
Sebuah kecacatan demokrasi dan kesewenang-wenangan masa Orde Baru–mungkin akan terulang kembali. Sebagai manusia yang dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) alias warga sipil, tentu hal ini menjadi sebuah kekhawatiran besar untuk saya. Ternyata para ‘penjaga’ negara tak hanya haus akan uang, namun juga haus akan jabatan. Rasa-rasanya di Indonesia, tidak ada hari tanpa gebrakan pemerintah adalah hal yang mustahil. Namun, yang menjadi sebuah kesialan adalah gebrakan tersebut selalu saja bersifat merugikan bagi masyarakat biasa. Masa-masa kelam di Orde Baru mungkin akan diwujudkan lagi oleh Pemerintah. Salah satunya ialah mengenai bagaimana militer dapat memiliki dua peran sekaligus, yakni sebagai penjaga keamanan negara dan penjaga stabilitas politik. Dua hal yang saya pikir tidak bisa digabungkan, sebab kedua peran tersebut berjalan di koridor yang berbeda.
Pada Jumat 14 Maret, hampir satu bulan setelah Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 dirilis, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) bersama pemerintah. Revisi itu antara lain akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil. RUU TNI ini dinilai jelas akan banyak merugikan rakyat terkhusus dalam hal penegakan demokrasi. Munculnya RUU TNI menimbulkan amarah besar bagi rakyat yang takut kejahatan di masa Orde Baru akan muncul kembali.
Namun sebelum membahas lebih jauh perihal kemungkinan kembali munculnya kembali Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), mari kita bahas dari hal yang paling dasar, yakni keberadaan dan peran dari TNI itu sendiri. Pembentukan TNI terjadi pada tahun 1945. Pada awalnya, tentara nasional yang ada saat itu terdiri dari berbagai organisasi militer yang dipimpin oleh pahlawan-pahlawan nasional, seperti Tentara Republik Indonesia (TRI), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan Tentara Pelopor (TP). Setelah Indonesia merdeka, organisasi-organisasi militer ini kemudian digabungkan menjadi satu tentara nasional yang diberi nama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Mengutip dari repository unpas, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tugas, yakni melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang, dan operasi militer dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. TNI dibentuk dengan tujuan untuk melindungi keamanan dan integritas nasional Indonesia. Untuk itu TNI memiliki peran yang sangat besar dalam hal menjaga keamanan negara.
Jadi bagaimana apabila peran tersebut kita ditambah dengan sebuah peran yang seharusnya bukan ranah TNI?
Kembali Pada Dwifungsi ABRI di Masa Orde Baru
Kebijakan adanya Dwifungsi ABRI dijalankan sejak masa Orde Baru, Soeharto memberikan legalitas resmi pada tahun 1982 melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Saat itu, ABRI memiliki kekuasaan penuh untuk turut memegang lembaga legislatif dan bahkan eksekutif. Banyak perwira aktif yang diangkat menjadi DPR, MPR, dan DPD. Adanya Dwifungsi ABRI ini menyebabkan kursi perwakilan rakyat untuk rakyat sipil berkurang. Hal ini juga yang membuat demokrasi semakin terkikis dan rakyat sipil kehilangan haknya.
Masa Orde Baru dikenal dengan segudang masalah, baik itu politik, ekonomi, dan bahkan permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat diberlakukannya kebijakan Dwifungsi ABRI, banyak ditemukan pelanggaran HAM sehingga muncul kerusuhan besar yang tak terhindarkan. Militer yang memegang senjata dianggap terlampau keras ketika mencampuri urusan sipil negara. Penerapan Dwifungsi ABRI ini dinilai sering melanggar HAM. ABRI disebut-sebut terlibat dalam operasi Penembakan Misterius dan kasus Tanjung Priok. Bahkan sebagian pakar menilai keterlibatan ABRI dalam berbagai kegiatan ekonomi yang tidak sesuai dengan tugas pokoknya justru menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Akibatnya, banyak mahasiswa dan warga sipil melakukan aksi protes keras dan menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI tersebut.
Ketika gelombang gerakan reformasi ada pada puncaknya, kalangan pergerakan reformasi yang menginginkan perubahan politik di Indonesia menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI. Seluruh rakyat yang menuntut, ingin ABRI kembali pada fungsinya sebagai penjaga keamanan dan kedaulatan negara. Sementara urusan politik dan pemerintahan harus diserahkan kepada sipil. Keterlibatan ABRI dalam persoalan sosial politik yang juga dianggap berpengaruh terhadap terhambatnya iklim demokrasi yang sehat bagi bangsa Indonesia.
Saat itu, masyarakat dan para pengamat menilai bahwa ABRI perlu dikembalikan posisinya sebagai lembaga pertahanan dan keamanan. Hal ini pun yang mendorong salah satu keputusan pemerintah Era Reformasi untuk mengurangi peran politisi militer dalam sosial politik. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dikuranginya jumlah anggota ABRI dalam badan legislatif, sehingga secara bertahap ABRI kembali ke posisinya. Dwifungsi ABRI mulai dihapuskan seiring jatuhnya era Soeharto. Penghapusan Dwifungsi ABRI yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid ini kemudian dituntaskan pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000 silam.
Pertanyaannya, saat kebijakan Dwifungsi ABRI tersebut ditentang oleh masyarakat pada Masa Orde Baru, lantas apa tujuan pemerintah saat ini dengan adanya Revisi UU TNI?
Mau Apa Lagi Setelah Revisi UU TNI?
Tak cukup pemerintah melakukan banyak kejahatan terhadap rakyat, kini mereka akan menambah mimpi buruk rakyat dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Mimpi buruk di masa Orde Baru di mana banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer, mungkin ingin diwujudkan kembali oleh pemerintah. Tak cukup rakyat dibuat menderita dalam hal perekonomian, kini pemerintah ingin juga merenggut keamanan dan kenyamanannya. Bayangkan saja bagaimana jadinya jika fungsi militer yang sebenarnya justru tidak terpenuhi karena mereka berebut jabatan sipil yang harusnya diisi oleh rakyat. Demokrasi kian rusak dan terus dilecehkan oleh para penguasa. Padahal sejatinya, dalam UUD 1945 pun disebutkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah berada di tangan rakyat. Sayangnya hal nyata yang terjadi rakyat hanya menjadi bahan percobaan pemerintah yang tak pernah puas memenuhi hasratnya.
Saya pikir Revisi UU TNI jelas akan menambah kesengsaraan rakyat. Terlepas dari bagaimana nanti militer akan berkuasa di jabatan legislatif dan eksekutif, hal ini jelas tetap merusak demokrasi yang kita agung-agungkan. Masyarakat tidak mau kericuhan Orde Baru terjadi lagi, jelas. Namun, disamping itu rakyat jelas turut prihatin juga terhadap kebijakan ini. Apakah memang jabatan-jabatan tersebut kurang orang? Apakah tidak ada lagi warga sipil yang dapat mengisi kursi legislatif dan eksekutif tersebut? Apakah kedaulatan di tangan rakyat sudah tidak lagi berarti dalam negara demokrasi ini?
Salah satu pasal yang menjadi penyebab kemungkinan lahirnya kembali Dwifungsi ABRI ialah:
Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.”
Melalui pasal ini, keterlibatan TNI dalam instansi sipil semakin luas. Prajurit TNI Aktif bisa ditempatkan kedalam 10 kementerian. Setelah adanya draft RUU TNI, TNI kini dapat merambah ke 15 institusi, 5 lembaga tambahan tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya ketika TNI merambah ke lembaga-lembaga yang sangat rentan apabila dimasuki oleh militerisme, terkhusus Kejaksaan Agung.
Di luar dari pasal 47 ayat 2 tersebut, masih terdapat pasal-pasal lain yang cukup kontroversial, misalnya saja Pasal 3, Pasal 7 ayat 1, Pasal 35, Pasal 53, dan mungkin masih ada lagi yang belum saya sebutkan. Tak akan saya bahas semua di sini sebab satu tulisan saja saya rasa tidak cukup untuk menampung segala keresahan saya mengenai revisi UU TNI ini. Setelah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI berjalan selama 20 tahun lebih, seharusnya penempatan itu sudah bisa digantikan oleh pejabat dari kalangan sipil. Oleh karenanya, adanya revisi ini seharusnya bisa mengurangi jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Bukan sebaliknya.
Jangan Bawa Kami Ke Masa Gelap Lagi
Sudah, cukup. Jangan bawa kami ke masa-masa gelap itu lagi. Kekecewaan kemarin saja belum selesai rakyat obati. Pembunuhan, kekerasan aparat, korupsi miliaran hingga kuadriliun. Kini pemerintah kembali berulah dengan membuat draft Revisi UU TNI, kini pemerintah berulah dengan diam-diam membuat rapat tertutup pada 14-15 Maret 2025 untuk membahas RUU TNI. Mau apa lagi?
Jangan salahkan bila rakyat terus berontak, sebab yang dilakukan pemerintah dan para penguasa tak tau diuntung itu hanyalah menginjak-injak rakyat.
Sebuah kalimat yang akan terus digaungkan,
Jangan diam,
LAWAN!
ALYA NATASYA
Editor: NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI
Sumber Referensi:
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Naskah Akademik Tentang Perubahan Atas Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
Reksa. (n.d). Sejarah TNI: Pengertian, Tugas, dan Angkatan. Gramedia blog.
Kumparan. (2024, January 27). Konsep Dwifungsi ABRI Pada Masa Orde Baru. Kumparan.com.
https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/konsep-dwifungsi-abri-pada-masa-orde-baru-2235N8LHooD
Sony Fitrah. (2024, March 16). Sejarah Singkat Penolakan Kalangan Aktivis Terhadap Konsep Dwifungsi ABRI. Moljabar.
https://www.rmoljabar.id/sejarah-singkat-penolkan-kalangan-aktivis-terhadap-konsep-dwi-fungsi-abri
Prihatini Wahyuningtyas. (2025, March 15). Isi RUU TNI 2025 dan Daftar Pasal yang Bermasalah. Tirto.id.
https://tirto.id/isi-ruu-tni-2025-dan-daftar-pasal-yang-bermasalah-g9v4
Anwar Daud. (2018, February 1). Dwifungsi ABRI: Melacak Sejarah Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Sosial Politik dan Perekonomian Indonesia. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/adabiya/article/download/6776/4069
Repository Unpas. (n.d). Bab I Pendahuluan Penelitian Sejarah TNI.
Daniel Ahmad. (2025, March 16). Kelompok Sipil Ungkap Bahaya Revisi UU TNI yang Tak Libatkan Publik. Tempo.com.