Source: rri.co.id

Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila, karena pada saat itu telah terjadi gerakan 30 September (G30S) yang menewaskan beberapa Perwira Angkatan Darat. Para korban G30S ditetapkan sebagai pahlawan revolusi. Namun, apa yang terjadi setelahnya yaitu pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituding sebagai PKI atau komunis.

Dikutip dari buku Menguak Misteri Sejarah terbitan tahun 2010 karya Asvi Warman Adam, penetapan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan melalui surat keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 17 September 1966, yang diperingati oleh Angkatan Darat.

Masyarakat sesungguhnya mempertanyakan: apakah peristiwa 30 September 1965 relevan dikaitkan dengan kesaktian Pancasila? Gerakan 30 September 1965 merupakan upaya perebutan kekuasaan dan tidak ada hubungannya dengan kehebatan Pancasila, begitulah kata Asvi Warman Adam dalam buku berjudul Membongkar manipulasi sejarah: kontroversi pelaku dan peristiwa.

Lantas, bagaimana sejarah proses lahirnya Hari Kesaktian Pancasila? Pada 24 September 1966, seperti yang tertulis dalam Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI (1997), Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan supaya peringatan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan oleh seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Soeharto, yang juga menjabat sebagai Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan, mengeluarkan surat keputusan tertanggal 29 September 1966 yang menetapkan bahwa Hari Kesaktian Pancasila diperingati oleh seluruh slagorde (jajaran) Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan masyarakat.

Semasa rezim Orde Baru, ada ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang esok harinya tanggal 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh, ritual semacam ini seolah-olah harus  dilakukan oleh seluruh elemen bangsa pada setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober.

Namun, setelah presiden Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh saat Reformasi 1998, prosesi ini jarang diterapkan lagi meski tidak hilang sama sekali. Pada intinya, peringatan hari Kesaktian Pancasila sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kematian para Jendral. Namun, hal itu ditunjukan sebagai simbol untuk menangkal ancaman komunis atau ancaman PKI.

Banyak sejarawan yang mengatakan bahwa dalang dalam pembunuhan Jendral itu bukan hanya PKI, tetapi banyak pihak yang terlibat. Namun, propaganda Orde Baru berhasil menggiring opini bahwa hanya PKI satu-satunya yang berperan dan menjadi dalang utama pembunuhan dewan Jendral.

Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan yang fokus penelitiannya adalah peristiwa 1965, pada buku Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009: 188), peristiwa G30S tak bisa dikaitkan dengan kesaktian Pancasila. Aksi itu gagal bukan karena Pancasila hebat, tapi kecerobohan pelaku dalam merancang strategi militer dan penerapannya di lapangan.

Mengutip dari tirto.id, dalam wawancara nya ia mengusulkan peringatan Hari Kesaktian Pancasila ditiadakan. Kepala Negara pun tak wajib untuk mengikuti atau memimpin upacara. Untuk memperingati para pahlawan revolusi, ia mengusulkan Hari Kesaktian Pancasila digabung dengan Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November.

Tidak ada yang salah dalam peringatan belasungkawa atas gugurnya para Perwira Angkatan Darat dalam tragedi 1965. Namun persoalan yang lebih penting dan patut diperingati adalah kematian yang lebih dari 500 ribu jiwa warga Indonesia. Pembantaian besar-besaran itu dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap PKI atau antek-anteknya, bahkan terhadap mereka yang dituding terkait dengan komunis, kendati tanpa bukti yang kuat tanpa proses pengadilan.

 

RIZAL FAUZAN

One thought on “Kontroversi Hari Kesaktian Pancasila”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *