Tangkapan layar Maman S. Mahayana, kritikus sastra saat berlangsungnya Diskusi dan Pembacaan Puisi dalam Webinar yang bertajuk “Pekan Hari Puisi Indonesia : Puisi dan Pandemi” yang diselenggarakan via Zoom Meeting pada Minggu, 25 Juli 2021. (Hana Sahira Nazwa/JUMPAONLINE)

Nasional, Jumpaonline Memperingati semarak Pekan Hari Puisi Indonesia pada 26 Juli 2021, Yayasan Hari Puisi dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, menyelenggarakan Webinar Diskusi dan Pembacaan Puisi bertajuk “Puisi dan Pandemi” via Zoom Meeting pada Minggu, 25 Juli 2021. Webinar ini menghadirkan Maman S. Mahayana, kritikus sastra dan Abdul  Wachid B.S., penyair sastra sebagai narasumber. Webinar ini juga mengundang beberapa penyair puisi dari berbagai daerah di Indonesia.

Maman S. Mahayana, kritikus sastra mengatakan, sebelum adanya wabah virus corona, Indonesia pernah mengalami hal serupa. Pada tahun 1910 – 1926 terjadi wabah pes (oriental plague, pest, black death) yang masuk ke wilayah Hindia Belanda. Perbedaanya terdapat pada reaksi dan respon para penyair, saat itu mereka hanya fokus terhadap pembicaraan nasional, sehingga topik wabah pes tidak dibahas.

“Karena dulu Indonesia masih kacau dalam pemerintahannya, maka para penyair hanya fokus terhadap topik yang menurut mereka harus dikembangkan. Namun pandemi kali ini juga berhubungan dengan kinerja pemerintah dan juga masyarakat maka penyair tidak bisa lepas dari apa yang dia lihat dan dia dengar saat ini, ” ujar Maman.

Selain itu, Maman menuturkan, pandemi ini juga mengubah banyak hal sehingga mewujudkan metafora baru dengan bahasa yang berbeda. Penyair menangkap suasana yang sedang mereka rasakan dan mencatatnya.

“Jika tidak ada pandemi, tidak akan ada puisi-puisi seperti karya Syaifuddin Gani yang bertajuk ‘Kendari Hari Pertama Isolasi.’. Maka bagi para penyair, selain untuk memelihara kreatifitas serta respon terhadap lingkungan, masa pandemi ini juga menyadarkan mereka dengan profesinya sebagai penulis puisi,” tutur Maman.

Abdul wachid, penyair mengatakan, setiap sastrawan mempunyai maksud dalam sastranya, mereka menyalurkan pikiran, perasaan dan aktualisasi dirinya. Sastrawan harus bisa mencari hikmah dalam sastra yang diciptakannya.

“Seorang sastrawan hidup di tengah masyarakat harus bisa mencari hikmah dalam sastra yang diciptakannya, agar para pembaca mendapat hikmah yang sudah sastrawan temukan, ada hubungan trinitas dalam mencari hikmah yaitu terdapat penyair atau sastrawan, karya sastra dan pembaca,” pungkas Abdul.

 

HANA SAHIRA NAZWA

Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *