PRT, hanya sekitar 15 hingga 20 persen kasus PRT yang diproses secara hukum sampai selesai, dan sisanya sekitar 80 hingga 85 persen berhenti di penegak hukum itu sendiri.

Sebagaimana dialami oleh Jumiah, seorang PRT berusia 15 tahun yang berasal dari Brebes. Ia hanya diupahi sebesar 150.000 ribu rupiah selama satu bulan. Kemudian ketika berganti majikan, Jumiah tidak diberi makan teratur. Ia juga sering disalahkan dan dimarahi oleh majikannya yang berujung pada penganiyaan dan penyiksaan. Tubuhnya sering ditendang dan kepalanya dibenturkan ke tembok. Penderitaan Jumiah berakhir pada vonis dokter yang mengatakan bahwa Jumiah mengidap cafeldia, yakni gangguan pada syaraf mata. Jumiah hanya satu dari korban kekerasan yang menimpa seorang PRT. Berdasarkan data yang dikumpulkan JALA PRT, dalam data terakhir hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT dari berbagai aspek seperti psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.

Kemudian dalam survei JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021, ada 868 PRT, dan 82 persen diantaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak mendapat perhatian, dan dukungan dari negara. Sedangkan, terkait jaminan sosial ketenagakerjaan, hampir 100 persen PRT tidak dapat ikut serta dalam jaminan sosial ketenagakerjaan untuk bisa mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan pensiun.

Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap PRT

Ketika ada kasus kekerasan terhadap PRT, prosedurnya dipersulit dan penanganannya berbelit-belit. Contohnya pada kasus Sutini. Sutini mengalami penganiyaan fisik, pembayaran upah yang tertunda hingga 2-3 bulan, dan pelecehan fisik. Memperjuangkan kasus Sutini melalui jalur hukum di Indonesia memerlukan energi dan semangat besar, karena keburukan pengadilan di Indonesia, yakni proses yang lama, berbelit-belit, dan memerlukan banyak uang.

Memidanakan kasus penganiayaan Sutini berlangsung hampir satu tahun, sepanjang tahun 2003. Sampai akhirnya Pengadilan Negeri Yogyakarta menyatakan kasus tersebut kedaluarsa karena sudah hampir satu tahun. Di akhir putusan pidana pun tidak berpihak pada Sutini, karena majikan hanya dihukum 4 bulan percobaan penjara saja tidak pernah mendapatkan hukuman. Pada tahun 2005, kasus Sutini baru diproses di tingkat banding.

Maka dari itu, Lembaga Swadaya Masyarakat Rumpun Tjoet Njak Dien, melakukan pendampingan litigasi dan non-litigasi terhadap PRT yang menjadi korban kekerasan. Kegiatan non-litigasi berbentuk pendampingan dan penguatan korban kekerasan secara psikologis. Kekerasan yang menimpa PRT menyisakan luka psikis yang sangat dalam, sehingga perlu mendapatkan masukan dari seorang psikiater secara kontinu. Sedangkan, pedampingan litigasi diwujudkan dengan memperjuangkan kasus PRT lewat jalur hukum. Beberapa penganiyaan yang dialami oleh PRT dapat dipidanakan karena tindakan majikan yang melanggar KUHP.

Jumiah, Sutini, dan PRT lainnya hanyalah sebagian kecil dari PRT yang mengalami penganiyaan oleh majikan. Jika kita mau membaca dan memperhatikan berita di media massa, hampir setiap hari selalu ada berita tentang PRT. Entah PRT itu digunting telinganya karena memecahkan barang milik majikan atau dituduh mencuri uang, disekap di kamar mandi karena dianggap tidak becus dalam bekerja, digosok matanya dengan balsem karena sering sakit-sakitan dan kurang cekatan dalam bekerja, bahkan ada PRT yang melayang nyawanya hanya karena dituduh mencuri roti majikan di lemari es. Dan masih banyak lagi penganiyaan yang dilakukan oleh majikan terhadap PRT yang tidak pernah diketahui publik.

Sebuah Upaya Mengatasi Masalah

Meski jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani masalah PRT secara spesifik masih dalam hitungan jari, namun usaha untuk meminimalkan kasus-kasus pelanggaran hak sebagai pekerja, perempuan, dan anak telah dijalankan beberapa tahun terakhir ini. Atas berbagai keresahan yang dialami PRT selama ini. RUU Perlindungan PRT hadir untuk menjadi pelepas dahaga bagi para PRT. Namun, setelah 18 tahun berlalu RUU Perlindungan PRT masih menemui jalan buntu di DPR RI. Menurut Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT, masih ada dua fraksi dari partai besar yakni PDI Perjuangan, dan Golkar yang masih menolak akan pentingnya RUU Perlindungan PRT.

Adapun tujuan dari disahkannya RUU Perlindungan PRT agar memberikan kepastian hukum kepada PRT, dan pemberi kerja. Lalu, mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT. Kemudian, mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT. Terakhir, meningkatkan kesejahteraan PRT karena diikutsertakan dalam jaminan sosial.

Menurut Buku Jurnal Perempuan 39: Pekerja Rumah Tangga, fenomena PRT di Indonesia kini tidak mungkin dilepaskan dari kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, hingga memaksa PRT perempuan bekerja dengan relasi kekuasaan yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah. Sebelum semua persoalan kian berlarut-larut sudah saatnya hak-hak PRT ditegakkan, dan semua orang harus rela dan secara serius melakukannya. Negara dituntut untuk segera meyediakan perlindungan legal bagi PRT, dan kita sendiri juga bisa mulai hal itu dari rumah kita masing-masing. Semua penting dilakukan, agar perbudakan versi baru tidak lagi terjadi.

ALISYA NUR FACHRIZA

Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Sumber:

BAB 1: Pendahuluan. 2016. Diakses dari eprints.ums.ac.id pada Selasa, 26 Juli 2022, pukul 17.23 WIB.

Aida Milasari, M. 2005. Jurnal Perempuan 39: Pekerja Rumah Tangga. Halaman 739. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Andriansyah, A. 2022. JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021. Diakses dari voaindonesia.com pada Selasa, 26 Juli 2022, pukul 15.14 WIB.

Muthmainnah, Y.  2020. Advokasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Diakses dari psipp.itb-ad.ac.id pada Selasa, 26 Juli 2022, pukul 15.27 WIB.

Subandrio, A. 2017. Kekerasan Terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Masa Depan RUU Perlindungan. Diakses dari mapcorner.wg.ugm.ac.id pada Selasa, 26 Juli 2022, pukul 15.27 WIB.

 

2 thoughts on “Perempuan, Pekerja Domestik, dan Belenggu Kekerasan di Dalamnya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *